
Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi
Selama dua dekade terakhir, Jemaah Islamiyah menjadi nama yang mengandung dua makna secara bertolak belakang sekaligus. Bagi para anggotanya, Jemaah Islamiyah (JI) bisa disebut sebagai ladang beramal dan tempat untuk berjihad versi mereka.
Pandangan berbeda tentu dimiliki oleh masyarakat yang tak berada di dalamnya. Bagi khalayak umum, mendengar namanya saja ibarat momok menakutkan yang sewaktu-waktu bisa mengancam hidup mereka.
Rekam jejak Jemaah Islamiyah yang terlibat dalam aksi teror di berbagai tempat dalam sejarah gerakan terorisme Indonesia tentu menimbulkan stigma negatif dalam masyarakat. Kerusuhan di Ambon dan Poso, kiriman bom di rumah Duta Besar Filipina Leonides Caday, serangan bom ke 20 gereja di berbagai kota (Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Mojokerto, Mataram, dan sebagainya) aksi teror Bom Bali 1 dan 2 yang menggemparkan dunia, serta pengiriman pasukan ke wilayah konflik di luar negeri merupakan beberapa contoh manifestasi dari gerakan Jemaah Islamiyah.
Tak pelak, ketika pada 30 Juni 2024 lalu terucap deklarasi pembubaran diri yang diikuti dengan ikrar untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi terucap dari Jemaah Islamiyah, peristiwa ini sontak menimbulkan tanda tanya besar. Apakah hal itu merupakan sebuah bentuk kesadaran untuk bertransformasi menuju ke arah yang lebih baik, atau sebenarnya deklarasi tersebut hanyalah kedok untuk menutupi rencana lain yang sedang disiapkan?
Pertanyaan-pertanyaan retoris maupun kritis itulah yang coba dijawab oleh Sentot Prasetyo dalam bukunya yang berjudul JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah. Pergulatannya selama empat belas tahun di Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) hingga menjadi Kepala Densus 88 sejak tahun 2023 tentu menjadi legitimasi penting tentang keabsahan dan kredensial karya tulis yang ia bukukan tersebut.
Dengan kompetensi dan pengalamannya menangani serta terlibat langsung dalam kasus maupun aksi teror yang tersebar di berbagai wilayah itulah Sentot Prasetyo kemudian mencoba mengurai secara detail perjalanan Jemaah Islamiyah sebagai sebuah organisasi hingga mewujud menjadi aksi dan gerakan konkret ke relung kehidupan masyarakat.
Tak mudah untuk mendapatkan gambaran utuh dari JI yang gerakannya sangat tertutup. Namun demikian, kepingan informasi yang bukan hanya dari pihak eksternal atau desas-desus belaka, melainkan juga akses terhadap orang dalam JI untuk mengonfirmasi kebenaran perihal apa yang sudah dilakukan, proses yang sedang dijalankan, hingga rencana aksi yang akan dieksekusi pada kemudian hari itulah yang membuat buku ini berbeda dan terasa lebih lengkap.
Dalam salah satu kaidah jurnalistik, buku ini merupakan praktik dari prinsip menghadirkan perspektif dari kedua sisi yang sedang menjadi topik pembahasan (cover both side).
Terbagi ke dalam tiga belas bab utama, poin-poin yang menjadi pembahasan dalam buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah menurut hemat saya bisa dilihat dari empat pokok bahasan. Lima bab pertama merupakan penjelasan tentang sejarah tentang bagaimana terbentuknya JI beserta ajaran-ajaran serta prinsip dasar yang menjadi nafas gerakan organisasi yang menghendaki negara Islam sebagai tujuannya tersebut.
Sejarah tentang para pendiri JI dalam buku ini diurai secara gamblang. Mulai dari pertautannya dengan Negara Islam Indonesia (NII), titik perpisahan dengan NII yang dikenal dengan Infishol 92, sampai dengan tokoh-tokoh penting yang turut mewarnai perjalanan JI.
Jika dalam banyak literatur disebutkan bahwa pendiri JI adalah duo Abdulah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, dalam buku ini Sentot Prasetyo yang mengonfirmasi kebenaran ini kepada para petinggi JI menyebutkan hal yang berbeda.
Bahwa kelompok ini pada mulanya merupakan hasil deklarasi dari 11 orang yang terdiri dari Adullah Sungkar, Adung, Afif Abdul Majid, Jaenuri, Muklas, Mustaqim, Abu Husna, Yusuf Irianto, Abu Rusydan, Saat, dan Adi Bukhori.
Tak ada nama Abu Bakar Ba’asyir di dalamnya, karena figur itu baru muncul belakangan dengan daya tawarnya melalui kader-kader penggerak JI hasil didikan dari Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo yang ia dirikan.
Kitab berjudul Al Jami’ fi Thalabul ‘Ilmi ast-Syarif karya Abdul Qodir bin Abdul Aziz menjadi manual idoelogis yang dijadikan justifikasi atas tindak kekerasan yang mereka lakukan dalam setiap rancangan aksi teror.
Seiring berjalannya waktu, JI kemudian juga merumuskan sendiri diktum yang dikenal sebagai Pedoman Umum Perjuangan Jemaah Islamiyah (PUPJI). Diktum ini merupakan panduan bagi para anggota JI mengenai langkah perjuangan, struktur organisasi, dan tujuan jangka panjang dari JI itu sendiri.
Pembaruan terhadap pedoman itu juga dilakukan seiring adanya tantangan zaman dan situasi yang terus berkembang, sehingga tak lama kemudian lahir pula apa yang disebut sebagai dokumen bertajuk Amir JI: Tuntunan Total Amniyyah Sistem dan Total Operation Solution (AJI TUN TAS TOS). Ia berisikan konsep yang lebih komprehensif dalam mengatasi berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan struktur organisasi.
Fleksibilitas dokumen itu menjadi kekuatan yang kemudian memberikan kebebasan kepada anggota JI untuk menyesuaikan taktik berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan yang dihadapi. Pada praktiknya, JI tidak hanya berfokus pada kekuatan militer yang sarat dengan kekerasan, melainkan juga terhadap pembangunan infrastruktur sosial dan politik melalui cara yang lebih elegan.
Sementara itu, bab keenam dan bab ketujuh dari buku ini merupakan ulasan lebih jauh terkait bagaimana proses rekrutmen anggota yang pada kemudian hari menjadi kader-kader penggerak dari JI.
Pendekatan yang mereka lakukan sering kali begitu halus, sehingga dalam beberapa kesempatan cukup banyak pesantren dengan latar belakang ideologi yang sebenarnya bertolak belakang dengan JI, namun ternyata santri mereka turut bergabung menjadi anggota JI dan bersedia menjalankan misi yang telah direncanakan sejak jauh-jauh hari untuk menegakkan negara Islam dan menjalankan pemerintahan Islam di Indonesia.
Sistem rekrutmen di dalam tubuh JI terdiri dari tiga tahapan utama, yakni input, proses, dan output. Tahap input berfokus pada seleksi awal calon anggota berdasarkan standar ideologi, postur, dan kemampuan dasar. Dalam tahap proses, para calon anggota diberikan indoktrinasi dan pelatihan untuk menjadi kader yang sejalan dengan visi dan misi JI, baik melalui pendidikan ideologis maupun pelatihan fisik dan militer.
Sedangkan, dalam tahap output anggota yang berhasil menyelesaikan pelatihan diberikan tugas dan peran yang disesuaikan dengan kemampuan dan spesialisasi mereka.
Selain strategi rekrutmen yang sistematis dan professional, keleibhan JI juga terletak pada jaringan dengan cakupan luas yang dimilikinya. Beberapa kemitraan itu, misalnya, dengan menjalin latihan militer dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina Selatan dan veteran perang di Afghanistan, serta bantuan pendanaan untuk operasional kegiatan dan perencanaan aksi teror yang diberikan oleh Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Lebih lanjut, dalam bab delapan hingga sebelas dari buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah merupakan penjabaran tentang bagaimana pergulatan yang terjadi di internal JI setelah beberapa momen kritis.
Mulai dari kehilangan tokoh-tokoh kunci yang tewas atau tertangkap oleh aparat, dukungan finansial dari Al-Qaeda yang terhenti karena banyaknya operasi yang gagal sebelum dilaksanakan karena anggota mereka ditawan melalui operasi besar-besaran aparat keamanan Indonesia, dan yang tak kalah pentingnya ialah mulai munculnya konflik internal mengenai arah perjuangan JI ke depan.
Krisis internal ini kemudian diperparah dengan pilihan Abu Bakar Ba’asyir untuk membelot dan mendirikan organisasi baru bernama Jemaah Anshar Tauhid (JAT).
Berbagai tekanan yang muncul di atas, serta ditambah dengan adanya pengawasan ketat dari aparat keamanan, membuat JI berkali-kali berada di ambang kehancuran, sampai kemudian lahirlah keputusan besar untuk membubarkan diri dengan penuh kesadaran dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun.
Baca juga: Secrets Of Divine Love, Buku Wajib Buat Kamu yang Lagi Galau
Salah satu titik balik mengenai transformasi pemahaman anggota JI berawal dari mulai adanya diskusi tentang aspek fikih, terutama mengenai tema jihad. Apakah jihad benar-benar memerintahkan umat Islam untuk turun ke medan perang dan mengayunkan senjata dengan seluruh kekuatan mereka, atau ada cara lain yang lebih elegan dan sesuai konteks zaman? Begitulah kira-kira pertanyaan yang memantik adanya perubahan pandangan JI nantinya.
Dari pembahasan dan diskusi internal itulah kelak kemudian dihasilkan nasihat 642 dan dokumen setebal 400 halaman berisi penjelasan mengenai 42 pertimbangan syar’i tentang wajibnya mendukung legitimasi NKRI yang ditulis oleh pemimpin (amir) terakhir mereka, Para Wijayanto.
Hal ini menandai perubahan paradigma dan cara pandang JI yang sekaligus merevisi tujuan utama mereka untuk mendirikan negara Islam. Dokumen ini pun telah dikonsultasikan dengan para pakar seperti Dr. Sholahuddin yang 20 tahun meneliti tentang JI.
Dua bab terakhir buku ini pada akhirnya merupakan kristalisasi dari perubahan arah gerak JI. Sentot Prassetyo melalui bukunya mengurai bahwa proses terjadinya deklarasi pembubaran diri pada pertengahan tahun 2024 lalu bukanlah hal yang terjadi secara tiba-tiba.
Ia merupakan hasil dari perjalanan panjang sejak penangkapan amir terakhir JI serta beberapa tokoh senior JI yang dilanjutkan dengan penyamaan persepsi, menyisir pendekatan persuasif terhadap tokoh senior JI, operasi penegakan hukum besar-besaran, blokade jaringan logistik dan pendanaan, hingga akhirnya terjadilah peristiwa monumental di Sentul pada 30 Juni itu.
Pertemuan yang menjadi panggungan pembubaran JI tersebut berlangsung di Hotel Lorin Sentul Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini pada mulanya dikemas dalam forum silaturahmi antar pondok pesantren yang berafiliasi dengan JI dengan tujuan untuk menyamakan persepsi di kalangan para pimpinan pondok pesantren tentang perubahan organisasi JI yang telah lama dipertimbangkan seelumnya.
Dipimpin langsung oleh tokoh senior kelompok JI, pertemuan itu dihadiri oleh 119 perwakilan dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Medan, Sumatera Barat, Lampung, NTB, Sulawesi Tengah, hingga Sulawesi Selatan.
Dimulai sejak pukul delapan pagi hingga berakhir pada jam delapan malam, forum itu menyepakati revisi kurikulum pendidikan di pesantren untuk para santri dan perubahan mendasar tentang arah perjuangan ke depan. Bahwa tujuan utama mereka bukan lagi mendirikan negara Islam, tetapi justru menjaga kedaulatan negeri dengan bentuk jihad yang disesuaikan dengan tantangan zaman hari ini bagi Indonesia.
Identitas Buku
- Judul : JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah
- Penulis : Irjen. Pol. Sentot Prasetyo, S.I.K.
- Penerbit : Elex Media Komputindo
- Tahun Terbit : 2024
- Tebal Buku : 452 halaman