
Oleh: La Ode Sapiansyah
Beberapa tahun terakhir ini, semenjak tahun 2019 awal sampai dengan sekarang (2025), muncul sebuah gerakan baru kepemudaan. Gerakan yang hadir dengan optimisme tiada henti ditengah-tengah bobroknya kondisi pemuda dan bangsa hari ini. Gerakan tersebut adalah gerakan yang menamai dirinya sebagai gerakan Aktivis Peneleh.
Melacak ke belakang tentang kesejarahan Aktivis Peneleh, kita akan diajak menelusuri jejak sejarah panjang kebangsaan kita. Sebab kata Peneleh tidak hanya menjadi ikonik bersejarah serta bagian daripada warisan budaya, tetapi juga mendeskripsikan kondisi tempat/rumah perlawanan tokoh-tokoh bangsa terhadap kolonial kala itu.
Peneleh hadir menyertai semangat kolektivisme tokoh-tokoh bangsa dalam usaha memerdekakan bangsa. Bahkan Sukarno (presiden pertama Indonesia) sendiri mengistilahkan ‘Rumah Peneleh’ sebagai Dapur Nasionalisme (Adams, 2013: 58).
Membincangkan lebih jauh tentang ke-Penelehan dalam konteks sosio-historis, akan mengantarkan kita pada satu tokoh yang membentuk tautan sejarah perlawanan kemerdekaan bangsa sekaligus simbol dari Peneleh itu sendiri. Ialah HOS Tjokroaminoto.
Tak dapat disangkal, rumah Peneleh begitu erat kaitannya dengan separuh rentetan kehidupan sosok tersebut. Rumah yang menjadi simbol kelahiran Guru Bangsa, gurunya para tokoh pendiri bangsa Indonesia (Mulawarman, 2022: 23).
Istilah Guru Bangsa menjadi kausalitas tersendiri dengan sebutan rumah Peneleh sebagai Dapur Nasionalisme. Dalam konteks tersebut, HOS Tjokroaminoto digambarkan sebagai Guru yang mampu mendidik banyak tokoh-tokoh bangsa dengan latar belakang pemikiran yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan pemikiran, latar belakang trah keturunan dan bahkan geografis tempat lahir serta kebudayaan yang tidak sektoral akan tetapi menyeluruh menjadikan dasar lahirnya nasionalisme yang dibangun dengan landasan rasa cinta akan tanah air dan perasaan senasib sepenanggungan.
Sebut saja misalkan Soekarno dengan konsep nasionalisnya, Semaoen dengan gagasan Sosialis-Komunisnya dan Kartusuwiryo dengan ide Islam radikalnya. Semua tokoh-tokoh bangsa tersebut digodok dan dibentuk di Rumah Peneleh.
Aji Dedi Mulawarman (2022) menjelaskan lebih jauh bahwa rumah Peneleh saat itu bagaikan rumah bernyawa, rumah dimana HOS Tjokroaminoto melakukan aktivitas sehari-hari, menerima tamu dari kalangan biasa sampai tokoh-tokoh utama negeri yang nantinya bernama Indonesia, hingga menjadi tempat diskursus ideologis, diskursus masalah kontekstual negeri, bahkan menjadi tempat dimana rencana-rencana besar Sarekat Islam digerakkan oleh pak Tjokro.
Membincang HOS Tjokroaminnoto dalam konteks Ke-Penelehan, tentu tidak terlepas dari potret pergerakan beliau sebagai ketua Sarekat Islam.
Sarekat Islam sendiri merupakan sebuah organisasi massa yang berevolusi dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang muncul karena adanya hegemoni ekonomi dari pedagang Cina (Gujarat) oleh H. Samanhudi kemudian menjadi Sarekat Islam (SI) yang dinisbatkan untuk perlawanan secara keseluruhan atas penjajahan kolonial Belanda waktu itu.
Perubahan nama dari SDI ke SI adalah satu strategi yang dilakukan oleh HOS Tjokroaminoto memandang tantangan “Bumiputra” yang terlampau besar menuju kemerdekaan. Sarekat Dagang Islam sendiri berdiri lebih awal dari Boedi Oetomo yaitu ditahun 1905, setelah itu berubah menjadi Sarekat Islam ditahun-tahun setelahnya (1911), dengan banyak pertimbangan.
Pertimbangan itu di antaranya ruang pergerakan perlawanan organisasi itu sendiri terhadap kondisi Hindia yang terjajah hampir di setiap wilayahnya (tidak hanya di Jawa, Sulawesi, maupun Aceh tapi sampai bahkan diwilayah Maluku) serta dalam setiap cluster manusia dan profesinya.
Menariknya adalah ketika membahas lebih jauh tentang Peneleh, HOS Tjokroaminoto dan Sarekat Islam, banyak hal akan ditemukan didalamnya. Terkait diferensia antara Sarekat Islam dengan organisasi yang juga ada di zaman itu dan lebih-lebih landasan serta corak pergerakan yang dibangun. Sebutlah Boedi Oetomo, misalkan.
Baca juga: Siti Walidah, Ulama Perempuan Penyeru “Perempuan Harus Memiliki Jiwa Srikandi”
Gerakan yang dilakukan oleh Boedi Oetomo adalah gerakan sektoral yang hanya berbasiskan Jawa dan Madura saja (Mulawarman, 2022: 8). Selain itu Boedi Oetomo juga kental dengan nuansa kebangsawanannya (Priyai), sehingga dalam prospeknya terhadap perlawanan menghadapi pendudukan Belanda yang hampir seluruh bagian Hindia dikuasai kurang signifikan. Walaupun tidak terpungkiri bahwa riak-riak perjuangannya juga terlihat.
Berbeda dengan gerakan yang dibangun oleh HOS Tjokroaminoto di Sarekat Islam. Gerakannya dibangun dengan semangat universalitas, tidak membeda-bedakan antara pemeluk-pemeluknya. Perbedaan kebudayaan, perbedaan bahasa bahkan perbedaan agama sekalipun . Gerakan Sarekat Islam adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Hadji Agoes Salim (Amelz: 1952: 15):
“Pun dari mulanja pergerakan Sarekat Islam dalam menuntut hak-hak bagi rakjat dan membela kepentingan-kepentingan rakjat, sekali-kali tidak membeda-bedakan antara rakjat jang beragama Islam dengan jang beragama lain-lain. Dan dengan tegas sekali pergerakan Sarekat Islam tidak bersifat atau bersemangat pergerakan agama, melainkan semata-mata, kerakjatan kaum “Kromo”, jang dibedakan daripada kaum pertuanan (bangsa Eropah) dan kaum ningrat (bangsa priyai) jang menjadi tulang punggung kekuasaan pendjadjahan”.
Kondisi yang inklusif dan egaliter dari Sarekat Islam menjadikan SI sebagai organisasi pertama yang mampu membangkitkan gairah perlawanan kaum pribumi dalam satu semangat kolektif. Gerakan nasional namanya.
Gerakan yang lahir dari pandangan Islam yang paling mendalam terhadap nasionalisme yang direfleksikan oleh HOS Tjokroaminoto, yang juga menjadi buah karyanya Islam dan Nasionalisme. Gerakan yang dalam istilah Hadji Agoes Salim disebut sebagai benih yang asli daripada pergerakan Indonesia.
Mengutip apa yang dikatakan oleh A.E. Priyono (Kuntowijoyo, 1999: 31) bahwa di awal abad ke-20, di tengah-tengah berlangsungnya apa yang disebut oleh M. Dawam Rahardjo industrialisasi di kawasan Indonesia kala itu, yang mengubah formasi sosial pra-kapitalis kearah formasi sosial kapitalis sehingga umat berubah posisi dari kawulo menjadi wong cilik.
Sebuah transformasi yang terjadi karena perubahan cara produksi dari sistem upeti ke kolonial, dan juga akibat perubahan sistem stratifikasi karena perluasan birokrasi kolonial di Jawa, Sarekat Islam hadir dan mampu mengartikulasikan kesadaran wong cilik dalam gerakan kelas en-soi untuk agregasi religio-politik dan ekonomi hingga menjadi organisasi paling berhasil dengan basis massa terluas dalam masa-masa pergerakan nasional.
Dalam bukunya (2022: 20-21), Aji Dedi Mulawarman Mengatakan:
”Awal abad ke-20 merupakan masa perubahan mendasar gerakan nasional di Indonesia, dari pergerakan kesadaran yang bersifat lokal dipedesaan berdasarkan insting perlawanan menuju kesadaran yang bersifat lintas lokal di perkotaan meski belum bersifat nasional, seperti ditunjukkan dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam tahun 1905, Djamiat Khoir, Boedi Oetomo 1908. Setelah itu, terjadi perubahan kesadaran yang lebih bersifat nasional, ketika Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi Sarekat Islam di tangan Pa Tjokro. Pergeseran kesadaran itulah yang nantinnya menyulut keberanian Pa Tjokro berbabis Islam menyerukan nasionalisme nusantara, bukan lagi lintas lokal atau bahkan lokalitas seperti BU atau spasial seperti SDI Tirtoadisoerjo dan H. Samanhudi.
Satu-satunya orang yang berani secara vokal dan terang-terangan mengatakan Hindia dengan pemerintahan sendiri sejak 1912 dan lebih radikal lagi hal tersebut dinyatakannya pada saat Kongres Nasionnal Pertama Central Sarekat Islam tahun 1916 di Bandung, seperti penulis jelaskan di awal bab ini. Semua bentuk kesadaran itu merupakan reaksi berbeda dari pendekatan yang sebelumnya, yaitu kolonialisasi besar-besaran menjadi apa yang disebut dengan politik Balas Budi atau politik Etis Belanda, yang semuanya ternyata berujung pada orientasi ekonomi dan melanggengkan kekuasaan kolonial Belanda. Politik Etis sebenarnya hanyalah bentuk pergeseran pendudukan atau kolonialisme berwajah lama (Kapitalisme kuno) berupa militerisme, pendudukan tanam paksa, dan lainnya, menuju liberalisme yang lebih mengutamakan keamanan dan ekonomi. Dan… dalam proses perubahan kesadaran itu, Pak Tjokro ada didalamnya, menjadi Jang Oetama—nama panggilan yang diberikan oleh para pimpinan dan anggota SI se-Indonesia kepada beliau, menjadi motor penggerak utama nasionalisme Indonesia.”
Sungguh pun demikian, Sarekat Islam tidak bisa tidak, juga mengalami gonjang-ganjing internal dan bahkan perpecahan. Dalam catatan sejarah, Semaoen, salah satu murid HOS Tjokroaminoto, selalu menentang gerakan yang dibangun oleh Gurunya itu.
Semaoen beranggapan bahwa HOS Tjokroaminoto terlalu lembut (gerakan radikal humanis) dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial. Baginnya gerakan seperti itu adalah gerakan yang tidak konkrit dan berbelit belit. Hingga pada akhirnya Semaoen bersama dengan beberapa kawannya membentuk gerakan baru ialah gerakan SI Merah di Semarang yang secara substansial melemahkan kekuatan Sarekat Islam.
Menengarai peristiwa tersebut, HOS Tjokroaminoto menghadirkan Islam dan Sosialisme sebagai counter terhadap gerakan SI Merah dan lebih dari itu, sebagai bentuk penegasan atas dasar yang sebenar-benarnya dasar yang melandasi pergerakan HOS Tjokroaminoto secara individu pun sebagai Ketua Sarekat Islam.
Sarekat Islam dibawah kepempinan HOS Tjokroaminoto, terhitung semenjak dahun 1912 sampai dengan tahun 1919 betul-betul membahana. Kenapa tidak, gerakannya mampu menghimpun massa yang awalnya 2.000-an anggota bertambah pesat hingga mencapai 2.500.000 anggota. Ekspansinya, pergerakannya, bukanlah pergerakan biasa melainkan pergerakan yang diistilahkan oleh A. Dedi Mulawarman sebagai gerakan raksasa. (2022: 5).
SI sendiri memiliki corak berbeda dalam perlawananya di zaman itu. Misalkan, jika pergerakan sebelum-sebelumnya, sebagaimana perjuangan yang dilakukan oleh banyak tokoh-tokoh bangsa sebelum beliau seperti Imam Bonjol, Teuku Umar dan Cut Nyak Din, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja dan banyak lagi lainnya bercorakkan militerisme, yaitu perlawanan dengan kekuatan militer dan kekerasan.
Sedangkan Sarekat Islam, dalam pergerakannya tidaklah demikian. Corak pergerakan Sarekat Islam adalah milenarisme politik modern. Dimana pengkultusan tokoh politik sebagai representasi dari simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda menjadi role model.
Di satu sisi hal terssebut sejalan dengan pahaman masyarakat Jawa kala itu. Banyak yang masih meyakini bahwa akan ada satu masa dimana ketika bangsa sedang dalam kekacauan, akan muncul sang Ratu Adil atau sang Juru Selamat yang akan menyelamatkan rakyat dari ketertindasan yang berkepenjangan itu. Bahkan dalam sisi yang lain, di tradisi Islam pun, tertuang dalam hadits Baginda Muhammad SAW yang mengatakan bahwa setiap 100 tahun pasti akan muncul pembaharu (mujaddid).
“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini, yang akan memperbarui agama mereka pada setiap akhir seratus tahun” (Al-Malahim jilid 4, hal. 109, karya Abu Dawud. Lihat juga pada A. Dedi Mulawarman, 2022: xx). Dalam konteks tersebut, jika menghitung rentetan sejarah, maka kemunculan HOS Tjokroaminoto adalah keniscayaan sejarah.
Hadir sebagai mujaddid baru di tahun 1924 setelah sebelumnya, Pangeran Diponegoro dan kaum Paderi di tahun 1824, Sultan Agung (1624), Sultan Trenggono (1524), Megat Iskandar Syah (1424), dan seterus-seterusnya (Mulawarman, 2022: xxii). HOS Tjokroaminoto juga merupakan representasi dari cluster keenam dari apa yang disebut sebagai Islam Nusantara. Satu kondisi dimana alam membentuk kesadaran zaman dengan ‘logika fraktalnya’ yang berlangsung beratus-ratus tahun lamannya dipanggung sejarah.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi