
Oleh: La Ode Sapiansya
Buku berjudul Kita Bukan Bebek karya para empat jenderal Aktivis Peneleh ini merupakan satu kontribusi penting untuk mengingatkan kita akan pentingnya kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak, agar tidak sekadar menjadi pembebek dalam dunia yang begitu kompleks hari ini.
Semuanya dimulai dari kata peneleh. Rasa-rasanya kata itu tidak hanya menimbulkan penasaran, tetapi juga menghadirkan perasaan menggelitik, terutama di zaman sekarang, zaman di mana kebenaran dijungkirbalikkan oleh sikap agnostic, materalistik, oportunistik, dan rasionalistik (AMOR) yang menjadi sistem nilai dan paradigma manusia modern.
Sebagai mahasiswa yang juga terlibat aktif di dunia aktivisme, Peneleh adalah hal baru yang mengundang kecurigaan sekaligus keingintahuan lebih jauh. Potret yang dicitrakan sebagai wajah peneleh adalah model ideal gerakan menuju peradaban sejati.
Peradaban yang berkemandirian (Zelfbestuur) yang diinginkan banyak orang, tidak hanya oleh aktivis dan seluruh anak bangsa Indonesia, akan tetapi juga oleh manusia nusantara. Pemetaan konkret atas pembacaan realitas ruang dan waktu kesejarahan (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) berbasis gerakan religiositas kebudayaan menjadi dasar peneleh dalam mengkonstruksi realitas masa depan.
Sebab konstruksi peradaban adalah kemustian sejarah. Inilah yang menjadikan peneleh menarik, di tengah-tengah banyaknya gerakan mainstream yang berseliweran di mana-mana.
Peneleh sendiri jika ditinjau secara geografis maka kita akan diantarkan ke sebuah gang yang berada di salah satu kawasan Kota Surabaya. Sebuah kawasan yang telah banyak melalui rentetan peristiwa bersejarah. Di dalamnya terdapat rumah juang yang menjadi tempat lahirnya pemikir-pemikir bangsa.
Meminjam istilah Aji Dedi Mulawarman dalam buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto, rumah peneleh juga disebut sebagai dapur nasionalisme. Selain itu, secara kebahasaan, kata peneleh mengandung makna tidak hanya dalam konteks historis yang mendalam, akan tetapi juga kata peneleh itu sendiri terkonfirmasi berasal dari bahasa Jawa kuno pinilih yang artinya terpilih.
Potret pergerakan peneleh dalam ruang dan waktu begitu dinamis. Dari tahun ke tahun, dengan munculnya pembaharu-pembaharu muda (Tjokro Muda), orang-orang terpilih mengafirmasi bahwa peneleh adalah bengkel peradaban.
Sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan yang terkontekstualisasi berbasis religiositas kebangsaan, Peneleh tentu memberi kontribusi besar terhadap bangsa di setiap sektor kehidupan, tidak terkecuali ruang-ruang aktivisme. Gaungan zelfbestuur menjadi tagline Aktivis Peneleh dalam melakukan aksi-aksi yang nyata.
Baca juga: Resensi Buku “Paradigma Nusantara”, Ikhtiar Lepas dari Bayang-Bayang Sains Bercorak Barat
Di antara kader-kader terbaik Aktivis Peneleh yang juga dijuluki sebagai para jenderal ialah Asep Irawan, Dwi Febriana, Muh. Fadhir A.I. Lamase dan A. Tsiqqif Asyiqulloh telah membuktikan itu. Melalui karya spektakuler yang mereka hasilkan, hal ini membuktikan bahwa napas perjuangan mesti terus digelorakan. Buku Kita Bukan Bebek hadir sebagai pengingat kepada seluruh kalangan, terutama generasi Z, dalam menyikapi problematika kehidupan modern yang begitu ruwet.
Pembabakan buku Kita Bukan Bebek begitu konstruktif. Pembaca akan diajak menyelami banyak fenomena krusial di setiap babnya, terutama berkaitan dengan fakta realitas kebangsaan dan kepemudaan hari ini.
Buku Kita Bukan Bebek yang terdiri dari empat bab ini dimulai dengan tulisan Asep Irawan yang berjudul “Ikhlas”. Kata ikhlas seolah menjadi oase di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia modern. Manusia-manusia pragmatis dan oportunis yang hanya memikirkan kepentingan diri pribadi (self-interest).
Asep mengajak kita kembali merefleksi hakikat kedirian kita sebagai seorang manusia sejati. Manusia yang niscaya ada karena ada yang mengadakan. Bukan ada dengan sendirinya apalagi sampai mengganggap dirinya sebagai Tuhan.
Konsep ikhlas tidak hanya menggambarkan capaian belaka, tetapi juga mengisyaratkan proses yang matang. Oleh karena itu, ikhlas harus ditempuh dengan tradisi seorang salik (sang penempuh jalan menuju Tuhan).
Melalui kalimat man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu, kita diajak untuk mengenal diri untuk kemudian mengenal Tuhan. Kondisi mengenal diri untuk mengenal Tuhan adalah proses bersuluk yang pada akhirnya akan mengantarkan manusia pada ketenangan lahir dan batin. Kondisi itulah yang disebut Asep sebagai adalah ikhlas. Ikhlas adalah kunci untuk menggapai keridhaan-Nya. Ikhlas juga menjadi sebab manusia arif dalam kehidupannya.
Dwi Febriana dalam bab kedua Kita Bukan Bebek mengangkat judul “Kemerdekaan Umat Sejati”. Melalui pendidikan, umat dapat mencapai kemerdekaan sesungguhnya. Sayangnya, pendidikan hari ini begitu liberal. Hegemoni kapitalisme menjadikan pendidikan berorientasikan materi semata.
Pendidikan tidak lagi menjadi instrumen perlawanan dan pencerdasan. Pendidikan ditunggangi hanya untuk kepentingan ekonomis. Padahal, konsep pendidikan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw tidaklah demikian. Dwi menegaskan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan menembah gusti sebagaimana konsep pendidikan yang dicontohkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto.
Pendidikan yang dibangun atas dasar nilai-nilai tauhid (seperti akidah, akhlak dan ibadah). Mengutip istilah Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, bahwa pendidikan semestinya memanusiakan manusia, membebaskan dari ketertindasan, dan membahagiakan.
Tiga nilai dasar ialah akidah, akhlak dan ibadah yang menjadi substansi pendidikan integral mesti dikembalikan dalam kontekstualisasinya dalam ranah praksis pendidikan sekarang dan ke depannya. Tentu tidak melepaskan tinjauan kondisi sosiologis dan kebudayaan yang ada sebagai bentuk penyesuaian dan penegasan kearifan lokalitas kenusantaraan sehingga kemerdekaan umat dapat tercapai.
Muh. Fadhir A.I. Lamase pada bab ketiga dari buku Kita Bukan Bebek menulis naskah dengan judul “Pengader Penggerak Peradaban”. Fadhir melihat secara kritis pendidikan dalam perspektif aktivisme. Baginya, pengader adalah jantung dari sebuah gerakan.
Tafsir gerakan di sini bukanlah gerakan aksi demonstrasi belaka, akan tetapi gerakan yang dibangun adalah gerakan sosial terstruktur untuk menyucikan umat (tazkiyatun al-ummah) dan mencapai kemandirian sejati. Tentu dalam konteks tersebut, dibutuhkan pengader-pengader tangguh yang bisa menggerakan.
Potret realitas kehidupan manusia modern hari ini begitu mengkhawatirkan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Industrialisasi pendidikan, ekonomi dan politik yang berbasis materialisme, serta kepemimpinan yang plegmatis. Semua hal di atas menjadi huru-hara yang dalam istilah Fadhir disebut juga dengan krisis multidimensional.
Situasi dilematis tersebut terjadi bukan tanpa sebab, melainkan terjadi karena rusaknya budi pekerti bangsa yang dibangun atas cara pandanag dikotomis serta menuhankan materi. Agama dipisahkan dari ruang-ruang sains dan ilmu pengetahuan.
Fenomena dikotomisasi ini diadopsi dari cara pandang barat yang mengakibatkan manusia Indonesia, terutama aktivisnya, terjangkiti penyakit yang diistilahkan oleh Tjokroaminoto sebagai jahiliah modern.
Penyakit ini di antaranya adalah bermental pasrah, gaya hidup hedon, berwatak egois, berpikir liberal, orientasi material (uang), dan semuanya untuk memenuhi kepentingan individual semata. Inilah kekhawatiran H.O.S Tjokroaminoto. Lantas bagaimana masa depan bangsa ini jika pemudanya, bahkan aktivisnya, yang katanya adalah pewaris masa depan generasi pemimpin bangsa ini berwatak seperti itu?
Lebih lanjut, Fadhir menegaskan bahwa pengader penggerak peradaban mesti dikonstruksi. Berbekal pembacaan konkret atas realitas kesejarahan (masa lalu, masa kini dan masa depan), ia mengemukakan tiga dimensi jangkar nilai yang harus dimiliki pengader sejati; religiositas keagamaan, kebudayaan (lokalitas kenusantaraan) dan nasionalitas kebangsaan.
Ketiganya adalah core value (keyakinan dan prinsip dasar perjuangan) pengader sejati. Setelah itu, praksisnya dituangkan melalui penyadaran melalui pendidikan dan dikonsolidasikan melalui pertemuan intensif dan menggerakan melalui mobilisasi.
Adapun dalam bab keempat ubku Kita Bukan Bebek berisikan tulisan dari Ahmad Tsiqqif Asyiqulloh dengan judul “Tirakat Nubuwwah”. Tulisan ini menjadi penyempurna dari tiga tulisan sebelumnya. Apa yang ditulis Tsiqqif tidak hanya menyejukkan karena mengulas banyak sejarah Nabi Muhammad, tetapi juga memberikan penegasan kontekstualisasi spirit perjuangan Nabi dalam ruang dan waktu kekinian.
“Tirakat nubuwwah inilah yang sungguh amat suci dan paling penting kita refleksikan untuk hari ini dan kedepannya. Dengan melihat pada masa perjuangan Muhammad, pada diri Muhammad, berarti melihat bagaimana peradaban itu terbentur, terbentur dan terbentuk. Kita memang bukan nabi seperti Muhammad, tapi Muhammad juga seorang manusia, seorang suami, seorang ayah, seorang pedagang, seorang pemimpin, seorang keterasingan, seorang revolusioner, yang kesehariannya adalah sama seperti manusia pada umumnya. Inilah yang harus kita ikuti. Ikuti jalan kenabian, jalan kesucian, jalan kesunyian, yaitu tirakat nubuwwah untuk peradaban yang lebih mulia ke depannya.”
Melalui nusantara onderwijs yang berbasis nilai tauhid sebagai dasar teologis-filosofis (ruh) yang diekspresikan dalam budaya lokalitas kenusantaraan, diantarkan dan diterjemahkan menggunakan bahasa yang kontekstual dengan kondisi zaman yang modern, maka peradaban madani atau dalam istilah H.O.S. Tjokroaminoto disebutnya sebagai peradaban yang berkemandirian (Zelfbestuur) sejati dapat diwujudkan.
Nilai tauhid, lokalitas, modernitas dan bahasa sebagai kunci digambarkan Tsiqqif sebagai huruf arab Nun. Huruf nun (dalam bahasa arab) sebagai titik penyeimbang:
“Nun adalah cahaya yang menyinari langit dan bumi dengan disinari cahaya ‘Arsy-Nya. Nun juga bermaknakan ‘Aku adalah dzat yang aku cintai dan dzat yang aku cintai adalah aku”.
Setelah itu, selanjutnya adalah istikharah peradaban. Dalam tradisi Islam, masyarakat muslim sebelum memutuskan sebuah perkara selalunya melakukan istikharah. Tentu medium daripada istikharah disini adalah shalat.
Dengan istikharah, keragu-raguan akan sebuah pilihan dapat dipastikan. Tsiqqif menyebutkan bahwa itikharah di sini tidak hanya digunakan dalam konteks yang sederhana, akan tetapi dalam konteks mengkontruksi peradaban pun ada tirakatnya. Istikharah peradaban disimbolkan oleh huruf Kha (dalam bahasa arab) yang berarti:
“Kha’ adalah khabirun bima ya ‘mal. Mengetahui segala apa yang dilakukan. Kha’ tidak peduli seberapa anda mendekat atau berpaling, ia akan memberikan rahasia-rahasianya. Bagian atasnya menginginkan wujud dan tingkat bawahnya menginginkan hikmah yang ditururnkan. Sifat aslinya terungkap, jadi dikotori untuk sementara waktu dan kemudian disucikan. Baginya lebih menakjubkan daripada surga yang terbentang dan di bawahnya ada nyala api yang menyala-nyala.”
Peradaban yang diperjuangkan seperti halnya huruf Kha (dalam bahasa arab). Terkadang stabil, menurun, dan juga bangkit. Merupakan suatu keniscayaan terhadap kondisi peradaban. Namun yang terpenting adalah bagaimana peradaban itu bernaung dalam ketauhidan. Tanpanya, peradaban itu tidak berarti.
Secara gamblang di buku Kita Bukan Bebek menyoal tiga substansi ruang dan waktu ialah realitas masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Dalam pembacaan ketiga realitas tersebut, konteks pendidikan menjadi pembahasan utama.
Hasil dedahan buku-buku babon H.O.S. Tjokroaminoto seperti Tarich Igama Islam, Moslem Nationaal Onderwijs, dan Memeriksai Alam Kebenaran oleh Asep Irawan, Dwi Febriana, Muh. Fadhir A.I. Lamase, dan Ahmad Tsiqqif Asyiqulloh pada akhirnya membentuk satu rentetan utuh catatan sejarah perjuangan keummatan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad yang bisa dikontekstualisasikan tidak hanya oleh H.O.S. Tjokroaminoto, tetapi juga oleh keempat pendedah.
Semua hal itu tentu dilakukan dalam kerangka mencapi kemerdekaan sejati di tengah-tengah luluh lantaknya peradaban kemanusiaan nusantara. Infiltrasi nilai dominan, dekandensi humanistik, dan disorientasi kemanusiaan nusantara mesti disudahi. Gerakan penguatan jangkar nilai kemanusian nusantara berbasis religiositas kebangsaan melaui pendidikan, kebudayaan, dan syuro mesti dimasifkan. Karena kita adalah Nusantara, bukan Barat (orientalis) maupun Timur (oksidentalis).
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi