
Oleh : Hadi Irfandi
Camus, Nietzsche, dan Frankl bicara tentang krisis makna. Ada pula yang menakar manfaat dari ketebalan kantong belaka. Mengikuti mereka berarti sama dangkalnya. Pemikiran dari tokoh-tokoh Barat sering terasa dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Saat membaca tulisan Albert Camus tentang hidup yang terasa sia-sia, Nietzsche tentang dorongan kuat dalam diri manusia, atau Viktor Frankl yang bicara soal mencari makna di tengah penderitaan, kita seperti sedang membaca diri kita sendiri.
Mereka membantu kita memahami perasaan bingung, kecewa, atau kehilangan arah. Tapi di sinilah kita kadang terlena—pemikiran-pemikiran ini membuat kita sibuk mencari arti hidup dari sudut pandang manusia saja, dan lupa bahwa seharusnya semua yang kita jalani bisa menjadi bentuk ibadah. Karena pada akhirnya, yang paling penting adalah apakah hidup ini mendekatkan kita pada ridha Allah atau tidak.
Makna Hidup: Antara Humanisme dan Keimanan
Sebuah artikel di Medium berjudul Meaning of Life: Western Philosophical Perspectives, kita dituntun melalui pemikiran para filsuf seperti Sartre, Camus, hingga Kant. Mereka memperdebatkan arti hidup dengan cara yang menggugah: apakah makna hidup itu kita ciptakan sendiri, ataukah ia melekat pada realitas eksternal yang lebih tinggi?
Sartre misalnya, meyakini bahwa makna diciptakan oleh individu melalui kebebasan memilih. Namun, pandangan ini bisa menjerumuskan bila dilepaskan dari kesadaran akan Tuhan. Tanpa landasan spiritual, pencarian makna dapat menjadi egoistik dan nihilistik.
Berbeda dengan Islam yang meletakkan makna hidup dalam kerangka pengabdian. Dalam Surah al-Ankabut ayat 69, Allah berjanji akan menunjukkan jalan-jalan-Nya bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh mencari ridha-Nya. Ini bukan hanya janji hidayah, tapi juga penegasan bahwa hidup bukanlah tentang pencarian makna subjektif semata, melainkan tentang kesungguhan dalam mengabdi.
Kesungguhan Belajar dan Jihad Intelektual
Menurut al-Mawardi dalam al-Nukat wal ‘Uyun, istilah “berjihad” dalam ayat tersebut mencakup empat dimensi. Di antaranya adalah perjuangan melawan hawa nafsu serta kesungguhan dalam amal demi ketaatan.
Dalam konteks hari ini, makna jihad bisa diterjemahkan sebagai kesungguhan intelektual dalam belajar dan bekerja. Kita tidak hanya mencari ilmu untuk sukses duniawi, tapi juga agar ilmu itu mendekatkan kita pada Allah.
Syekh Az-Zarnuji, dalam kitab klasik Ta’lim al-Muta’allim, memperingatkan bahwa seorang pelajar harus mampu menundukkan hawa nafsunya. Ia menulis bahwa orang yang dikalahkan oleh nafsunya berarti kalah oleh kehinaan.
Ia juga menekankan pentingnya masa muda sebagai waktu terbaik untuk menuntut ilmu, dan bahwa seluruh waktu harus digunakan untuk belajar. Bila bosan dengan satu bidang, maka beralihlah ke bidang lain. Ini adalah bentuk kesungguhan yang sesuai dengan jihad dalam arti luas.
Etos Kerja sebagai Ibadah
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia mengerjakannya secara profesional.” Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah r.a., dan dicatat oleh al-Thabrani (No. 891) dan al-Baihaqi (No. 334). Ini adalah etos Islam: bahwa kualitas pekerjaan kita bukan hanya soal hasil, tetapi juga niat dan tanggung jawab. Profesionalisme dalam Islam bukan sekadar efisiensi, tapi juga keikhlasan. Bila setiap tindakan diniatkan untuk Allah, maka belajar, bekerja, dan berpikir menjadi ibadah, bukan sekadar aktivitas harian.
Dalam dunia sekarang yang serba cepat dan kompetitif, kita mudah terjebak bekerja hanya demi uang atau pengakuan. Tapi Islam meminta kita mengembalikan tujuan itu—jadikan kerja sebagai ladang pahala. Bukan berarti kita anti sukses, tapi agar kesuksesan itu tidak hampa dan tetap berpijak pada nilai yang benar.
Baca juga: Fenonema #KaburAjaDulu: Hijrah Seharusnya Tidak Menghindar, tetapi Melawan dengan Konsolidasi
Filsafat Barat mengajak manusia menjadi “berhasil” menurut ukuran dunia: harta, jabatan, atau pencapaian pribadi. Tapi Islam melangkah lebih jauh. Ia mengajak kita mengejar keberkahan—bahwa pencapaian dunia harus sejalan dengan nilai-nilai langit. Kita percaya bahwa sukses sejati adalah ketika capaian itu bernilai di hadapan Allah. Maka, hidup bukan hanya soal tujuan akhir, tapi juga tentang bagaimana kita menapaki prosesnya dengan benar.
Bila Sartre berkata bahwa hidup tak punya makna kecuali yang kita bentuk sendiri, maka Islam mengingatkan: kamu boleh berjuang, boleh mencari, boleh membentuk jalanmu sendiri, tapi jangan lupa meniatkan semuanya sebagai ibadah. Karena hidup yang hanya sibuk mencari makna tanpa arah spiritual akan kosong pada akhirnya.
Menggabungkan pandangan filsafat dengan nilai Islam bukan berarti mencampuradukkan, tapi memperluas cara pandang. Kita bisa belajar dari para pemikir besar tentang bagaimana menghadapi kegelisahan, tapi jangan berhenti di sana. Wahyu tetap menjadi penunjuk arah. Maka, jika hari ini kamu sedang mencari arti hidup, maknailah pencarian itu sebagai bentuk ibadah. Agar hidupmu tak sekadar berjalan, tapi bernilai kekal.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi