
KORANPENELEH.ID – Di tengah masa penantian terkait penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex), kasus baru justru datang menghampiri. Hal ini setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menangkap Iwan Setiawan Lukminto, Direktur Utama PT Sritex periode 2014-2023.
“Betul (ditangkap) dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank kepada PT Sritex,” ungkap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Febrie Adriansyah, sebagaimana dilansir oleh Disway pada Senin (21/05).
Meskipun demikian, Febrie tidak menjelaskan lebih jauh ihwal kronologi penangkapan serta status dari Iwan Lukminto. Ia hanya menyebut Iwan Lukminto ditangkap di Solo, Jawa Tengah.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan pihaknya memang tengah mengusut dugaan kasus korupsi yang terjadi pada perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman (Sritex). Dugaan korupsi ini berkaitan dengan pemberian fasilitas kredit dari perbankan.
Harli mengatakan meski Sritex adalah perusahaan swasta, namun dugaan korupsi tetap diusut lantaran pemberian fasilitas kredit oleh perbankan dilakukan perusahaan plat merah. Lebih lanjut, ia menjelaskan aturan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang keuangan negara secara eksplisit menyatakan bahwa keuangan daerah juga merupakan keuangan negara.
Atas dasar UU itulah Harli menyebut ada dugaan pelanggaran hukum terkait pemberian fasilitas kredit terhadap perusahaan keluarga Lukminto itu masuk dalam kategori korupsi. Untuk mengantisipasi upaya melarikan diri, Kejagung memilih menangkap Iwan dan diperiksa.
Di sisi lain, Kasus hukum yang melilit Sritex tidak hanya yang sedang ditangani Kejaksaan Agung saja. Kepolisian juga sempat mengusut perkara lain di Sritex. Pengusutan ini dilakukan Bareskrim Polri sejak perusahaan tekstil ini dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024 lalu.
Dugaan sementara juga terkait dengan kredit ke Bank Muamalat dan Bank Permata, yakni penyelewengan penyaluran kredit ke perusahaan tekstil tersebut. Kepolisian menduga Sritex menggunakan dokumen palsu, menggelembungkan piutan, mengagunkkan aset di lebih dari satu tempat, hingga menggunakan dana utang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Dari aksi tersebut, ada kerugian senilai Rp 19,963 triliun yang dialami oleh bank dan pemberi pinjaman kepada Sritex. Hal yang sama juga dilakukan Kejaksaan Agung. Lembaga adyaksa ini juga mengusut kasus Sritex sejak 25 Oktober 2024.
Dalam kasus ini ,ada sejumlah bank plat merah yang telah memberikan pinjaman kepada Sritex, mulai dari PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat dan Banten (BJB), PT Bank DKI, PT Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah.
Pada 30 Januari 2025 Tim Kurator Sritex menetapkan daftar piutang tetap. Total uang Sritex sebesar Rp 29,8 triliun dari 1.654 kreditur separatis, preferen, dan konkuren. Namun, dari jumlah itu Sritex memiliki utang total Rp 4,2 triliun ke bank milik negara.
Rinciannya, utang sebesar Rp 2,9 ke PT Bank Negara Indonesia atau BNI, Rp 611 miliar ke PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Rp 185 miliar ke PT Bank DKI, dan Rp 502 miliar ke PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Setelah dinyatakan pailir, Sritex resmi tutup per Sabtu, 1 Maret 2025.
Menurut data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah, sebanyak 10.669 karyawan Sritex Group terdampak PHK secara bertahap sejak Januari hingga Februari 2025. Proses PHK massal karyawan Sritex ini juga dianggap melanggar hukum. Itu karena tidak didahului dengan bipartite dan tripartite.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Sritex tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68 Tahun 2024. (ABK/Red)