
Belum lama ini, muncul satu wacana besar yang digaungkan oleh Fadli Zon, Menteri Kebudayaan Indonesia, untuk menuliskan ulang sejarah Indonesia secara komprehensif. Tak main-main, ia menyatakan bahwa proyek itu akan melibatkan 100 sejarawan dari berbagai daerah di Indonesia.
Sayangnya, jika kita coba telaah lebih jauh, ada begitu banyak problem yang mewarnainya. Mulai dari draf yang susah diakses, kejanggalan dalam pembabakan sejarah Indonesia, hilangnya peristiwa-peristiwa penting dalam lintasan sejarah Indonesia, hingga mundurnya beberapa sejarawan yang sebelumnya diajak terlibat dalam pengerjaan proyek prestisius ini.
Awalnya, draf terkait penulisan ulang itu beredar dalam grup wartawan, dan menjadi wacana yang disampaikan oleh Fadli Zon dalam beberapa kesempatan. Akan tetapi, secara resmi proyek itu baru diakui dalam wawancara yang dilakukan oleh tvOne terhadap Fadli Zon awal Mei lalu.
Ia menyebut perlu adanya pembaruan akan narasi sejarah berdasarkan temuan-temuan terkini, seperti tampak dalam masa pra-sejarah yang hari ini ditemukan lukisan purba tertua dengan usia kurang lebih 52.000 tahun lalu yang ada di Sulawesi.
Tak hanya itu, Fadli juga menyitir soal narasi penjajahan yang dialami Indonesia. Berdasarkan informasi yang lebih baru, ditemukan bahwa tidak semua wilayah Indonesia yang dahulu berbentuk kerajaan atau kesultanan itu dijajah selama 350 tahun lamanya.Â
Lebih jauh, ia juga menyebut pemutakhiran sejarah Indonesia yang sedang ditulis saat ini nantinya akan menjadi sejarah resmi (official history) yang direncanakan menjadi hadiah bagi ulang tahun kemerdekaan ke-80 Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2025 mendatang.
Dari draf awal yang beredar, kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia versi Kementerian Kebudayaan tertanggal 16 Januari 2025 terbagi dalam seri 10 jilid buku, mulai dari asal mula terbentuknya Nusantara hingga peradaban hari ini.
Secara berurutan sepuluh jilid itu berbicara soal Sejarah Awal Indonesia dan Asal-Usul Masyarakat Nusantara; Nusantara dalam Jaringan Global (India, Cina, dan Timur Tengah); Interaksi dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi; Respons terhadap Penjajahan; Pergerakan Kebangsaan; Perang Kemerdekaan Indonesia; Masa Bergejolak dan Ancaman Integrasi; Orde Baru (1967-1998); dan Era Reformasi (1999-2024).
Sayangnya, pembabakan ini justru menghilangkan beberapa peristiwa penting yang menjadi penanda penting sejarah Indonesia. Kongres perempuan Indonesia pada tahun 1928 yang digelar pada 22-25 Desember 1928 merupakan bibit dari lahirnya Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang hari ini menjadi induk dari gerakan perjuangan perempuan.
Sejarah mengenai kongres perempuan Indonesia itu pun hilang dari draf awal yang dibuat oleh Kementerian Kebudayaan. Padahal, tanggal 22 Desember yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Ibu juga merupakan penanda dari hari pertama kongres perempuan yang digelar 97 tahun lalu.
Selain kongres perempuan yang hilang dari sejarah Indonesia “baru” versi Kemenbud, beberapa peristiwa yang juga hilang dan tidak tercantum dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia itu antara lain mengenai Pembantaian Massal 1965-1966, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) yang terjadi dalam rentang 1982-1985, Penculikan dan Penghilangan Aktivis tahun 1997-1998. Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, Tragedi Mei 1998, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, dalam masa reformasi sendiri, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dan Papua juga luput dari draf awal kerangka penulisan ulang sejarah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa upaya memperbarui sejarah bangsa ini justru berangkat dari semangat yang salah. Bukankah sejarah perlu dituturkan secara jujur dan apa adanya?
Baca juga: Mosi Integral dan Peran Penting Mohammad Natsir dalam Mengembalikan Kedaulatan Indonesia
Dalam spektrum yang lain, keterlibatan sejarawan pun diwarnai friksi. Sebagai contoh, Harry Truman Simanjuntak yang awalnya didapuk menjadi editor dari seri buku jilid I memilih mundur karena alasan penggunaan istilah masa awal sebagai ganti pra-sejarah yang dinilai sejarawan kondang itu tidak sesuai dengan disiplin ilmu sejarah itu sendiri.
Pun demikian, beberapa sejarawan memilih mundur karena konten yang diminta tidak sesuai dengan disiplin ilmu sejarah yang ia dalami. Fenomena ini tentu mengusik suara para sejarawan dan aktivis HAM. Pada Senin (19/05) lalu sejumlah sejarawan dan aktivis hak asasi manusia yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mendatangi Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan mereka atas proyek penulisan ulang atau revisi sejarah Indonesia itu.
Beberapa nama kondang tergabung dalam aliansi tersebut, seperti sejarawan senior Asvi Warman Adam, mantan jaksa agung Marzuki Darusman, aktivis perempuan Ita Fatia Nadia, serta Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto.
Ada dua argumen utama yang menjadi dasar penolakan AKSI. Pertama ialah soal pemakaian istilah “sejarah resmi” yang dinilai bermasalah. Marzuki Darusman menegaskan bahwa penggunaan tafsir tunggal dalam kaitannya dengan sejarah resmi atau sejarah formal berpotensi memiliki kata akhir yang final mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan sejarah itu.
Sementara itu, argumen yang kedua menurut AKSI adalah sejarah yang disusun pemerintah dalam pemutakhiran merupakan “sejarah yang selektif” dan “manipulasi sejarah” karena ada sejumlah peristiwa sejarah yang tidak ditemukan dalam draf yang beredar.
Asvi Warman Adam menyatakan bahwa kerangka konsep penulisan sejarah Indonesia yang dibuat oleh Kementerian Kebudayaan RI serta dirumuskan oleh tiga tim perumus, Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin merupakan sebuah upaya manipulasi sejarah.
Ia kemudian mencontohkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama Orde Baru dan era Reformasi, yang sudah diakui oleh negara seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 2023, tidak dibahas secara lengkap di dalam rencana penulisan itu.
Selain kasus pelanggaran HAM, sejumlah peristiwa penting seperti Kongres Perempuan 1928, Konferensi Asia Afrika 1955 , penyelenggaraan Asian Games 1962 dan Ganefo (the Games of the New Emerging Forces) 1963 di mana Indonesia menjadi tuan rumahnya juga tidak dimuat di dalam rancangan tersebut.
Oleh karena itu, berbagai polemik terkait penulisan ulang sejarah Indonesia ini semestinya membuat kita secara sadar sebagai sebuah bangsa untuk mengakui secara jujur hal-hal pahit dalam sejarah kita, sehingga semangat yang perlu ditanamkan ialah upaya untuk berbenah dari sejarah yang kurang baik, bukan malah menghilangkan narasi dan jejak kesejarahan tersebut dengan dalih pemutakhiran data sejarah.
Penulis: Ahmad Bagus Kazhimi