
Oleh: La Ode Sapiansyah
Mendepa sejarah panjang HOS Tjokroaminoto sama dengan menelusuri kembali jejak sejarah bagaimana bangsa ini diteguhkan, pun Aktivis Peneleh itu sendiri. Bagaimana landasan kejadian bertemu dan bertautnya antara Islam sebagai agama, nasionalisme sebagai pahaman penyatuan pun penegasian.
Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh bangsa Turki kala itu, dan lebih-lebih hadirnya sosialisme yang bertransformasi menjadi komunisme sebagai ideologi pergerakan dan pembebasan secara radikal yang juga bergelora di kala itu.
Dalam konteks kekinian, Peneleh kembali hadir. Bukan, bukan hanya sebatas kekayaan historis atas apa yang telah dikonstruksi oleh sejarah, ataupun pengkultusan tokoh-tokoh, apalagi sekadar hadir karena kebesaran sejarah dan ingin kembali berlaga.
Seolah-olah menjadi juru selamat baru untuk bangsa yang kian hari kian bobrok ini. Tidak, tentu tidak seperti itu. Peneleh hadir lebih jauh dari hanya kata kesedar itu, Peneleh hadir dan menjelma menjadi gerakan sosial baru kebangsaan dan keumatan dalam kerangka mengembalikan bangsa dan umat ini pada martabatnya. Bangsa ini, negeri ini dan bahkan manusianya, sudah terlampau jauh melupakan identitasnya. Identitas yang dibangun atas dasar local wisdom kenusantaraan yang begitu plural tapi satu dibawah naungan nilai-nilai ketuhanan.
Aktivis Peneleh bukan pula sebagaimana kondisi Sarekat Islam dulu, sebuah pergerakan yang bercorak millenarism, pengkultusan pada satu tokoh, dan ketika tokohnya hilang maka gerakannya pun selesai. Tidak, Aktivis Peneleh lebih canggih dari itu. Aktivis Peneleh bergerak dengan landasan religiositas dan kebangsaan sebagi basis nilainya.
Pergerakan yang dinisbatkan sebagai wajah baru dari gerakan Sang Guru Bangsa (HOS Tjokroaminoto). Bedanya dengan SI ataupun yang juga menokohkan HOS Tjokroaminoto sebagai role model gerakan adalah bahwa Aktivis Peneleh hadir bukan dengan menonjolkan satu tokoh sebagai wajah gerakannya, akan tetapi semua kader dari Aktivis Peneleh itu sendiri dididik menjadi Tjokro-Tjokro muda.
Meminjam istilah Aji Dedi Mulawarman dalam bukunya (2022) Tjokro-Tjokro Muda disebutnya sebagai “Jang Oetama yang hidup”. Bahwa spirit perjuangan Sang Guru Bangsa (HOS Tjokroaminoto) dalam melawan kolonialisme, imperialisme, dan bahkan liberalisme kala itu, tidaklah selesai dalam ruang-ruang kesejarahan. Terutama di konteks kekinian, semangat perlawanan itu terus hidup secara genealogi terkontekstualisasi dalam ruang berpikir dan laku Aktivis Peneleh dalam menjawab tantangan zaman hari ini.
Di zaman sekarang, zaman yang disebut sebagai abad 21 ini, zaman yang digadang-gadang bahwa kehidupan umat manusia akan menjadi lebih baik, kehadiran sains dan teknologi dengan segala kecanggihan dan kesempurnaanya diniscayakan mempermudah segala aktivitas mansuia, malah memunculkan paradoks yang tak berkesudahan.
Sementara itu, pertikaian antara modern dan posmodern begitu kentara mempolarisasi umat manusia. Keyakinan-keyakinan atas kehidupan yang serba objektif oleh modernisme malah dikritik habis-habisan oleh posmodernisme yang mengamini bahwa kebenaran sifatnya subjektif.
Di antara objektifitas dan subjektifitas itulah, umat manusia terjebak dalam disorientasi hidup. Kerusakan dimana-mana. Bukan hanya yang bersifat material, tapi juga imaterial.
Moralitas manusia sebagai individu pun kelompok bahkan moralitas sebagai sebuah bangsa sekalipun tergerus dan parahnya lagi, seakan-akan kita tidak sadar akan kondisi itu. Kita dibuat terlena oleh kebahagiaan-kebahagian fana dan profan. Kita terdesain menjadi manusia yang di istilahkan oleh Aji Dedi Dedi Mulawarman (2023) sebagai Manusia AMOR (agnostik, materialistik, oportunistik, dan rasionalistik).
Manusia-manusia yang kehilangan kediriannya, sebab materi menjadi indikator eksistensi dan tujuan hidup. Bahkan lebih jauh dari itu, mengganggap diri sebagai Tuhan. Manusia-manusia di abad ini adalah manusia yang juga diistilahkan oleh Ari Kamayanti (2017) sebagai manusia mesin atau manusia modern. Mereka-mereka yang menolak Tuhan sebagai pusat realitas (Irawan, et al., 2024: 125).
Fenomena di atas menjadi potret dari peradaban umat manusia dewasa ini. Tidak terkecuali peradaban Indonesia atau pun Nusantara itu sendiri. Memotret lebih dekat bagaimana kondisi kebangsaan kita hari ini, menghadirkan banyak tanda tanya.
Bangsa kita, seakan kembali pada kondisi dahulu, kondisi dimana bangsa ini terjajah oleh para kolonial. Akan tetapi, penjajahan sekarang, bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik pun sekedar penanaman nilai-nilai liberalisme melalui politik etis.
Lebih jauh dari itu, bangsa ini dijajah bangsa Barat dengan wajah baru liberalisme ialah neoliberalisme. Infiltrasi nilai liberal ini masuk terinstitusi melalui kekuatan ekonomi dan politik global. Masuk melalui ratifikasi hukum dan menjelma menjadi kebijakan-kebijakan yang mesti dipatuhi dalam konteks kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dalam hal ini, elit politik, pengusaha, birokrasi pemerintah, masyarakat biasa dan bahkan aktivis kepemudaan sekalipun determinisme di hadapan kekuatan itu. Kekuatan elit global yang juga berkongsi dengan elit lokal untuk menguasai kekayaan negeri ini. Lebih-lebih aktivis kepemudaan.
Positioning aktivis kepemudaan dewasa ini, diistilahkan oleh Irawan, dkk (2024) sebagai bebek-bebek peradaban. Kenapa bebek? Sebab aktivisme kepemudaan hari ini suka sekali ikut-ikutan. Ikut sana ikut sini, ikut kepentingan elit sana, ikut kepentingan elit sini, dan banyak lagi lainnya.
Hari ini, aktivis lebih menggandrungi posisi-posisi. Posisi ketua ini, ketua itu, ketua di tempat sini, ketua di tempat sana dan blablabla. Aktivis sekarang lebih suka tampil sebagai aktor-aktor publik, jadi politisi misalkan. Track recordnya biasanya dimulai dari dua kondisi.
Pertama, jadi aktivis cerdas dan visioner sebagai batu loncatan (biasanya jalur ini dilalui oleh anak muda tanpa privilege tertentu). Kedua, aktivis biasa saja yang show up langsung di politik karena privilege tertentu. Tipologi yang kedua ini lebih instan dari yang pertama. Biasanya ia dititipkan memang oleh privilege-nya(bekingannya) di posisi-posisi strategis di OKP ataupun di Partai Politik (parpol) dan sejenisnya.
Menunggu giliran untuk tampil di kontestasi politik praktis sambil lalu mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebagai alat pemenangan ketika bertarung nanti. Ujung-ujungnya pasti kekuasaan. Setelah berkuasa, melakukan korupsi untuk uang balik modal setelah berkontestasi dalam politik. Cara pandang seperti ini sangat culas dan tentu tidak mendidik bangsa dan generasi berikutnya.
Baca juga: Aktivis Peneleh: Pinilih Atau Pemilih? (Bagian 1)
Aktivis Peneleh mesti hadir menjawab tantangan tersebut, sebagaimana HOS Tjokroaminoto dulu bergerak meletakkan dan meneguhkan dasar dari kerangka kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Aktivis Peneleh harus tampil sebagai juru selamat baru tanpa menegasikan organisasi kepemudaan lain.
Membangun gerakan kolektif dan kolaboratif menumpas hegemoni kapitalis global yang bercokol di Indonesia. Bukankah kata Peneleh itu sendiri adalah istimewa? Sebagaimana artinya dalam bahasa Jawa kuno ialah pinilih yang berarti terpilih.
Lantas kenapa masih kita menemukan kondisi di mana Aktivis Peneleh memiliki sikap pemilih? Memilih-milih untuk berkontribusi. Jangankan untuk negeri, untuk himpunan pun rasa-rasanya begitu sulit. Padahal doktrin di Peneleh sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam “Nilai-Nilai Dasar Ke-Penelehan (N2DkP)” tidak hanya persoalan individu yang mesti diselesaikan tapi juga persoalan umat dan bangsa.
Sungguh ironis, di tengah-tengah tumbuh dan berkembangnya gerakan Aktivis Peneleh, malah banyak kader-kader yang bersifat seperti itu. Apatis, pragmatis, bahkan oportunis seakan menjadi ciri dari kader-kader Aktivis Peneleh hari ini.
Mungkin saja betul apa yang selalu disampaikan oleh Pak Aji di setiap diskusi-diskusi yang berlangsung di ruang-ruang diskursus Aktivis Peneleh. Bahwa Aktivis Peneleh hari ini mengalami kegagalan dalam memahami dan menerjemahkan nilai-nilai kepenelehan yang bahkan telah berevolusi itu.
Hari ini Aktivis Peneleh meneguhkan ideologinya. Telah lahir buah pikir dari hasil evolusi nilai-nilai kepenelehan yang berangkat dari ketokohan satu sosok, yakni HOS Tjokroaminoto. Sang Guru Bangsa. Tokoh Revolusioner yang inspiratif.
Buah pikir itu ialah Tjokroisme (Tjokroism). Ideologi dinamis yang dinisbatkan cukup, bahkan lebih jikalau dihadapkan dengan isme-isme lain. Sebab Islam sebagai keyakinan dan agama terlalu raksasa apabila disandingkan dengan isme-isme itu. Tjokroisme senantiasa bernafaskan Islam yang tidak kaku. Tjokroisme tidak pula menegasikan keyakinan yang lain. Sebagaimana Islam dalam QS. Al-Baqarah ayat 62:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”
Sekalipun berbeda keyakinan (agama) dan berbeda tradisi, adat dan budaya, Tjokroisme menerima itu sebagai sesuatu yang plural dan niscaya. Sebab Tjokroisme sendiri, berdiri diatas landasan religiositas dan kebudayaan Nusantara. Integrasi antara nilai-nilai ketuhanan dan kebudayaan menjadi jalan baru untuk umat dan bangsa ini memperbaiki peradabannya. Peradaban yang berkesucian.
Peradaban yang ditempuh dengan Jalan Suci Nusantara, lalu kemudian diterjemahkan lebih jauh menjadi gerakan Inisiasi Kiri Nusantara sebagai tirakat mereposisi bangsa dan umat ini yang terlalu kekanan-kananan. Tentu dalam tradisi Islam jalan thaharah dan tazkiyah adalah derivasi dari bagaiman mensucikan diri (manusia) dan tentu sosial (masyarakat) termaksud didalamnya.
Terakhir, sebagaimana HOS Tjokroaminoto, berjuang tanpa kenal lelah dalam memerdekakan bangsa. Seperti itulah semestinya perjuangan kader-kader Aktivis Peneleh hari ini. Tiada kata lelah dalam berjuang, apabila Tuhan sebagai akhir dari tujuan segala perjuangan.
Jadilah alif yang tetap tegak walau digempur berkali-kali oleh realitas duniawi yang mengotor. Jadikan perjuangan sebagai ibadah. Semuanya berawal dari Tuhan dan kembali juga kepada-Nya. Jadilah mujaddid-mujaddid muda yang siap merubah dan mencerahkan. Sebagimana leluhur kita dulu, kita adalah sama. Sebagai pejuang, pencerah dan pembaharu.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi