
Masih melekat di ingatan, buku pertama yang aku khatamkan di masa SMP. Judulnya “Jilbab Pertamaku” karya Asma Nadia dkk. Jilbab Pertamaku adalah kumpulan cerita yang menceritakan tentang perjuangan seseorang yang ingin mengenakan jilbab namun belum memiliki keyakinan yang kuat. Namun dengan berbagai pergolakan batin dan sosial. Pada akhirnya, mereka tetap tak tergoyahkan untuk senantiasa berjilbab.
Lalu, buku Kalis Mardiasih yang membahas perihal jilbab ini membawaku ke ingatan saat itu. Namun, tentu saja buku ini sangat menarik diulas karena kritisnya dan tanpa tendensi atau menglorifikasi salah satu golongan. Kalis berusaha menghadirkan sebuah sudut pandang yang elegan.
Pembahasan perihal jilbab ini pernah aku lempar kepada murid-muridku yang notabene remaja. Berbagai pendapat dan celetulan keluar dari mereka. Termasuk kritikan mereka perihal jilbab yang diikat dan berbagai macam model.
Sebagian lagi ada juga yang memberikan penjelasan dengan dalil yang mengarahkan kita perihal batasan aurot perempuan yang telah dijelaskan di Al Qur’an. Tentu saja diskusi ini semakin asik. Karena lahirlah pertanyaan, bagaimana dengan model jilbab para Bu Nyai pada zaman dulu? Atau jilbabnya orang Arab yang menutupi hingga matanya?
Kalis mengawali tulisannya dengan menceritakan perihal komentar tetangga mengenai jilbab yang ia kenakan. Menurut tetangganya itu, jilbab yang ia pakai kurang sesuai (hlm 1). Saat ini, jilbab sudah menjadi mayoritas. Kalis membeberkan bahwa kaum mayoritas ini bisa memiliki dua potensi, yakni pengayom atau penindas.
Dalam tulisannya yang menceritakan tentang kisah Bu Nani (hlm 90), pada zaman itu (1980) jilbab adalah simbol perlawanan terhadap orde baru. Namun, keadaan ini menjadi berbeda sekarang, Kalis juga menceritakan kisah siswi yang dihukum dikarenakan tidak menggunakan ciput/daleman jilbab.
Baca Juga Resensi Buku yang lain:
Buku Gayatri: Akuntan Majapahit, Sebuah Perpaduan Akuntansi dan Sejarah
Buku ini menyentil berbagai kisah perihal jilbab di berbagai institusi dan keadaan sosial. Kalis menceritakannya dengan berbagai diksi yang sangat mudah dicerna, sehingga letupan-letupan sudut pandangnya itu bisa sampai mulus kepada pembaca.
Kalis membahas kejelasan Al Qur’an menjadikan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat dan harus dimanusiakan. Lalu, bagaimana sesuatu yang bermartabat itu menjadi topik mengerikan?
Jilbab dan Pergeseran Fenomena
Kalis menilai, jilbab saat ini telah menjadi tren dan komoditi yang sangat laris. Bahkan ia membandingkan penjualan buku dan jilbab. Ketika jilbab yang harganya lumayan bisa terjual 3000 pcs perbulan, buku yang harganya sedikit dibawahnya hanya terjual 2000 pcs dalam satu tahun.
Pergeseran fenomena ini juga bisa kita saksikan dari film. Dua film yang tokohnya sama-sama berjilbab namun menggambarkan dua penilain yang berbeda yakni ketika film ‘Ayat-Ayat Cinta’ (2008) jilbab menjadi lambang kesucian dan kebaikan, sedangkan di film ‘Ipar Adalah Maut’ (2024) jilbab hanya sebagai aksesoris.
Buku ini bukan menjadi tempatnya mengkritik berbagai bentuk jilbab. Namun lebih dari pada itu. Kalis menyediakan jembatan untuk memiliki sudut pandang yang lebih luas.
Dalam tulisannya, Kalis mengajak kita untuk saling menghargai keputusan setiap perempuan untuk memilih jilbabnya masing-masing, bahkan jika memilih untuk tidak berjilbab.
Meskipun buku ini sangat asik, bahkan bisa selesai dalam sekali duduk. Bukan berarti tidak memiliki kekurangan. Menurutku, buku ini akan lebih bisa didalami ketika ditambahi dengan daftar pustaka. Tentu, hal ini akan menjadi tambahan semangat bagi pembaca untuk semakin membuka mata perihal topik ini.
Akhir kata, ada sebuah kutipan yang bisa menjadi benang merah dari berbagai esai di buku ini. Yakni “Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan menghakimi. Maka kita harus menghargai pilihan pakaian seorang muslimah”.
Judul buku : Esok Jilbab Kita Dirayakan: Muslimah yang Merdeka Tanpa Menindas yang Berbeda
Penulis : Kalis Mardiasih
Tahun Terbit : 2025
Penerbit : Buku Mojok, Yogyakarta
Jumlah Halaman : vi + 180 halaman
Penulis : Anik Meilinda