
Sepekan terakhir, jagat media sosial rakyat Indonesia diramaikan oleh satu tagar mengenai Raja Ampat yang terus diamplifikasi secara massal. Para influencer media sosial, pelawat (traveller), pegiat lingkungan, hingga warga biasa menyuarakan #SaveRajaAmpat sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana eksplorasi tambang nikel di wilayah yang termasuk Provinsi Papua Barat Daya tersebut.
Rencana ini tentu saja menuai banyak protes. Dalam perhelatan konferensi bertajuk Indonesia Critics Minerals di Hotel Pullman, Jakarta misalnya, warga Raja Ampat dan aktivis Greenpeace meneriakkan gelombang protes dengan slogan utama “Save Raja Ampat!” dan “Papua bukan tanah kosong!”.
Tak hanya itu, banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?” hingga “Nickel Mines Destroy Lives” pun dibentangkan di ruangan dalam serta luar tempat konferensi. Puncak protes ini dilakukan saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berbicara di hadapan peserta konferensi yang hadir.
Potret akan bahaya laten penambangan nikel ini tercermin dari hasil analisis Greenpeace Indonesia yang menemukan bahwa jika eksploitasi nikel di Raja Ampat ini diteruskan maka ia akan menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alam di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran.
Dokumentasi yang tampak di lapangan juga menunjukkan adanya aliran lumpur yang menyebabkan sedimentasi di pesisir yang tentu saja berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem laut khas Raja Ampat. Sebagaimana Anda ketahui, Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, baik di wilayah darat maupun lautnya.
Bagaimana tidak, perairan Raja Ampat, misalnya, menjadi habitat bagi sekitar 75 persen spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 jenis ikan. Sementara itu, di wilayah daratan, terdapat 47 spesies mamalia serta 274 spesies burung yang unik. Kawasan ini bahkan telah diakui juga sebagai geopark dunia (Global Geopark) oleh UNESCO.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia juga menegaskan bahwa selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran yang menjadi kawasan terdampak utama, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari gugusan bukit karst Piaynemo.
Tangkapan citra layar satelit juga memperlihatkan bagaimana perbedaan Pulau Gag pada tahun 2017 dan 2025. Salah satu yang tampak begitu jelas ialah hilangnya tutupan hijau akibat aktivitas tambang nikel yang dilakukan secara besar-besaran. Kegiatan penambangan nikel itu coba ditutupi dengan citra satelit Pulau Gag yang sengaja diblur saat dilihat di Google Maps biasa.
PT. Gag Nikel, yang saat ini kendalinya dipegang oleh Antam seratus persen, diketahui memegang izin produksi untuk penambangan nikel sejak tahun 2017, yakni saat kepemimpinan nasional masih dipegang oleh Joko Widodo. Luas wilayah tambangnya mencapai kurang lebih 13.136 hektar atau lebih dari dua kali lipat luas Pulau Gag.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, saat dimintai keterangan oleh publik dengan gamblang justru menyatakan bahwa 97 persen wilayah di Raja Ampat merupakan daerah konservasi. “Ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kewenangan kami terbatas,” ujarnya.
Baca juga: Polemik di Balik Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Kenyataan ini tentu membuka tabir bagaimana pemangku kebijakan di atas sana tunduk pada kepentingan pemilik modal. Tanah yang disebut sebagai gemah ripah loh jinawi itu kini terus-menerus diobral tanpa rasa malu. Para menteri atau pejabat yang seharusnya berada di garda terdepan untuk melindungi kawasan Raja Ampat itu pun terdiam seribu bahasa.
Kini, setelah cerita soal dampak ekstraktif pertambangan yang terjadi Sulawesi, Halmahera, dan pulau kecil seperti Obi, tambang nikel kini juga mengincar Raja Ampat (Pulau Gag, Kawe, dan Manuran). Setidaknya 500 hektare hutan mulai musnah secara nyata.
Atas nama hilirisasi nikel dan perkembangan teknologi melalui mobil listrik, kekayaan dan kemuliaan alam dibabat habis. Padahal, menurut UU Pengelolaan Wilayah, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan ini tak boleh ditambang karena melanggar ketentuan yang tertera di pasal 35 yang berbunyi:
“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral.” Begitu jelas peraturan perundangan mengaturnya. Belum lagi, lokasi tersebut juga termasuk bagian dari Suaka Alam Perairan yang disahkan oleh Menteri Kelautan.
Lantas, bagaimana bisa ini semua terjadi? Mungkinkah ini terlaksana tanpa persetujuan dan tanda tangan pihak yang berkuasa? Tak cukupkah perubahan iklim yang telah terjadi secara nyata membuka mata kita? Bahwa tambang dan hilirisasi nikel pada ujungnya tak hanya menjadi pendorong industri mobil listrik belaka, tetapi juga merusak lingkungan, mencederai masyarakat adat dan lokal, serta memperparah krisis iklim bagi bangsa kita.
Penulis: Ahmad Bagus Kazhimi