
Oleh: Hendra Jaya
Dalam sejarah panjang peradaban manusia, kolonialisasi tidak hanya terjadi dalam bentuk penjajahan fisik dan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga merasuk ke dalam wilayah yang lebih halus dan laten: ranah pemikiran. Kolonialisasi pemikiran adalah proses dominasi intelektual di mana cara pandang, sistem nilai, dan kerangka berpikir suatu bangsa disubordinasi oleh kekuatan hegemonik yang berasal dari luar.
Proses ini kerap berjalan bersamaan dengan imperialisme akademik, yaitu dominasi dalam produksi, distribusi, dan validasi ilmu pengetahuan oleh pusat-pusat kekuasaan akademik global.
Imperialisme akademik bekerja secara sistemik melalui institusi pendidikan, lembaga penelitian, jurnal internasional, hingga standar akademik yang disepakati secara global namun berpihak pada satu poros peradaban: Barat. Hegemoni ini tidak hanya menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap ilmu pengetahuan, tetapi juga memarginalkan episteme lokal, termasuk tradisi keilmuan Islam, filsafat Timur, dan kearifan budaya dari Dunia Ketiga.
Pusat-pusat produksi pengetahuan modern—seperti universitas-universitas besar di Amerika dan Eropa—menjadi penentu kebenaran ilmiah dan penjaga gerbang legitimasi intelektual. Artikel ilmiah yang dianggap bermutu tinggi harus ditulis dalam bahasa Inggris, dipublikasikan di jurnal bereputasi internasional, dan mengikuti metode yang diakui oleh komunitas ilmiah global.
Standar tersebut, meskipun terlihat netral, sesungguhnya mengandung bias epistemologis yang menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif yang tidak sejalan dengan paradigma dominan.
Kolonialisasi pemikiran memunculkan bentuk baru penjajahan: para intelektual dari Dunia Islam dan Global Selatan dipaksa untuk berpikir dalam kerangka epistemik Barat agar bisa “diakui” secara akademik. Akibatnya, banyak sarjana lokal yang menginternalisasi nilai-nilai asing tanpa sadar, menafikan warisan intelektualnya sendiri, dan menjadikan teori-teori Barat sebagai satu-satunya referensi kebenaran ilmiah.
Dalam konteks ini, terjadi pengabaian sistemik terhadap pengetahuan yang bersumber dari agama, tradisi, dan pengalaman historis lokal. Di banyak universitas, pemikiran-pemikiran dari Ibn Khaldun, Al-Ghazali, atau bahkan Nyerere dan Tagore, seringkali dianggap kurang ilmiah dibandingkan teori-teori dari Marx, Weber, atau Foucault. Ini mencerminkan bagaimana imperialisme akademik memproduksi hirarki keilmuan yang tidak adil.
Salah satu wujud nyata kolonialisasi pemikiran adalah dalam kurikulum pendidikan. Banyak negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia mewarisi sistem pendidikan kolonial yang dirancang untuk mencetak birokrat, bukan intelektual merdeka. Kurikulum tersebut masih mendewakan tokoh-tokoh pemikir Eropa dan mengabaikan kekayaan pemikiran lokal.
Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembebasan justru berubah menjadi instrumen penjinakan dan pembentukan mental inlander. Sekaligus pendidikan terus memupuk pola pikir bahwa Barat sebagai “superior”, dan Timur sebagai “inferior”.
Imperialisme akademik juga didukung oleh jaringan ekonomi-politik yang menguasai pendanaan riset. Negara-negara maju, melalui lembaga donor internasional, mendikte arah penelitian dan topik-topik yang layak dikaji. Peneliti di negara-negara berkembang kerap terpaksa menyesuaikan minat risetnya agar selaras dengan agenda donor, bukan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Bahaya paling besar dari kolonialisasi pemikiran adalah hilangnya kepercayaan diri intelektual. Bangsa-bangsa yang tercerabut dari akar epistemiknya akan terus merasa inferior dan bergantung pada teori, konsep, dan metodologi dari luar. Akibatnya, muncul sikap apologetik terhadap warisan pemikiran sendiri dan glorifikasi berlebihan terhadap segala sesuatu yang berlabel “Barat” atau “internasional.”
Proses ini juga menyebabkan alienasi kultural di kalangan generasi muda. Mahasiswa diajarkan untuk menghafal teori-teori asing tanpa pernah diajak berdialog secara kritis dengan konteks sosialnya sendiri. Mereka terputus dari sejarah dan jatidirinya sebagai bangsa. Maka tidak heran, banyak lulusan perguruan tinggi yang merasa pintar tapi gamang menghadapi realitas lokal.
Baca juga: Ketegangan Relasi Manusia-Alam, Runtuhnya Spiritualitas dalam Dunia Ilmiah
Imperialisme akademik semakin menguat dengan perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi ilmu pengetahuan. Jurnal-jurnal berbayar yang dikelola penerbit besar seperti Elsevier atau Springer menjadi tembok penghalang bagi akses ilmu di negara-negara miskin. Sistem indeksasi seperti Scopus dan Web of Science menambah beban tekanan publikasi yang bias budaya dan bahasa.
Di sisi lain, proyek dekolonisasi pengetahuan masih berjalan lambat dan seringkali terfragmentasi. Banyak upaya untuk mengangkat kembali pemikiran lokal atau Islam masih bersifat reaktif dan belum menyentuh akar permasalahan. Diperlukan rekonstruksi epistemologi yang berani, mendalam, dan sistematis agar perlawanan terhadap imperialisme akademik tidak hanya bersifat simbolik.
Dekolonisasi pemikiran bukan berarti menolak semua produk pemikiran Barat, tetapi melakukan proses penyaringan kritis. Sikap selektif dan dialogis perlu dikembangkan agar terjadi perjumpaan yang sehat antara peradaban. Kearifan lokal dan nilai-nilai agama bisa menjadi dasar untuk membangun sistem pengetahuan yang lebih humanis, adil, dan kontekstual.
Dalam Islam, ilmu adalah cahaya yang menuntun manusia menuju kebenaran dan keadilan. Maka dalam semangat keilmuan Islam, pencarian ilmu tidak boleh tercerabut dari akhlak, tauhid, dan misi pembebasan. Ini bertentangan dengan semangat positivistik Barat yang memisahkan ilmu dari nilai dan menjadikannya alat kekuasaan.
Ibn Khaldun, misalnya, telah mengembangkan metodologi sejarah kritis jauh sebelum munculnya historiografi modern di Barat. Al-Ghazali telah membahas relasi antara akal dan wahyu secara mendalam jauh sebelum Descartes atau Kant. Namun pemikiran seperti ini sering dilupakan karena sistem pendidikan kita terlanjur disusun dalam kerangka pemikiran Barat.
Penting untuk mengembangkan epistemologi alternatif yang berbasis pada pengalaman sejarah, nilai-nilai religius, dan realitas sosial umat. Epistemologi ini harus bersifat emansipatoris, bukan hanya teoritis; membebaskan bukan menjinakkan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bisa menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar meniru model yang ada.
Tugas besar ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh kaum intelektual, tetapi harus melibatkan negara, institusi pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas keagamaan. Membangun sistem pengetahuan yang merdeka membutuhkan keberanian politik, konsistensi budaya, dan kesadaran spiritual.
Salah satu cara konkret untuk melawan imperialisme akademik adalah dengan membangun jurnal-jurnal lokal yang berkualitas, menggunakan bahasa ibu sebagai medium ilmiah, dan menumbuhkan tradisi tulis yang kuat di kalangan akademisi dan santri. Ini akan menjadi langkah awal untuk mengukuhkan otoritas keilmuan yang bersumber dari dalam.
Di lingkungan kampus, perlu diciptakan ruang-ruang dialog antarparadigma, di mana teori Barat tidak ditolak begitu saja, tetapi juga tidak dianggap sebagai satu-satunya rujukan. Dosen dan mahasiswa harus diberi kebebasan untuk mengeksplorasi pemikiran dari berbagai sumber, termasuk dari tradisi Islam, filsafat Timur, dan pemikiran rakyat.
Selain itu, pendidikan harus dikembalikan pada fitrahnya sebagai jalan pembebasan. Pendidikan yang memanusiakan, bukan mengasingkan; yang membangun karakter, bukan sekadar kemampuan teknis; yang membangkitkan kepekaan sosial, bukan sekadar melatih kecerdasan individual.
Dalam jangka panjang, dekolonisasi pemikiran juga harus mencakup transformasi budaya membaca dan menulis di masyarakat. Literasi kritis harus menjadi gerakan kolektif, bukan sekadar proyek akademik. Rakyat harus diajak untuk menjadi subjek dalam pembangunan wacana, bukan objek yang pasif menerima narasi dominan.
Kita perlu menggali kembali khazanah intelektual Islam dan budaya lokal sebagai sumber inspirasi dan inovasi. Dengan begitu, kita bisa menyusun teori-teori yang relevan dengan persoalan kontemporer tanpa kehilangan akar historis dan spiritual kita. Ini adalah bentuk ijtihad intelektual yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi krisis epistemologis saat ini.
Krisis epistemologis ini nyata dan mendalam: ketergantungan intelektual telah melumpuhkan daya kreasi. Kita butuh paradigma baru yang membebaskan, bukan meniru. Paradigma yang lahir dari refleksi atas pengalaman umat, yang mampu menjawab tantangan zaman dan membangun martabat keilmuan yang merdeka.
Islamisasi ilmu atau integrasi antara ilmu dan agama bisa menjadi jalan tengah untuk mengatasi dikotomi yang diwariskan kolonialisme intelektual. Bukan sekadar labeling atau kosmetik spiritual, tetapi rekonstruksi substantif terhadap cara kita memahami realitas, manusia, dan ilmu itu sendiri.
Imperialisme akademik tidak akan berhenti dengan sendirinya. Ia harus dilawan dengan keberanian berpikir merdeka dan komitmen membangun sistem keilmuan yang berakar, terbuka, dan berorientasi pada kemaslahatan. Dekolonisasi pemikiran adalah tugas sejarah yang menuntut keberanian moral dan intelektual.
Bangsa yang tidak mampu mengembangkan epistemologinya sendiri akan terus menjadi pengikut dalam peta pengetahuan global. Kita harus memilih: tetap menjadi konsumen dari pengetahuan asing, atau menjadi produsen pemikiran yang otentik dan bermartabat. Masa depan pendidikan dan peradaban kita bergantung pada pilihan ini.
Dengan kesadaran ini, kita harus menolak menjadi budak dari sistem akademik global yang timpang. Sebaliknya, kita harus menciptakan tatanan ilmu yang egaliter, inklusif, dan berkeadilan. Inilah panggilan sejarah kita sebagai kaum intelektual, sebagai umat beragama, dan sebagai bangsa yang merindukan kemerdekaan sejati.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi