
Oleh Hadi Irfandi
Fokus yang mahal di tengah dunia yang murah perhatian, membuat menulis dan membaca jadi revolusi kecil di genggaman kita—karena jika tak menulis hari ini, siapa yang akan mengingat besok?
Bayangkan kembali saat kamu duduk untuk membaca satu artikel penuh, namun lima menit kemudian sudah terlempar ke notifikasi, video pendek, dan obrolan yang tak selesai-selesai? Atau ketika kita mulai menulis, lalu tergoda membuka media sosial “sebentar saja”, dan akhirnya tak kembali ke halaman kosong itu? Kita hidup di tengah dunia yang sibuk dan gaduh, sayangnya kebisingan ini tak hanya datang dari luar, tapi juga menggerus kemampuan kita untuk fokus, berpikir dalam, dan meresapi.
Data dari Alis Behavioral Health yang dipublikasikan pada 7 Oktober 2024 menunjukkan penurunan rentang perhatian manusia dari 12 detik pada tahun 2000 menjadi 8 detik pada 2020, mencerminkan dampak era digital terhadap konsentrasi individu. Kita kalah dari Ikan Mas yang mampu bertahan hingga 9 detik. Artinya, hal ini bukanlah isapan jempol.
Dampaknya bukan hal sepele. Kemampuan membaca panjang dan menulis mendalam menurun. Kita lebih suka cuplikan daripada isi penuh. Kita lebih suka membuat konten cepat viral ketimbang menulis dengan kerangka yang terstruktur. Padahal, dua aktivitas inilah—membaca dan menulis—yang selama ribuan tahun menjadi fondasi peradaban.
Distraksi: Masalah Lama dengan Wajah Baru
Sebenarnya, distraksi bukanlah hal baru. Kita hanya mengalami bentuk yang berbeda. Saat Perang Dunia I dan II, para intelektual dan jurnalis kesulitan menulis dan membaca karena harus berpindah tempat, kehilangan keluarga, bahkan dibungkam.
Namun di tengah itu, mereka masih menciptakan karya. Misalnya, Anne Frank menulis di tengah persembunyian saat Nazi berkuasa. Ia membaca diam-diam, menulis setiap malam, dan karyanya kini jadi dokumen sejarah dunia.
Lebih jauh ke belakang, sebelum Revolusi Industri, filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau juga membaca dan menulis dalam keterbatasan. Tak ada listrik, tak ada cetakan massal. Rousseau adalah pemikir besar dari abad ke-18 yang karyanya The Social Contract (“Kontrak Sosial”) menjadi salah satu landasan teori demokrasi modern. Ia menulis dalam bidang filsafat politik, pendidikan, dan sastra.
Di tengah keterbatasan fisik dan tekanan politik, Rousseau memilih hidup menyepi agar bisa menulis dengan tenang. Karya-karyanya mengguncang pemikiran Eropa dan menginspirasi Revolusi Prancis. Artinya, gangguan selalu ada. Tapi manusia yang bersungguh-sungguh, tetap bisa memilih untuk bertahan dalam ruang sunyi ciptaannya sendiri.
Baca juga: Pentingnya Framing Positif terhadap Dunia Islam
Kisah serupa juga diabadikan oleh Mark Manson dalam bukunya Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoh Amat. Ia menceritakan kisah Charles Bukowski, seorang penulis yang selama puluhan tahun bekerja sebagai tukang pos sambil terus menulis puisi dan cerita pendek.
Bukowski tidak dikenal, tidak dipedulikan oleh dunia sastra arus utama, dan hidup dalam kondisi serba terbatas. Namun ia terus menulis—bukan untuk terkenal, tapi karena itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Ketika akhirnya puisinya diangkat dan bukunya diterbitkan, ia tidak berubah. Ia tetap menulis dari ruang sunyinya, dengan kejujuran dan keteguhan yang tak tunduk pada perhatian publik.
Kisah ini mengajarkan bahwa membaca dan menulis bukan tentang validasi, tapi tentang keberanian untuk merawat isi kepala di tengah dunia yang riuh. Ditambah lagi bahwa setiap manusia, siapapun dia, ingin terlibat dalam proses sejarah dunia. Khususnya menebarkan kemanfaatan tanpa putus.
Bahasa Kaum Sendiri: Kunci Agar Tulisan Mengena
Di tengah gangguan ini, kita perlu kembali bertanya: untuk apa kita menulis dan membaca? Bukan untuk terlihat pintar. Tapi untuk saling memahami. Seperti yang dikatakan dalam Surat Ibrahim ayat 4:
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.”
Memahami dan menyampaikan sesuai konteks adalah materi jenjang berikutnya tentang menulis. Sebelum sampai ke situ, seseorang mesti merasa lebih dulu pentingnya menulis. Al-Qur’an pun sampai kepada kita hari ini setelah proses perjuangan panjang tentang tulis menulis dan kodifikasinya. Perlu digaris bawahi bahwa para sahabat Nabi s.a.w. yang mengusulkan agar Al-Qur’an ditulis karena mereka tidak puas jika hanya dihafal oleh para sahabat.
Secara umum, kita membaca agar bisa meresapi isi, kita menulis agar bisa menyampaikan kembali dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh sesama. Ketika pesan gagal dimengerti, maka tulisan hanya akan menjadi tumpukan kata tanpa makna.
Jangan Hanya Menyimpan, Bagikan
Dulu saat manusia belum menulis, kita menyebutnya prasejarah. Begitu tulisan hadir, peradaban pun tercipta. Sayangnya, di era ini, banyak dari kita merasa cukup membaca dan belajar untuk diri sendiri. Tapi seperti kata Austin Kleon dalam bukunya Show Your Work, “menyimpan sendiri semua yang kamu pelajari bukan hanya memalukan, tapi juga menghancurkan. apa pun yang tidak kamu berikan akan hilang.”
Jangan biarkan tulisan dan pemikiran kita mengendap lalu menguap. Menulis bukan hanya cara berbagi, tapi juga cara memahami diri sendiri. Apa yang kita bagikan bisa menjadi pijakan bagi orang lain untuk memulai perjalanan intelektualnya sendiri.
Mari kita sadari bersama bahwa distraksi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Tapi kita bisa memilih. Kita bisa menjadwalkan waktu membaca dan menulis dengan lebih sadar. Kita bisa menciptakan “ruang sunyi” di tengah kebisingan digital—entah dengan mematikan notifikasi, menetapkan jam khusus membaca, atau menulis secara manual.
Kita tidak sedang bertarung dengan teknologi, tapi dengan ketidaksadaran kita sendiri. Menulis dan membaca bukan hanya aktivitas pribadi, tapi bagian dari merawat kebudayaan. Karena saat kita berhenti membaca, kita berhenti mengingat. Saat kita berhenti menulis, kita berhenti bermakna.
Editor : Anik Meilinda
Referensi
Al-Qur’an Surat Ibrahim: Ayat 4.
Alis Behavioral Health. (2024, October 7). Dive into Average Human Attention Span Statistics & Facts. Retrieved from https://www.alisbh.com/blog/average-human-attention-span-statistics-and-facts/
Kleon, Austin. Show Your Work!. Workman Publishing Company, 2014.
Manson, Mark. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoh Amat. Gramedia, 2020.
Rousseau, J.-J. The Social Contract. 1762.
Anne Frank. The Diary of a Young Girl. 1947.