
Oleh: Thoriq Baihaqi Firdaus
Pasca revolusi kopernikan, geosentrisme sebagai pusat alam semesta bergeser pada heliosentrisme, menjadi titik awal runtuhnya konsepsi alam spiritual dan sakral. Revolusi kopernikan yang muncul di Barat membawa paradigma sekuler dan profan terhadap alam. Hal ini berbeda dengan pandangan belahan dunia Timur dan Islam tentang alam yang memiliki visi transendental.
Taoisme di Tiongkok misalnya, melihat alam sebagai simbol dari Asas Tertinggi, dengan begitu alam menjadi sakral. Lebih dalam, alam tidak boleh dinilai dari manfaatnya bagi manusia, manusia bukan hanya menjadi ukuran alam.
Amal pada alam terletak pada tanpa pamrih dan keterikatan, bertindak menurut alam tanpa tamak dan nafsu. Prinsip ini menjadi landasan pengikut Tao dalam visi keberlanjutan, jauh sebelum manusia modern menggemakannya.
Manusia dan alam memiliki relasi harmonis dan selaras. Setelah revolusi kopernikan yang menggemparkan di Barat, hubungan keduanya terputus secara spiritual dan sakral. Tidak ada lagi sakralitas dalam alam, yang ada hanyalah alam dari ukuran kemanfaatannya bagi manusia. Cara pandang ini melahirkan manusia yang tamak, serakah dan eksploitatif, mencari kemanfaatan sebanyak mungkin dari alam untuk kepentingan manusia.
Munculnya sains modern dengan paradigma Cartesian memperkeruh dan semakin mengaburkan visi alam yang sakral. Paradigma ini menggunakan matematika Descartes sebagai metode sains modern bergerak maju (sains progress).
Matematika analitik mengesampingkan sesuatu selain manusia, dan menganggapnya sebagai non-sense, misalnya spiritualitas, transenden dan sakralitas. Bahkan hal-hal ini, dalam cara pikir modern yang kaku melihatnya sebagai takhayul, karena tidak sesuai dengan visi analitis-empiris, tidak bisa menunjukkan bukti serta kalkulasi (visi kuantitatif).
Paradigma kuantitatif yang lahir di Barat, melalui kolonialisme mulai menyebar ke seluruh dunia. Hari ini, hampir semua aspek kehidupan berkriteriakan angka dan bukti nyata, seolah tidak ada kebenaran di luar ‘ilmiah’. Dunia Timur yang kaya dengan cara pandang kualitatif dan spiritual seolah menjadi tertinggal dan terbelakang. Standar kebenaran hampir di seluruh belahan dunia harus berdasarkan kriteria ‘ilmiah’.
Baca juga: Pemekaran Pulau Sumbawa: Jalan Strategis Percepatan Pertumbuhan dan Pembangunan, Bukan Janji Musiman
Cara pandang ilmiah mengandung dampak bagi relasi manusia-alam begitu nyata, melihat alam hanya sebagai benda mati dan profan. Beberapa suku di Papua memperjuangkan hutan adat mereka atas ancaman food estate. Mereka bukan sekedar mempertahankan ruang hidup, tetapi mereka mencoba melindungi tempat ibadah, alam yang sakral, alam yang memiliki roh dan hidup.
Bagi mereka hutan adat menjadi simbol dari Realitas Tertinggi yang mulai terlupakan. Suku-suku tersebut mempertahankan alam yang sakral dari ancaman food estate yang ‘ilmiah’ dengan berbagai kalkulasi dari para sarjana tentang ketahanan pangan.
Contoh lain yang nyata adanya, pembukaan hutan tropis untuk kepentingan ekonomi baik pertambangan maupun perkebunan. Dari data Kompas pada tahun 2022, Indonesia berada dalam 10 besar negara dengan luas kehilangan hutan tropis terbesar, hutan tropis yang hilang seluas 230 ribu hektar, sementara pada tahun 2023 Indonesia kehilangan hutan tropis seluas 292 ribu hektar, ada peningkatan jumlah perluasan.
Pembukaan hutan untuk kepentingan ekonomi baik itu pertambangan, perkebunan atau semacamnya berdasarkan pada ‘kemanfaatan’. Hutan yang ‘asali’ seolah menjadi benda mati dan tidak bermanfaat, hutan memiliki kriteria bermanfaat bila manusia mendapat keuntungan darinya.
Alam kehilangan visi spiritual dalam diri manusia modern, tidak seperti manusia tradisional yang mengartikan alam sebagai pancaran Realitas Tertinggi, seperti suku-suku di Papua misalnya. Alam yang spiritual hancur karena cara pandang ‘kemanfaatan’ dan ilmiah.
Paradigma Timur seperti Taoisme, agama-agama lokal di Indonesia atau suku-suku pedalaman Indonesia dan belahan dunia lain, setidaknya masih memiliki hubungan harmonis dengan alam. Akan tetapi, cara pandangn mereka kalah populer dengan paradigma Barat yang menekankan ‘ilmiah’.
Paradigma Timur termarginalkan bahkan jejaknya yang ‘asali’ hampir terlupakan. Mengakarnya cara pandang ilmiah, bahkan sampai dalam keseharian tanpa sadar, akan menjadi ancaman besar di masa mendatang.
Keputusan-keputusan sehari-hari kita tanpa sadar menggunakan kriteria ‘ilmiah’, misal mencari tahu tentang prediksi cuaca. Cuaca dikalkulasikan untuk dapat diprediksi yang kemudian diinformasikan, tentu ini memiliki manfaat, seperti orang bisa menghindar dari hujan. Tetapi visi alam spiritual tersingkirikan, hujan yang diprediksi akan turun, mengaburkan pandangan Timur, misalnya hujan sebagai bentuk rahmat dan keberkahan bagi kelangsungan hidup manusia dan alam.