
Keikhlasan dan Pengurbanan
Oleh: Aji Dedi Mulawarman
Khutbah Idul Adha; Masjid Bani Hasyim
6 Juni 2025 – 11 Zulhijjah 1446 H
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Alhamdulillahirrabbil alamin. Asyhadu ala ilaha ilallah. Wa asyhadu anna Muhammadarrasullah.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
لاَإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ اْلحَمْدُ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
Bapak Ibu jamah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah, semoga kita semua adalah termasuk orang-orang yang selalu beriman, bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan semoga kita semua pada waktunya menghadap kepada-Nya dalam keadaan muslim sejati. Amin yaa rabbal alamin
Saya ingin menyampaikan khutbah pertama ini dengan mengupas QS Yunus Ayat 62 yang telah saya bacakan di awal khutbah ini. Dalam Tafsir Al Ibriz dari KH. Bisri Mustofa menerjemahkan dan memaknai ayat tersebut sebagai:
Auliya’ temenan, para kekasih Allah ta’ala iku ora bakal ono kuatir opo-opo lan ora bakal susah.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih.
Artinya bagi setiap kita yang selalu hanya berharap kepada Allah SWT, maka kita akan menjadi manusia-manusia yang dicintai Allah, sebagai kekasih Allah, yang karena kekuatan dari iman dan takwanya, serta zikir dan doa yang penuh ikhlas akan menghadirkan jati diri manusia nusantara yang tidak akan kuatir akan masa depan yang dihadapinya, dan tidak bersedih hati apalagi susah dengan hari ini dan hari-hari kemarin.
Cobaan Allah, tantangan Allah atas kesetiaan dan keikhlasan itulah yang sekarang dirayakan oleh kita semua pada hari suci bagi ummat Muslim seluruh dunia. Hari di mana Kanjeng Nabi Ibrahim ‘AS diminta mengurbankan yang paling dicintainya, anaknya, kanjeng Nabi Ismail AS.
Kisah dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat Ayat 101–110 sudah sangat sering kita semua dengar, tetapi tetap penting dikaji dan dibahas kembali. Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih putra kesayangannya, Ismail, setelah penantian panjang, mengajarkan esensi keikhlasan dan cinta tertinggi kepada Allah. Meski ujian ini terasa sangat berat, keduanya menjalaninya dengan kepatuhan penuh dan keyakinan teguh bahwa perintah Allah pasti mengandung hikmah dan tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.
Keteguhan hati mereka ini bukan sekadar ketaatan pasif, melainkan wujud cinta dan penyerahan diri total yang kemudian diganjar Allah dengan mengganti Ismail seekor domba, menegaskan bahwa ketaatan ikhlas akan selalu diganti dengan rahmat.
سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ
كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
Kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim. Demikianlah kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (QS. As-Saffat 109-110).
Dalam konteks kekinian, nikmat apapun—materi, kesehatan, atau kehidupan—hendaknya dimanfaatkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Nikmat, sebagai bentuk syukur dan keteladanan atas keikhlasan serta cinta kepada Allah yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Bapak Ibu dan saudara-saudara yang selalu berusaha menjadi manusia yang dicintai Allah SWT. Demikian pula kecintaan tak kenal lelah dilakukan oleh Kanjeng Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya yang dikepung di Mekkah hingga harus Hijrah setelah dipinggirkan dan dizalimi, itulah yang kemudian juga menjadi bagian dari kekuatan mereka membangun peradaban Islam yang kita nikmati bersama hari ini.
Kembali ke kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, mereka kemudian diuji kembali untuk mulai membangun Ka’bah. Kita diingatkan bahwa tidak cukup keikhlasan dalam berkurban. Setelah berkurban, apa yang harus kita lakukan?
Ka’bah yang menurut banyak tafsir dibangun Nabi Adam sebagai pusat dari peribadatan ummat manusia, tetapi karena lalainya manusia banyak tergoda dengan kemegahan dunia, Ka’bah hancur dan terbengkalai. Setelah bertahun-tahun Siti Hajar meninggal dan Nabi Ismail beranjak dewasa datanglah Nabi Ibrahim mengajakbersama-sama memenuhi perintah Allah SWT.
Keikhlasan dan pengurbanan tidak cukup, datanglah perintah Allah, untuk menghadirkan apa yang biasa dalam tradisi Islam disebut sebagai Qawaid, kaidah, pondasi , Akidah, aturan utama bagi setiap Muslim. Cerita penting dari kata qa’idah, dalam kata jamak, qawa`id, ternyata didasarkan pada dua ayat Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 127 dan QS. An-Nahl ayat 26 yang bertolak belakang.
QS. Al-Baqarah 127 yang berkisah tentang menegakkan kaidah yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّاۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (yar’fau) pondasi-pondasi (qawa’ida) Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat kedua, yang bertolak belakang menceritakan tentang kesombongan Raja Namrudz yang diabadikan dalam QS An-Nahl (16) ayat 26:
“Sungguh, orang-orang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya. Maka, Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasi-pondasinya (qawa’idi), lalu atapnya jatuh menimpa mereka dari atas. Azab itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari.”
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
Ayat pertama menunjukkan bagaimana Nabi Ibrahim AS. meninggikan (yarfa’u) pondasi-pondasi (qawa’id) menjadi tiang Baitullah bersama anaknya Nabi Ismail AS.
Ayat kedua bila merujuk pada tafsir Jalalain, menceritakan bagaimana kesombongan Raja Namrudz (yang juga hidup di masa Nabi Ibrahim AS.) yang mengaku dirinya Tuhan. Kesombongan Raja Namrudz berlanjut, melawan dengan membangun pondasi-pondasi Istana yang menjulang ke langit, yang kemudian dihancurkan oleh Allah melalui angin kencang dan gempa bumi.
Konstruksi ayat dan makna pentingnya yang merujuk pada sejarah kenabian Ibrahim dan kisah kesombongan kuasa Namrudz itulah dapat dilihat perbedaan signifikan atas konsep qa’idah yang berbasis keyakinan dan qa’idah yang berbasis keserakahan.
Ibrahim meninggikan pondasi Ka’bah karena keyakinan, kesucian, ketundukan, kepasrahan dan keimanan, sedangkan Namrudz meninggikan pondasi gedung pencakar langit untuk melakukan tipu daya terhadap Allah karena rasionalitas dan egoisme keserakahan. Artinya, bahwa kaidah yang baik adalah kaidah yang di dalamnya memiliki nilai-nilai kesucian atas dasar keimanan, bukannya kaidah yang di dalamnya berdasarkan pada hasrat memperkaya diri dan kemewahan dunia.
Kaidah atau qawaid seperti dilukiskan pada QS. Al-Baqarah ayat 127 mirip dengan apa yang disebut dengan tiang penyangga yang jadi pusat dari kekuatan bangunan di mana pondasinya adalah, Akidah, Tauhid.
Maka setiap kita sebenarnya wajib untuk menegakkan tiang ka’bah, sebagaimana saudara-saudara muslim kita yang sekarang sedang berada di Mekkah melakukan ibadah Haji adalah orang-orang terpilih untuk menegakkan jalan Allah.
Dan kita yang sadar dengan semangat menegakkan tiang kaidah dan Islam melalui shalat Id, melakukan ritual pengurbanan setelah shalat, dan kemudian merayakan Hari Raya Idul Adha bukan karena kesombongan dan keangkuhan, tetapi karena kesalehan sosial yang selalu kita sirami sepanjang waktu, untuk Izzul Islam wal Muslimin di seluruh negerinya masing-masing, juga merupakan manusia-manusia terpilih.
Meskipun begitu kita juga tidak boleh larut dalam kegembiraan yang menggelapkan mata hati kita, karena saudara-saudara kita yang sedang bertahan menegakkan tiang kaidah di Palestina bisa jadi merupakan manusia-manusia terpilih yang rela mati syahid demi Islam. Alfatehah untuk mereka.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِى الْقُرْاَنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنَا وَاِيَّاكُمْ بِالْاَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ فَاسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ
Bapak Ibu dan saudara sekalin
Di khutbah kedua ini, menjadi penting kemudian adalah apa yang dijanjikan oleh Allah melalui QS. Al Kautsar 1-3 sebagai manusia yang selalu menegakkan Kaidah, (Yarfa’u Qawaid), yaitu Akidah, Tauhid.
Bahwa janji Allah adalah Surga, dan dengan itu maka untuk membangun dunia yang lebih baik, adalah menegakkan shalat dan selalu berkurban. Dan bersabarlah, karena sesungguhnya yang membencimu melakukan itu adalah orang yang terputus dari jalan-Nya.
إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَرُ
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
Demikianlah Khutbah Idul Adha ini semoga hari ini adalah hari yang menyadarkan kita tentang bagaimana menjadi manusia-manusia yang selalu diingatkan Allah untuk introspeksi di setiap dua hari raya. Introspeksi untuk saya pribadi dan semoga apa yang saya sampaikan adalah bagian dari kita semua bersama menguatkan iman, takwa dan kekuatan kita menjadi Muslim Sejati yang hidup (THE LIVING MUSLIM).
اَلْحَمْدُ للهِ اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ
عِبَادَ اللهِ
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Baca Juga:
Alhamdulillah..semangat kembali menyala. Setelah sekian purnama redup, semoga peradaban mulia kembali bisa dibangun di kampus Bani Hasyim dengan melahirkan santri-santri yg penuh cinta & keikhlasan demi mengharap ridho illahi serta tegaknya islam di muka, Barokallah fikum..
Suka banget sama gaya penulisanmu. Kamu pasti cocok aktif di Kanal.id, komunitas digital buat para hobiers!