
Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi
Sejarah selalu mencatat apa yang dikisahkan oleh para pemenang, begitulah adagium yang selama ini kita dengar. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa sejarah terkadang melupakan atau bahkan mendistorsi seseorang atau kisah yang tidak sesuai dengan agenda besar yang dimiliki oleh mereka yang berkepentingan.
Tak heran jika kemudian para generasi muda hari ini begitu mudah dikaburkan atau dibuat lupa atas peristiwa-peristiwa penting yang pada hakikatnya menjadi bibit-bibit penting atas apa yang terjadi di Indonesia di era kiwari. Salah satu momen krusial yang perlu lebih banyak mendapatkan atensi ialah apa yang terjadi pada tahun 1950 waktu itu.
Fragmen sejarah ini menjadi titik balik kembalinya kedaulatan negara dalam bentuk kesatuan dengan corak pemerintahan republik sesuai dengan apa yang telah dirumuskan para pendiri bangsa ini. Perlu diketahui bahwa Indonesia sempat menjadi negara serikat sebagai konsekuensi atas keputusan yang disepakati pada Konferensi Meja Bunda (KMB) di Den Haag, Belanda pada tahun 1949.
Atas dasar itu pula kemudian wilayah Indonesia dibagi menjadi lima belas negara bagian yang ternaung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), yakni Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Billiton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumateras Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah.
Pada kurun waktu pemerintahan RIS, wilayah Indonesia sebenarnya mengecil, karena ia hanya mencakup sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Tak hanya itu, di masa itu pula muncul pergolakan di berbagai daerah dengan satu muara tuntutan yang sama, yakni mereka ingin kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gejolak demo terjadi di beberapa wilayah yang ada di RIS. Bahkan, di beberapa negara bagian menghadapi perebutan kekuasaan, seperti pemberontakan Andi Aziz di Makasaar, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan peristiwa Westerling di Bandung dan Jakarta. Semuanya terjadi begitu cepat, sehingga pada akhir Maret 1950 hanya tersisa empat negara bagian yaitu Republik Indonesia, Sumatera Timur, Kalimantan Barat, dan Indonesia Timur.
Melihat suara akar rumput yang begitu vokal dan tulus, muncullah sebuah ide brilian dari Mohammad Natsir, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat waktu itu, yang disebut dengan mosi integral, yakni sebuah gagasan untuk mengembalikan Indonesia menjadi sebuah negara kesatuan yang berlandaskan republik atau lebih populer dengan sebutan NKRI.
Natsir menegaskan bahwa solusi dari semua perpecahan ini adalah dengan mengembalikan bentuk negara kesatuan, bukan negara federasi. Ia beranggapan bahwa tidak ada negara bagian yang lebih tinggi kedudukannya dari negara bagian yang lain, sehingga seluruh negara bagian harus dilibatkan dalam penyelesaian masalah.
Dalam prosesnya, Natsir menempuh jalan perjuangan yang tidak mudah. Ia bergerak ke sana kemari untuk meyakinkan berbagai tokoh dari latar belakang yang berbeda, mulai dari Partai Syarikat Indonesia, Persatuan Tarbiyah Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, hingga Partai Komunis Indonesia.
Usulan itu pun pada akhirnya diterima oleh para anggota parlemen yang ada di RIS, yang mana tindak lanjut dari keputusan itu kemudian parlemen mendorong pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah strategis mengembalikan kedaulatan Indonesia dalam bentuk NKRI. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1950, lima tahun pasca proklamasi kemerdekaan di Jakarta, Soekarno yang waktu itu menjadi presiden secara resmi membubarkan RIS dan menyatakan bahwa Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Baca juga: Titik Nol, Kehendak Berpemerintahan Sendiri
Mohammad Hatta, Wakil Presiden pasa masa tersebut, kemudian menyebut peristiwa penting tersebut sebagai “Proklamasi Kedua”. Jika melihat substansi dan dampak yang dihasilkan dari usulan Natsir tersebut, tak berlebihan kiranya jika momentum itu dalam hemat penulis merupakan salah satu peristiwa yang kelak akan menentukan arah sejarah bangsa Indonesia ke depannya.
Implikasi penting dari mosi integral yang dipelopori oleh Natsir ini setidaknya berefek pada empat hal penting, yakni memperkuat kemandirian ekonomi, meningkatkan kepatuhan hukum, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mendorong pembangunan pendidikan, hingga menjadi corong untuk suara kritis dan membuka jalan untuk partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan kebijakan.
Selepas kembalinya Indonesia dalam bentuk NKRI, Natsir sempat dilantik menjadi perdana menteri dalam waktu yang singkat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan pendapat cukup tajam antara Soekarno dan Natsir dalam melihat hubungan antara Islam dan nasionalisme sebagai dua kutub ideologi pembangunan bangsa. Jika Soekarno menilai sekularisasi adalah kunci, maka Natsir justru berpendapat pentingnya belajar dari kehancuran Turki akibat praktik sekularisasi yang justru menjadi bumerang kemunduran bangsa. Selain itu, Natsir juga mengkritik Soekarno yang kurang memperhatikan kesejahteraan penduduk di luar Jawa.
Dengan kesadaran dirinya, Natsir kemudian memilih untuk mengundurkan diri. Meskipun demikian, peran-peran sebagai pemikir, penulis, pejuang, ulama, hingga politikus tetap ia jalankan dalam rentang waktu pasca berada di luar pemerintahan. Perannya pun diakui secara nasional hingga internasional, baik dalam ranah keilmuan hingga perannya dalam dunia diplomasi, seperti membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.
Sebaliknya, Indonesia justru terbilang telat mengakui jasa besar Natsir, karena butuh waktu lima belas tahun pasca kematiannya pemerintah Indonesia baru memberikan penghormatan secara layak dengan memberikan gelar pahlawan nasional. Ide-ide dan gagasan Natsir, oleh karenanya, penting untuk terus dibaca dan dikaji oleh generasi muda hari ini.
Mosi integral yang digagas oleh Natsir merupakan fakta sejarah yang penting dan hampir dilupakan oleh masyarakat luas. Jika kita tilik buku-buku sejarah, tak banyak yang memberikan perhatian atas peristiwa penting dan bersejarah ini yang menjadi tonggak untuk kembalinya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena siklus sejarah barangkali akan menjadi berbeda jika Natsir tak menggagas mosi integral waktu itu.