
Malang, (6/6/2025) Aji Dedi menyampaikan bahwa hari raya kurban adalah merayakan tantangan Allah atas kesetiaan dan keikhlasan. Kekuatan iman dan takwa, serta zikir yang penuh ikhlas menjadikan jati diri manusia Nusantara yang tidak akan khawatir akan keduniawian.
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih,” ujarnya ketika mengisi khutbah Idul Adha di Masjid Bani Hasyim, Malang.
Aji Dedi Mulawarman juga menyinggung kisah dalam Al-Qur’an Surah As-Saffat Ayat 101–110 tentang Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Padahal, Nabi Ibrahim menanti Ismail sangat lama. Namun, hal ini mengajarkan esensi keikhlasan dan cinta tertinggi kepada Allah. Meski ujian ini terasa sangat berat, keduanya menjalaninya dengan kepatuhan penuh dan keyakinan teguh bahwa perintah Allah pasti mengandung hikmah dan tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.
“Keteguhan hati mereka ini bukan sekadar ketaatan pasif, melainkan wujud cinta dan penyerahan diri total yang kemudian diganjar Allah dengan mengganti Ismail seekor domba, menegaskan bahwa ketaatan ikhlas akan selalu diganti dengan Rahmat,” tuturnya.
Ia mengingatkan jamaah agar senantiasa menjadi manusia yang dicintai Allah SWT. Lalu, ia hubungkan juga dengan kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan membangun Ka’bah. Ka’bah yang menurut banyak tafsir dibangun Nabi Adam sebagai pusat dari peribadatan ummat manusia, tetapi karena lalainya manusia banyak tergoda dengan kemegahan dunia, Ka’bah hancur dan terbengkalai. Setelah bertahun-tahun Siti Hajar meninggal dan Nabi Ismail beranjak dewasa datanglah Nabi Ibrahim mengajak bersama-sama memenuhi perintah Allah SWT.
“Keikhlasan dan pengurbanan tidak cukup, datanglah perintah Allah, untuk menghadirkan apa yang biasa dalam tradisi Islam disebut sebagai Qawaid, kaidah, pondasi, akidah, aturan utama bagi setiap muslim,” tuturnya.
Selanjutnya, Aji Dedi juga mengatakan bahwa keikhlasan dan pengurbanan saja tidak cukup. Namun, juga sangat diperlukan yang namanya qawaid, kaidah, pondasi, akidah, aturan utama bagi setiap muslim. Cerita penting dari kata qa’idah, dalam kata jamak, qawa`id, ternyata didasarkan pada dua ayat Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 127 dan QS. An-Nahl ayat 26 yang bertolak belakang.
Ia menjelaskan bahwa ayat di QS. Al Baqarah ayat 127 yang berbunyi, “(Ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (yar’fau) pondasi-pondasi (qawa’ida) Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” itu bertolak belakang dengan QS An-Nahl (16) ayat 26.
Ayat pertama menunjukkan bagaimana Nabi Ibrahim AS. meninggikan (yarfa’u) pondasi-pondasi (qawa’id) menjadi tiang Baitullah bersama anaknya Nabi Ismail AS. Sedangkan ayat kedua bila merujuk pada tafsir Jalalain, menceritakan bagaimana kesombongan Raja Namrudz (yang juga hidup di masa Nabi Ibrahim as.) yang mengaku dirinya Tuhan. Kesombongan Raja Namrudz berlanjut, melawan dengan membangun pondasi-pondasi Istana yang menjulang ke langit, yang kemudian dihancurkan oleh Allah melalui angin kencang dan gempa bumi.
“Konstruksi ayat dan makna pentingnya yang merujuk pada sejarah kenabian Ibrahim dan kisah kesombongan kuasa Namrudz itulah dapat dilihat perbedaan signifikan atas konsep qa’idah yang berbasis keyakinan dan qa’idah yang berbasis keserakahan,”
Dedi juga melanjutkan dengan pengertian bahwa Ibrahim meninggikan pondasi Ka’bah karena keyakinan, kesucian, ketundukan, kepasrahan dan keimanan, sedangkan Namrudz meninggikan pondasi gedung pencakar langit untuk melakukan tipu daya terhadap Allah karena rasionalitas dan egoisme keserakahan. Artinya, bahwa kaidah yang baik adalah kaidah yang di dalamnya memiliki nilai-nilai kesucian atas dasar keimanan, bukannya kaidah yang di dalamnya berdasarkan pada hasrat memperkaya diri dan kemewahan dunia.
Kaidah atau qawaid seperti dilukiskan pada QS. Al-Baqarah ayat 127 mirip dengan apa yang disebut dengan tiang penyangga yang jadi pusat dari kekuatan bangunan di mana pondasinya adalah, akidah dan tauhid.
“Yang perlu kita sadari adalah merayakan Hari Raya Idul Adha itu, jangan sampai didasari karena kesombongan dan keangkuhan, tetapi karena kesalehan sosial yang selalu kita sirami sepanjang waktu, untuk Izzul Islam wal Muslimin di seluruh negerinya masing-masing,” pungkasnya.
Dalam penutupan khutbahnya, ia juga mengingatkan kembali kepada jama’ah, bahwa kita tidak boleh larut dalam kegembiraan yang menggelapkan mata hati kita atas kenyataan bahwa saudara-saudara kita yang di Palestina sedang berjuang menegakkan tiang kaidah. (AM/Red)