
Oleh: Hadi Irfandi
Pernahkah kita merasa jengah saat membuka media berita, lalu mendapati Islam lagi-lagi digambarkan sebagai masalah? Entah tentang kekerasan, keterbelakangan, atau intoleransi. Seolah-olah dunia Islam tidak pernah membawa apa-apa selain beban. Padahal, jika kita mau jujur, warisan peradaban Islam melahirkan sains, seni, dan prinsip keadilan yang kini dinikmati banyak bangsa.
Di tengah derasnya arus informasi, framing media menjadi senjata yang membentuk persepsi massal. Jika berita tentang Islam terus-menerus dikemas dalam bingkai masalah, maka jangan heran jika yang tumbuh adalah ketakutan, bukan rasa ingin tahu. Di sinilah kita perlu mengambil peran: bukan untuk membela membabi buta, tapi untuk menghidupkan kembali wajah Islam yang penuh rahmat.
Dalam perspektif jurnalistik Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Fikih Jurnalistik oleh Dr. Jailani, tugas jurnalis bukan hanya sekadar menyampaikan berita, melainkan juga menjaga kebenaran, akurasi, keadilan, serta mengedepankan bahasa yang santun. Allah SWT sendiri memerintahkan:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.” (QS Al-Hujurat: 6)
Lebih dari itu, Allah juga melarang penyebaran berita keji:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nur: 19)
Maka, framing negatif yang tidak berimbang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Saat Berita Menjadi Luka dalam Identitas
Coba bayangkan seorang pelajar Muslim di pelosok negeri ini. Ia bercita-cita menjadi ilmuwan, diplomat, atau inovator. Namun, setiap hari ia disuguhi pemberitaan tentang Islam yang penuh kekerasan dan konflik. Tanpa sadar, ia mulai meragukan kebanggaannya sebagai bagian dari umat Islam. Identitas yang semestinya menjadi sumber kekuatan justru berubah menjadi beban berat.
Pengalaman itu bukan dongeng. Banyak saudara kita yang tumbuh dengan rasa minder karena framing negatif media. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar dari kita malah menjadi penonton pasif. Seolah-olah menyerahkan wajah Islam kepada pihak lain untuk dilukis sesuka hati.
Jika framing media adalah cermin, maka cermin itu kini retak dan buram. Kita tidak hanya menghadapi masalah citra eksternal, tapi juga luka psikologis yang menggerogoti kepercayaan diri anak-anak muda kita.
Allah SWT juga mengingatkan kita agar menjaga lisan dan sikap sosial, sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain, boleh jadi wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari wanita yang mengolok-olok. Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS Al-Hujurat: 11)
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggunjing satu sama lain.” (QS Al-Hujurat: 12)
Maka, tugas kita adalah memperbaiki cermin itu, membangun narasi yang lebih adil, bersih, dan penuh kasih.
Membalikkan Narasi dalam Framing Media: Dari Problematis ke Solutif
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Kita harus berhenti hanya mengeluh dan mulai membangun narasi alternatif yang lebih solutif.
Ada begitu banyak kisah heroik yang luput dari sorotan media: inovasi teknologi dari negara-negara Muslim, gerakan kemanusiaan dari komunitas Islam dunia, atau keberhasilan pesantren dalam membangun ekonomi desa. Ini semua adalah potret nyata dari wajah Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Kenapa tidak lebih banyak menulis tentang gerakan dokter Muslim yang menjadi garda terdepan saat pandemi? Kenapa tidak mengangkat cerita diaspora Muslim yang membangun dialog budaya di dunia Barat? Ini bukan tentang menutup-nutupi masalah. Ini tentang menghadirkan gambaran yang lebih utuh—bahwa Islam tidak hanya hadir dalam konflik, tetapi juga dalam solusi.
Baca juga: Fenonema #KaburAjaDulu: Hijrah Seharusnya Tidak Menghindar, tetapi Melawan dengan Konsolidasi
Kita perlu mendidik jurnalis Muslim untuk cerdas mengemas berita: mengedepankan nilai, mencari sudut pandang solutif, menjaga semangat tabayyun, dan tetap teguh pada etika Islam. Kita juga harus membangun media alternatif yang konsisten menampilkan cerita-cerita inspiratif tanpa kehilangan daya kritis.
Mengubah framing media bukan tugas pemerintah, bukan pula tugas segelintir aktivis. Ini tugas kita semua. Dari mahasiswa, jurnalis, pendidik, hingga netizen biasa. Kita perlu sadar bahwa setiap berita yang kita bagikan, setiap cerita yang kita angkat, adalah bagian dari perang narasi ini.
Kalau kita ingin dunia melihat Islam sebagai agama rahmat, maka kita harus terlebih dulu menunjukkan itu lewat media, tulisan, dan tindakan kita. Jangan tunggu media besar mengubah cara pandangnya. Mulailah dari kita—dari cerita sederhana, dari berbagi kisah positif, dari membela kebenaran tanpa perlu membenci.
Sejarah Islam penuh dengan orang-orang biasa yang mengambil langkah kecil, lalu mengguncang dunia. Kini, giliran kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?