
Oleh: Firda Wulandari
Buku yang ditulis oleh Aji Dedi Mulawarman dengan judul Paradigma Nusantara ini menggugat kemapanan sains yang selama ini menjadi acuan para akademisi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketidakmapanan itu diungkapkan melalui kritikan atas Asumsi Trilogi Filsafat Barat, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Bagaimana mungkin sebuah ilmu dibangun atas dasar asumsi yang selalu berubah tergantung paradigma positif, interpretif, kritis, posmodern maupun spiritual dan entah berubah secara empiris menjadi apa lagi.
Aji Dedi Mulawarman selaku penulis buku ini mengajak kita untuk kembali ke jati diri Nusantara dengan menggunakan kaidah yang tidak lagi melihat oposisi Barat atau Timur, tetapi dijalankan melalui hikmah yang arif, holistik, dan tentu saja tidak meninggalkan aspek rasional hingga religius.
Tak heran kemudian jika kita hari ini masih terus membebek untuk mengejar suatu ketertinggalan karena ilmu kita sepi dari kreativitas yang berasal dari Nusantara, sehingga terlalu mendambakan serta mengagungkan apa yang dibawa oleh Barat maupun Timur.
Menemukan Permata Nusantara
Pemaparan awal buku ini dibuka dengan makna surah Al-Fatihah serta kidung milik Sunan Kalijaga dengan judul Rumekso Ing Wengi yang begitu ciamik.
Setelah mengarungi perjalanan realitas, ditemukanlah Permata Nusantara yang ditulis pada buku ini ialah sebuah tradisi yang ada di Malang, lebih tepatnya di daerah Singosari yang masih begitu kental dengan nilai-nilai tradisi, salah satunya ialah tradisi Bantengan.
Bantengan sebenarnya merupakan pertemuan tradisi penting bagi masyarakat Jawa, ekspresi kebudayaan dengan sisi religiositas yang tinggi, yaitu pencak silat, tarian, musik, dan ritual.
Awal tradisi ini ditengarai sudah dimulai sejak era Ken Arok, masa Kerajaan Singosari. Latar belakang penulis yang berasal dari Singosari merupakan alasan yang tidak kebetulan saat beliau mengangkat salah satu tradisi yang sudah ada sejak lama dan masih ramai orang melaksanakannya ini.
Jika ditarik dalam paradigma Nusantara, tradisi Bantengan yang ditulis Aji Dedi Mulawarman tersebut memang mengandung nilai-nilai kenusantaraan yang sangat kental.
Penjara Filsafat Modern
Tidak heran jika manusia dijuluki sebagai Homo Sapiens (makhluk yang berpikir), sebab setiap hari manusia selalu bertanya tentang segala sesuatu. Mulai dari bangun tidur, melakukan aktivitas sehari-hari, hingga menjelang tidur lagi tidak pernah lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di kepala.
Mulai dari hal yang sepele seperti “Lho kok begini?” hingga ke pertanyaan yang tidak sepele, seperti contoh “Tuhan itu ada atau tidak ya?”. Dari semua pertanyaan-pertanyaan itu, dapat disebut dengan jawaban atau dapat pula disebut dengan pengetahuan, tapi jawaban atau pengetahuan yang seperti apa? Manusia bertanya untuk mendapatkan jawaban atau pengetahuan merupakan naluri dasar dari sifat kemanusiaannya.
Sialnya, per hari ini masih banyak manusia yang pemikirannya masih stagnan dengan pola berpikirnya orang Barat. Asumsi Trilogi Filsafat Barat meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Bayangkan jika semua pertanyaan dijawab dengan rasionalnya pikiran manusia, tak heran kemudian jika banyak orang ateis atau bahkan meragukan keimanannya, sebab jawaban tersebut tidak dapat dirasionalkan perihal keberadaan Tuhan.
Salah satu asalan di balik terbitnya buku Paradigma Nusantara ini tidak lain dan tidak bukan untuk menggugat pola pikir yang terlalu kebarat-baratan atau ketimur-timuran itu, sehingga kita tidak terpenjara dengan filsafat modern yang tidak ada nilai ketuhanan itu agar tidak salah dalam berasumsi menganai apa pun. Tentu ini bukan berarti membatasi pola pikir kita, tapi lebih bijak lagi dalam mengarungi proses berpikir kita.
Kaidah Hikmah Paradigma Nusantara
Lagi dan lagi bagian ini disuguhi dengan syi’ir milik Gus Miek (KH. Hamim Djazuli) yang begitu keren menunjukkan bahwa ekspresi dan motif kemanusiaan sangatlah erat dengan keberadaan Tuhannya.
Jika dalam bagian kedua tadi pikiran manusia terpenjara atas konstruksi berpikir atau melihat realitas dengan menggunakan cara pandang filsafat barat, maka pada bagian ini kita akan dikenalkan dengan Paradigma Nusantara.
Mengapa Paradigma Nusantara? Ya, perbedaan Paradigma Nusantara dengan yang lain ialah karena ia dikonstruksi menggunakan pendekatan filsafat hikmah, di mana ia melihat realitas secara berbeda dengan cara pandang filsafat barat atau filsafat modern yang mendekati realitas dan pengetahuan hanya dengan kekuatan akal rasional.
Sedangkan hikmah atau filsafat hikmah di sini hampir semua pandangan Timur atau mempunyai akar yang pada pandangan dunia wahyu Al-Qur’an dan kosmos (semesta). Konsepsi tentang aql/intelek adalah kesatuan rasionalitas sekaligus spiritualitas.
Baca juga: Buku Gayatri: Akuntan Majapahit, Sebuah Perpaduan Akuntansi dan Sejarah
Di sisi lain, kaidah berbeda dengan asumsi, karena lebih mendasar pada semua yang berkenaan dengan pandangan dunia setiap manusia dan masyarakat yang selalu bersifat mendasar dan menjadi pondasi segala sesuatu, baik yang konkret hingga profetik bahkan ilahiyyah dan selalu memiliki ekspresi khuluqiyah (moralitas yang bersifat akhlak sebagaimana ajaran agama dan kebudayaan Nusantara).
Sebagaimana kaidah yang terdapat pada bagian ketiga ini di antaranya ialah Jati Diri Kenusantaraan, Pandangan Integral atas Realitas, Religiositas dan Kebudayaan, dan Tujuan Ilmu Nusantara. Keempat kaidah ini bertujuan untuk membuka pikiran kita betapa pentingnya ilmu pengetahuan Nusantara.
Mengapa hal ini penting? Menurut saya hal ini selaras dengan sifat asali kenusantaraan yang selalu berorientasi pada nilai utama kesucian menuju Ketuhanan Sejati dengan mengedepankan keutuhan realitas sesuai dengan kaidah yang diharapkan.
Capaian tujuan tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga menyatukan dan bergerak dalam kemurnian kesadaran batiniah demi tercapainya tujuan puncak kemanusiaan sejati, yakni kesejahteraan bersama. Bagi saya, inilah perbedaan antara filsafat hikmah dan filsafat modern atau Barat.
Belajar Dari Sunan Kalijaga
Mengapa Sunan Kalijaga? Sebab cakupan beliau dalam bidang dakwah dan dampaknya terhadap perubahan masyarakat di Jawa memang dianggap lebih luas di antara para wali sezaman lainnya. Metodologi dakwahnya memiliki cara kerja yang khas, biasanya disebut dengan dakwah kultural.
Salah satu proses dakwah kulturalnya adalah banyak memproduksi lagu, kidung, cerita wayang, gending, menciptakan wayang kulit, bahkan merancang alat pertanian. Sunan Kalijaga melakukan ini semua tentu berdasarkan rujukan pada sunnah Nabi Muhammad SAW. Maka tak heran jika pada buku ini dibuka dengan kidung Sunan Kalijaga di beberapa bagiannya.
Praktik dakwah tersebut menggunakan Tut Wuri Angiseni yang kemudian mementuk banyak karya seni dan sastra khas Jawa. Tak heran kemudian jika Aji Dedi Mulawarman menuliskan berbagai hal seputar kenusantaraan belajar dari Sunan Kalijaga, karena ia selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh penulis agar tulisannya dapat mudah dipahami, terutama oleh orang Jawa agar tidak hilang kejawaannya.
Sesuai dengan tema besar bagian ini ialah “catatan akhir” sudah pasti berisikan tentang cerita dari penulis yang tidak bisa disepelekan, karena juga terdapat catatan penting yang bisa menambah pentingnya ilmu sains Nusantara ini. Sebagaimana apa yang disampaikan oleh Aji Dedi Mulawarman pada halaman 155:
“Sains Nusantara dengan demikian adalah sains yang selalu hidup dalam lintasan ruang dan waktu, masa tanpa masa, dilalui dengan kepasrahan tanpa batas. Ikhlas, itulah kosong sejati menuju kesatuan kesucian” ditimpal dengan tulisan milik RMP Sosrokartono yang menuliskan “Trimah mawi pasrah. Suwung pamrih, tebih ajrih; Langgeng, tan ana susah, tan ana seneng. Antheng mantheng sugeng jeneng”.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi