
Oleh: Ahmad Sabilly
Ketika informasi dan sumber-sumber pengetahuan semakin mudah diakses dan institusi pendidikan (mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi) tumbuh menjamur, di sisi lain sistem pendidikan yang ada saat ini justru terasa kontradiktif.
Institusi yang seharusnya berfungsi memberi dampak terhadap pembangunan manusia seutuhnya untuk orientasi masa depan bangsa justru terjebak dan tertidur di zona nyaman masa lalu. Melihat apa yang terjadi saat ini, semestinya para pengelola institusi pendidikan yang bernama “sekolah” dari tingkat atas sampai bawah perlu melakukan refleksi besar-besaran agar dirinya bukan justru menjadi aktor-aktor pertumbuhan manusia.
Tak bisa dipungkiri bahwa di masa lalu sekolah telah mampu mengantarkan anak didiknya menuju gerbang modernisasi. Akan tetapi, celakanya sekolah pada saat ini tanpa disadari juga menggerus kreativitas, ekspresi, motivasi, bahkan juga membunuh kecenderungan dan bakat minat para siswanya.
Cara belajar yang diimplementasikan saat ini akan berdampak besar pada kebutuhan hidup di masa lima hingga sepuluh tahun mendatang. Sementara kebutuhan hidup setiap orang tidak lagi sama, bahkan bisa jadi sangat berbeda dengan apa yang dipelajari saat masih berada di bangku sekolah.
Keterbatasan Pendidikan Kita
Ketika kita melewati zaman industri, dunia mulai berubah dan serta-merta mempengaruhi mentalitas kita. Pelan-pelan kita dibangunkan dan segera terbangun kesadaran bersama atas keterbatasan model pendidikan reduksionis. Kita mulai bisa merasakan ada yang keliru dalam arus utama pendidikan usang kita.
Sebenarnya, sistem pendidikan yang ada pada saat ini dirancang oleh pengaruh era industri di mana pabrik-pabrik membutuhkan buruh untuk menjalankan mesin mereka. Saat itu sekolah berkaitan erat dengan penyeragaman untuk menjawab kebutuhan produksi massal.
Nilai-nilai di era industri tampak jelas. Sebagai contoh, ketika kita mengklasifikasi berdasarkan kelas-kelas dan angkatan-angkatan, mengatur mereka dengan isyarat bunyi lonceng atau bel.
Sistem tersebut sangat bertolak belakang dengan kebutuhan nyata saat ini. Bahkan, pendidikan hingga saat ini lebih memilih penyeragaman dibandingkan melihat serta menghargai keberagaman dan tidak mendorong pembelajaran mandiri.
Mengedepankan hafalan dibandingkan kreativitas, kebebasan berpikir, dan daya kritis. Mendukung kompetisi dan individualisme dibandingkan kolaborasi dan kerja-kerja kolektif. Mengutamakan kesuksesan, bukan menghadapi masalah serta tangguh dalam menghadapi persoalan dan kegagalan. Lebih banyak menyoroti kemampuan analitik dan kognitif, tetapi abai terhadap sensitivitas, empati, dan kecerdasan emosional.
Tantangan Pendidikan Hari Ini
Dunia pasca industri membutuhkan serangkaian kompetensi baru dari jagat pendidikan yang lebih komprehensif. Maka, mau tidak mau kita harus masuk dalam gerbang baru yang mampu mengeksplorasi pandangan holistik serta prasyarat desentralisasi pendidikan.
Hal ini merupakan proses penyempurnaan dari pendekatan yang hanya sekadar mangandalkan keterampilan kognitif dan mekanis menuju ke tata kelola berpikir yang lebih kompleks, yang tentu saja membutuhkan kaliber sistem pendidikan yang berbeda.
Memahami bahwa laju perubahan dunia tidak selalu deterministik dan menyadari perbedaan sudut pandang merupakan modal yang berharga. Selain itu, penekanan soal pentingnya kapasitas adaptif, kreativitas, serta kemampuan penalaran kualitatif dalam rangka mengintegrasikan teori dan penerapannya. Semua itu mencakup serangkaian kompetensi manusia yang dibutuhkan di era otomasi.
Baca juga: Spiritualitas: Akar Pendidikan Berkualitas
Ekosistem pendidikan yang lebih luas dibutuhkan untuk memberi kesempatan pengembangan diri seseorang secara holistik. Meskipun saat ini kita menyadari persoalan pendidikan dan berusaha untuk memperbaiki, tanpa disadari kita masih memandang dengan cara lama yang telah usang.
Sistem, paradigma, dan struktur berpikir yang telah usang justru dilanggengkan dan dipraktikkan setiap hari. Sistem pendidikan berkembang sedemikian rupa dan mengarah, menguat, dan semakin terpusat.
Apa yang dimaksud pendidikan yang berkembang adalah apa yang terjadi di dalam kotak ruang akademik (sekolah, universitas, perpustakaan, dan sejenisnya). Proses belajar dipusatkan di ruang tertutup akademik.
Proses pendekatan pendidikan usang semacam itu memang cocok diterapkan di era kalangkaan informasi. Namun, kenyataannya saat ini kita memiliki sumber daya yang mudah dan bebas diakses dan dipelajari orang banyak.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi