
Oleh: Ahmad Sabilly
Jika kita lihat beberapa waktu kebelakang, terjadi tindakan represif aparat terhadap massa aksi di beberapa kota. Sebagai contoh, penangkapan 6 orang massa aksi peringatan Hari Buruh di Semarang pada 1 Mei 2025. Sebelum itu, penahanan juga terjadi terhadap massa aksi tolak UU TNI di Surabaya pada 24 Maret 2025.
Sebanyak 40-an massa aksi mengalami penahanan. Padahal dalam hal menyampaikan pendapat di muka umum dan jaminan terhadap hak asasi manusia telah tercantum dalam UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Hal-hal di atas menunjukkan bagaimana ketakutan para pemimpin kita hari ini. Penulis rasa begitu banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam membajak demokrasi “legal” dalam artian disetujui oleh lembaga legislatif atau diterima oleh lembaga yudikatif.
Boleh jadi, upaya-upaya yang digambarkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi, membuat pengadilan yang lebih efisien, dan memerangi korupsi justru berkebalikan dalam realita yang terjadi. Sebagai contoh, hari ini kita saksikan media massa masih terbit dan menyuarakan berita, namun semua isinya sudah dibeli oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dijelaskan bahwasanya demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal, melainkan di tangan pemimpin terpilih yang membajak proses untuk membawa mereka kepada kekuasaan.
Pemimpin yang demikian ini dapat membubarkan demokrasi dengan cepat. Sebagai contoh, Adolf Hitler setelah kebakaran terjadi di gedung Reichstag Jerman pada 1933. Namun yang lebih sering terjadi di negara yang menerapkan demokrasi, demokrasi tergerus pelan-pelan dalam langkah-langkah yang nyaris tak kasat mata.
Baca juga: Titik Nol, Kehendak Berpemerintahan Sendiri
Di Venezuela, contohnya, Hugo Chavez yang awalnya orang luar di dunia politik dan menentang apa yang dia gambarkan sebagai elit pemerintahan korup, dan menjanjikan membangun demokrasi yang lebih otentik yang menggunakan kekayaan besar negara dari minyak untuk memperbaiki kehidupan orang miskin.
Dengan memanfaatkan kemarahan rakyat biasa Venezuela yang diabaikan oleh partai-partai politik mapan, akhirnya Hugo Chavez terpilih sebagai Presiden pada 1998. Seperti yang dikatakan seorang perempuan di negara bagian asal Chavez, Barinas, pada malam sebelum pemilihan umum: “Demokrasi terinfeksi dan Hugo Chavez adalah satu-satunya antibiotik yang kami punya.”
Ketika peluncuran revolusi yang Chavez janjikan, ia melakukannya dengan demokratis. Pada 1999 Pemilihan Umum bebas dilaksanakan untuk memilih Dewan Konstituante, dan hasilnya para sekutu Chavez memperoleh kemenangan besar.
Hal ini memungkinkan para sekutu Chavez untuk menyusun konstituante secara sepihak. Pada tahun-tahun berikutnya, Chavez dan sekutunya mulai menjalankan langkah-langkah menuju otoritarianisme.
Apa yang telah terjadi di Venezuela pada rentan tahun 1998 sampai 2012 hampir mirip dengan apa yang terjadi di negeri kita belakangan ini, di mana pemerintahan dikusai oleh satu pihak dan sekutunya. Lalu, apa arti dari semua itu? Apakah kita sedang hidup pada masa pemerosotan dan kehancuran sebuah negara demokrasi? Padahal demokrasi inilah yang diidamkan oleh para pendahulu kita. Wallahu a’alam bishawab.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi