
Masa depan tidak akan bisa diselesaikan melalui perseturuan dengan alam. Sebaliknya, masa depan justru bisa diselamatkan hanya dengan satu jalan, dan jalan itu ialah bersekutu dengan alam. Hal itulah yang menjadi motto penggerak utama dari kelangsungan Sekolah Pagesangan sejak tujuh belas tahun silam.
Tiba di sana saat suasana pergantian siang menuju malam, saya merasakan hawa kehidupan yang berbeda. Selain denyut kehidupan yang masih sangat bersahabat dengan alam, Dusun Wintaos, tempat utama yang menjadi laboratorium Sekolah Pagesangan, juga memiliki ekosistem yang lestari dan berkelanjutan.
Bagaimana mungkin itu semua bisa terjadi di kontur pertanahan karst yang jika menurut disiplin ilmu konvensional itu seharusnya tidak bisa ditumbuhi oleh berbagai tanaman? Atau jika pun benih sebuah tumbuhan ditanam di situ, maka yang terjadi adalah lahan yang gersang, bukan sebuah lahan yang subur dan dipenuhi panen buah-buahan hingga sayur-sayuran.
Semua cerita itu berawal dari kegelisahan Diah Widuretno, perempuan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berasal dari Banyuwangi. Di sela-sela perkuliahannya, ia sempat menimba ilmu dalam beberapa kegiatan kampanye dan aksi untuk keberlanjutan lingkungan, hingga suatu hari ia tertambat cukup lama di daerah Gunungkidul.
Dari pengalaman yang ia dapatkan selama meneliti di wilayah selatan Yogyakarta itu, Diah kemudian tergerak untuk berbuat lebih jauh, yakni mewujudkan cita-cita luhur yang ada di benaknya terkait bagaimana seharusnya lingkungan dirawat dan dilestarikan.
“Hari ini, kita telah kehilangan begitu banyak sumber pangan lokal yang seharusnya masih bisa dikonsumsi dan tentu juga selaras dengan karakteristik wilayah masing-masing, serta berkelanjutan bagi lingkungan,” tegas Diah di sela-sela diskusi bersama anak muda yang memiliki panggilan untuk melakukan aksi konkret dalam menanggulangi krisis iklim dalam acara bertajuk Youth Leadership Camp for Climate Crisis.
Perjuangan Diah untuk menyebarkan kepedulian terhadap pentingnya kemandirian pangan tidak hanya berhenti dalam tataran teori atau diskusi-diskusi melalui seminar atau workshop di hotel-hotel mewah. Sebaliknya, ia memilih jalan terjal turun ke akar rumput untuk menggerakkan masyarakat yang ada di Dusun Wintaos.
Sepanjang Dusun Wintaos, ada pemandangan yang menarik perhatian saya ketika menyusuri jalan setapak ke rumah-rumah warga. Jika diperhatikan, setiap rumah memiliki pelataran depan yang ditumbuhi oleh berbagai tanaman, baik tanaman yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari hingga tanaman obat.
Kesadaran ini tentu tidak muncul dari ruang hampa. Melalui gerak penyadaran yang dibangun secara kolektif, Diah mengajak para warga untuk membudidayakan tanaman untuk mencukupi kebutuhan pangan di desa tersebut, lalu surplus dari panen itulah yang kelak akan didistribusikan untuk dijual ke pasar-pasar yang ada di daerah Yogyakarta, sebagaimana data yang menunjukkan bahwa 17 persen kebutuhan pangan bagi warga yang ada di seluruh wilayah Yogyakarta berasal dari Gunungkidul.
Bahkan, dalam satu bangunan khusus, Diah beserta warga Dusun Wintaos juga menyiapkan cadangan makanan untuk digunakan ketika masa paceklik tanam. Konsep ini selaras dengan siklus alam yang memiliki masa subur dan keringnya.
Baca juga: Refleksi Seabad Pram: Meneguhkan Perlawanan melalui Kanal Penerbitan
Berangkat dari pemahaman itulah penduduk Dusun Wintaos memiliki makna tersendiri tentang keberkahan. Bahwa apa yang disebut berkah bukan hanya diukur dari kuantitas yang berlimpah semata bagi dirinya sendiri, tetapi lebih jauh dari itu ialah bagaimana hal itu bisa mencukupi lingkungan sekitarnya.
Pilihan untuk memberdayakan warga di Wintaos itu bukannya tanpa tantangan atau hambatan yang berarti. Jauh sebelum Sekolah Pagesangan menghasilkan para penggerak dan fasilitator yang berasal dari anak keluarga desa sekitar, dibutuhkan pendekatan intens kepada orang tua untuk memahami makna di balik visi untuk mewujudkan kedaulatan pangan lokal yang menjadi cita-cita besar dari seorang Diah Widuretno.
“Sekolah Pagesangan mengajarkan teknik pertanian sesuai dengan kearifan lokal pada anak-anak dan remaja setempat. Sekolah dengan corak nonformal ini mendorong warga desa untuk merdeka pangan melalui jalan pendidikan dan pemberdayaan pemuda hingga orang tua.”
Jalan kedaulatan pangan ala Diah Widuretno dibangun dengan paradigma yang tentu saja berlawanan dengan apa yang menjadi paradigma arus utama hari ini. Sejak awal, Diah meyakini pentingnya keanekaragaman pangan sebagai langkah untuk membangun ketahanan pangan masyarakat Indonesia.
Hal ini berlawanan dengan cara pandang arus utama yang ingin melakukan standarisasi pangan lewat program pembentukan lumbung pangan nasional yang terkesan dipaksakan dengan dalih penciptaan bibit tanaman unggul. Sementara itu, Diah justru percaya terhadap gerakan kedaulatan pangan yang menyandarkan dirinya terhadap pelestarian berbagai jenis pangan lokal sesuai potensi wilayah masing-masing.
Lebih lanjut, dari corak pemikiran yang menjadi melatarbelakanginya, tampak jelas paradigma arus utama khas Barat itu menitikberatkan pada manusia sebagai subjek utamanya (antroposentrisme), sedangkan paradigma yang dibangun oleh Diah Widuretno lebih berfokus kepada Tuhan dan alam sebagai subjek yang diutamakan (teosentrisme dan kosmosentrisme).
Alhasil, dengan corak pemikiran di atas, tercipta dua kutub berlawanan ditinjau dari aspek ekologi. Corak antroposentrisme pada tahap selanjutnya akan menghasilkan model pemahaman ekologi dangkal (shallow ecology) dalam turunan aksi dan gerakan di bidang lingkungan.
Sementara itu, corak kosmosentrisme dan teosentrisme mendorong lahirnya model pemahaman ekologi dalam (deep ecology), sehingga segala bentuk gerakan yang berpotensi merusak lingkungan akan ditolak dengan mudah tanpa alasan yang mengada-ada.
Pada tataran praksisnya, Diah menguraikan beberapa langkah strategis sebagai jalan untuk mengembalikan keanekaragaman pangan lokal di Indonesia. Setidaknya ada empat langkah strategis yang bisa dilakukan ialah dengan. Pertama, pengorganisasian anak-anak remaja di wilayah pedesaan untuk terlibat aktif dalam gerakan pemuliaan tanaman yang telah hilang varietas gen dan bibitnya.
Kedua, yakni menggunakan pendekatan pendidikan pertanian kontekstual berdasarkan topografi dan potensi unik setiap wilayah. Ketiga, mendorong praktik pertanian alami dari penanaman hingga panen. Keempat, ialah mengutamakan kemandirian dalam proses produksi hingga distribusi pangan.
“Kami belajar untuk bersinergi dengan alam melalui siklus menanam yang sesuai dengan musimnya. Apa yang kami tanam itu merupakan berkah dari alam sekitar, karena apa yang kami panen adalah anugerah dari Tuhan melalui alam tanpa campur tangan berlebihan dari manusia,” imbuh Diah.
Penghayatan akan pentingnya kedaulatan pangan dan keselarasan dengan alam yang diajarkan oleh Sekolah Pagesangan ini merupakan simbol dari bagaimana manusia paripurna, yakni mereka yang bukan hanya berfokus pada dirinya sendiri, tapi juga berkait kelindan dengan Tuhan dan alam semesta sebagai poros kehidupan.