
KORANPENELEH.ID – Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 memicu polemik di tengah masyarakat dan menjadi topik panas di berbagai platform media sosial. Proses revisi yang dianggap berjalan terlalu cepat dan minim partisipasi publik menjadi salah satu sorotan utama dari berbagai kalangan, termasuk Rumah Syuro Peneleh.
Dalam diskusi yang digelar pada Kamis (20/3), Pengurus Pusat Aktivis Peneleh Jang Oetama melalui Rumah Syuro menyampaikan sikap tegas menolak revisi UU TNI. M. Galif Hadi Arianto, perwakilan dari Rumah Syuro, mengungkapkan bahwa terdapat tiga persoalan utama dalam proses dan substansi revisi undang-undang tersebut.
“Pertama, proses revisi yang berlangsung cepat tanpa melibatkan aspirasi masyarakat menimbulkan kecurigaan publik terhadap motif politik di balik kebijakan ini,” ujar Galif. Menurutnya, kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip demokrasi deliberatif.
Persoalan kedua yang disoroti adalah substansi revisi yang memberikan perluasan peran TNI dalam pemerintahan dan lembaga sipil. Galif menilai bahwa penguatan peran TNI di ranah sipil dapat membuka ruang bagi kembalinya militerisme dalam politik Indonesia, yang selama ini telah diatur secara ketat pasca-reformasi.
“Ketiga, implikasi dari revisi ini berpotensi mengancam supremasi sipil dalam politik nasional serta merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade,” tegasnya.
Menurut Galif, revisi tersebut membuka peluang bagi militer untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan sipil, yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis.
Atas dasar tersebut, Rumah Syuro Peneleh dengan tegas menyatakan penolakan terhadap revisi UU TNI. “Kami ingin TNI tetap fokus pada fungsi utamanya sebagai institusi yang menjaga keamanan dan pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan sipil,” pungkas Galif.
Rumah Syuro Peneleh juga menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk mengawal kebijakan ini dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap terjaga dalam tatanan politik Indonesia.
“Kami tidak ingin kembali ke masa kelam di mana militer menjadi kekuatan politik yang dominan,” tegas Galif menutup pernyataannya. (JH/Red)