
Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin pagi waktu setempat. Sejak berita mengenai pembahasan RUU TNI muncul, gelombang penolakan yang kemudian berlanjut dalam bentuk aksi demo di berbagai tempat.
Sayangnya, DPR seakan lupa dengan tugas dan esensinya, yakni corong bagi aspirasi rakyat yang memilihnya untuk duduk di kursinya. Fenomena wakil rakyat yang lupa terhadap mereka yang telah mendukung dan memilihnya terus saja terjadi. Rakyat pun dibohongi terus-menerus.
Lebih parah lagi, ada begitu banyak kecacatan yang terjadi di balik proses pengesahan RUU TNI, baik secara logika maupun prosedurnya. Ketika dimintai jawaban, DPR pun berlindung di balik begitu banyak alasan konyol, seolah-olah rakyatnya begitu gampang dibodohi.
RUU TNI, Bayi yang Dipaksakan Lahir untuk Kepentingan Penguasa
Semua kejanggalan itu berawal dari pembentukan panitia kerja untuk penggodokan RUU TNI yang dilakukan pada 27 Februari 2025. Bagaimana tidak aneh? Bahkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025 yang sudah disepakati oleh semua anggota DPR, tidak ada rencana pembahasan mengenai RUU TNI.
Keanehan berlanjut saat tersiar kabar bahwa Komisi I DPR RI tiba-tiba sedang membahas tentang RUU TNI di Hotel Fairmont Jakarta, sebuah anomali di balik jargon efisiensi yang didengungkan oleh pemerintah pusat. Saat koalisi masyarakat sipil mencoba melayangkan protes ke ruang rapat, represi pun dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan aparat keamanan.
Rapat perdana sendiri dilaksanakan pada 13 Maret 2025, dan ajaibnya hanya butuh waktu satu minggu, termasuk hari libur, untuk kemudian mengesahkan RUU TNI secara resmi pada Kamis, 20 Maret 2025. Lebih lucu lagi ketika proses pengesahan dalam waktu yang singkat, tanpa ada upaya dari satu fraksi partai untuk mengakomodasi suara rakyat yang terus menggema secara luring maupun daring melalui kanal media sosial.
Satu hal yang juga begitu janggal ialah terkait akses masyarakat untuk membaca draf RUU TNI yang dibahas. Begitu sulit untuk mendapatkan dokumen yang seharusnya bisa diakses oleh publik tersebut. Ketika ada dokumen yang beredar, DPR pun mengelak bahwa itu adalah hoax dan bukan dokumen resmi yang menjadi rujukan pembahasan mereka.
Belum lagi komunikasi publik pemerintah maupun DPR yang bisa disebut begitu buruk. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan komposisi kabinet gemuk, termasuk untuk urusan staf komunikasi kepresidenan, yang didengung-dengungkan untuk bekerja secara optimal.
Show Of Force Militer yang Tidak Berada Pada Tempatnya
Fenomena yang juga tak kalah menyulut gelak tawa dalam proses pengesahan RUU TNI ialah adanya unjuk kekuatan (show of force) berlebihan yang ditampakkan oleh pasukan militer maupun kepolisian dalam mengamankan gedung DPR dari serbuan pendemo.
Sejak rapat diam-diam yang digelar di hotel telah mendapatkan protes dari masyarakat, pasukan militer dengan perlengkapan perangnya pun dikerahkan untuk menjaga area hotel. Bahkan pihak hotel pun mengakui bahwa baru kali ini ada penjagaan dari militer yang begitu ketat, sesuatu yang rasanya terakhir kali terjadi saat Orde Baru.
Pada hari di mana RUU TNI disahkan, sebanyak 5.021 personel gabungan antara TNI dan kepolisian pun dikerahkan untuk menjaga demo penolakan RUU TNI yang digelar secara masif oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aliansi masyarakat sipil, hingga seniman dan influencer seperti Ferry Irwandi.
Potret ini tenu bukan kabar baik, karena unjuk kekuatan pada hakikatnya dilakukan saat pasukan TNI sedang menggelar latihan gabungan untuk simulasi perang yang bisa terjadi kapan saja. Fenomena ini menjadi alarm bahwa represi militer bisa saja kembali sebagaimana terjadi begitu jelas pada masa Orde Baru dahulu.
Baca juga: Korupsi Dana Hibah, Dinas Pendidikan Jawa Timur Digeledah Kejati
Dwifungsi ABRI yang Hidup Kembali dan Referomasi yang Mati?
Dari semua hal di atas, aspek yang memicu kemarahan publik tentu saja poin-poin perubahan dalam RUU TNI yang disahkan dengan proses secepat kilat kemarin. Ada tiga pasal penting yang patut untuk disoroti, yakni revisi dalam pasal 3, pasal 7, pasal 47, dan pasal 53.
Pasal 3 membuka ruang untuk perluasan keterlibatan dalam aspek perencanaan strategis di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, berbeda dari draf sebelumnya yang hanya mencakup dukungan administrasi dan strategi pertahanan selaku tupoksi utamanya. Artinya, militer bisa saja terlibat dalam keputusan yang berefek kepada masyarakat sipil.
Kemudian, dalam pasal 7 yang membahas mengenai operasi militer selain perang, wewenang serta komandonya pada awalnya disandarkan kepada kebijakan dan keputusan politik negara. Sedangkan, dalam draf terbarunya hal itu diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Dengan bahasa lain, pemanfaatan pasal ini sangat rawan untuk disalahgunakan oleh pihak yang berkepentingan, khususnya presiden.
Lebih lanjut, pada pasal 47 itulah tersirat tanda-tanda kembalinya dwifungsi ABRI melalui penambahan pos jabatan di kementerian atau lembaga yang bisa ditempati oleh TNI aktif. Jika sebelumnya ada 9 pos, maka dalam draf terbaru jumlah itu bertambah menjadi 14, termasuk pos strategis semacam keamanan laut, kesekretariatan negara, narkotika, kejaksaan RI, hingga mahkamah agung.
Poin yang juga sangat problematis ialah pasal 53 yang intinya mengenai perpanjangan batas usia pensiun bagi tentara aktif di berbagai pangkatnya. Jika demikian adanya, tak salah kiranya jika masyarakat mencium kembali hidupnya dwifungsi ABRI, sementara reformasi perlahan mati dengan cara yang mengenaskan.
Penulis: Ahmad Bagus Kazhimi