
Oleh: Miftahussurur
Kenapa harus titik nol? Bukankah hal tersebut menempatkan kita pada posisi awal untuk kita memulai kembali dan melaju agar memperoleh angka (nilai). Interpretasi kita bebas mengenai angka nol ini, tetapi saya menempatkan angka nol itu pada posisi penengah atau pemisah antara keadaan positif dan negatif, sehingga menghadirkan diri yang selalu seimbang dan memihak.
Memihak kepada sesuatu yang menumbuhkembangkan diri yang produktif sebagai keinginan bersama-sama. Atas dasar itulah kehendak mereformasi diri itu menjadi keharusan dalam diri atau dengan kata lain struktur tubuh dan isi di dalamnya adalah hasil kebijakan yang kita buat sendiri, apakah mau bergerak ke arah positif (laju kanan) atau negatif (laju kiri).
Ingat, diri kita adalah bentuk pemerintahanan itu sendiri. Konsep ini dihadirkan untuk memberikan pandangan bahwa perubahan besar dimulai dari perubahan kecil, yaitu dimulai dari titik nol. Memang tertatih, namun begitu konsep untuk terlatih.
Maka dari itu, hadirlah konsep siap dipimpin, siap memimpin, dan siap disiplin. Saya tidak mau menjabarkan konsep ini dalam konteks definisi maupun dalam ruang lingkup keberhasilan untuk mendapatkan materi, tetapi ingin berbagi hal reflektif dari hasil Pondok Kader Jang Oetama yang saya temukan di dalam kegiatannya.
Jika kita melihat banyak kebijakan atau pola pemerintahan yang kontroversial oleh negara, maka kritik terhadap kebijakan itu sudah pasti, apalagi sedang masif dalam deretan tahun 2025 ini. Akan tetapi, apakah hanya sampai di situ saja?
Sudah tentu tidak. Perlu kita sama-sama sadari bahwa realitas hari ini sudah memang terencana terstruktur, tersistematis dan masif (by design) untuk memuluskan kepetingan kelompok tertentu. Lalu apa yang harus dilakukan?
Respon fenomena sosial apalagi yang kontroversial itu sifatnya sudah alamiah untuk kita kritik dan beri masukan (baik berupa video atau tulisan). Namun, jika keduanya tidak mampu untuk dilakukan, maka kita harus juga berbenah. Tidak menutup kemungkinan ada kekeliruan dalam diri kita dalam membuat suatu “kebijakan” untuk diri.
Ini bukan dalam rangka membangun egosentris kedirian, tapi membangun kesadaran bahwa kita sedang berada di posisi mana (minus atau plus) agar lebih terstruktur dan terukur. Sudahkah kita menerapkan kebijakan yang ideal terlebih dahulu dalam diri?
Soal kritik-mengkritik memang semua orang pandai, tapi jika ditelusuri lebih jauh terkadang kita sedang berada pada posisi yang kurang baik (tidak produktif), lalu bagaimana mau melakukan perlawanan yang sifatnya jangka panjang? Ini untuk membuktikan bahwa mentalitas “Prawireng Djoerit” dan “Prajurit” itu berbeda.
Kontrol sosial dan kebijakan memang perlu, tapi jika sistem dalam diri saja belum terbentuk, bagaimana memberikan naskah rekomendasi terbaik untuk bangsa. Disadari atau tidak, namun kebanyakan fakta dari kita seperti itu.
Percobaan dan kesalahan (trial and error) tidak masalah karena sedang mencoba yang terbaik dan mau membina diri dengan catatan tidak merugikan orang lain dari sistem yang kita buat atau cenderung stagnan.
Kita sedang ingin membangun suatu sistem yang terbaik dan tak hanya ada pada momentum tertentu. Ada tenaga dan waktu sebagai pijakan utama dan disinilah keharusan untuk disiplin itu di butuhkan sebagai paradigma gerakan.
Baca juga: Aktivis Peneleh: Pinilih Atau Pemilih? (Bagian 1)
Disiplin tidak hanya tentang waktu, meskipun itu sangat perlu dan merupakan kunci utama dalam membuat suatu kebiasaan. Untuk memulai agenda ini, ada beberapa tahapan yang bisa kita mulai dari kebiasaan, mental, pikiran, gerakan, sampai menjadi peradaban.
Secara tidak langsung, kebiasaan kita membentuk sistem untuk kita sendiri, dan kita perlu memperbaiki kebiasaan terlebih dahulu untuk membentuk peradaban. Semua itu dimulai dari titik nol.
Sistem yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad saw ialah sebagai berikut: “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia orang yang beruntung.” Ini bukti bahwa Nabi pun memaklumatkan sistem yang baik dimulai dari kebiasaan diri terlebih dahulu.
Aristoteles juga berpendapat bahwa kita adalah apa-apa yang berulang-ulang (we are what we repeatedly do). Bayangan awal mengenai sesuatu yang sulit kita lakukan barangkali bisa diawali dengan menjadikannya kebiasaan.
Saya membayangkan mempelajari bahasa Arab dan Inggris itu susah karena menjadi keharusan bagi peserta yang mengikuti Pondok Kader Jang Oetama. Akan tetapi, setelah mempelajarinya dengan membiasakan ternyata tidak sesusah yang dibayangkan. Hanya tinggal pembiasaan mengenai konsistensi dan disiplin.
Ternyata jika diambil petunjuk lebih jauh, Al-Qur’an sudah berpesan dalam surah Al-Balad ayat 10 hingga 13. Bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan, makanya jika kita hendak melepaskan itu tempuhlah jalan yang sukar tadi yaitu melepaskan perbudakan atau pembatasan diri agar kita tidak menjadi budak atas kemalasan itu sendiri.
Semuanya bisa dipelajari, tinggal kita mau atau tidak? Lalu jika disambung dengan ayat 18-19 sebagai kategori bagi kita yang hendak ingin membangun titik nol yang berpihak pada sisi kanan (positif).
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi