
KORANPENELEH.ID – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jeblok secara mengejutkan pada Selasa (18/03) lalu. Titik terendah IHSG berada di level 6.017,27 atau turun sekitar 6 persen. Bursa Efek Indonesia (BEI) kemdian membuat keputusan darurat: pembekuan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan.
Keputusan itu dikuatkan dengan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep- 00024/BEI/03-2020 pada 10 Maret 2020. Isinya tentang perubahan panduan penanganan kelangsungan perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam kondisi darurat. Dalam surat itu, trading halt dilakukan mulai pukul 11.19 WIB. Penghentian itu dilaksanakan selama kurang lebih 30 menit.
Kebijakan trading halt itu dirancang untuk memberikan waktu bagi pelaku pasar agar dapat mencerna situasi dan memitigasi potensi gejolak lebih lanjut di pasar saham. Berdasar catatan, sebanyak 126 saham menguat. Lalu ada 584 saham yang melemah dan 247 stagnan.
Sebagai perbandingan, terakhir kali IHSG memberlakukan kebijakan pembekuan perdagangan terjadi pada dua momen penting yang sama-sama akibat krisis, yakni krisis finansial global pada tahun 2008 dan krisis global akibat pandemi covid-19 pada tahun 2020 lalu.
Pelemahan IHSG ini dipicu oleh sejumlah faktor domestik, seperti penerimaan negara yang turun 30,19 persen secara tahunan menjadi Rp 269 triliun. Kondisi ini juga memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bank Indonesia pun menjadi sulit menurunkan suku bunga. Tak ayal, para investor pun memilih aset yang lebih aman. Banyak orang kaya memilih menjual asetnya secara massal.
Per bulan Februari lalu, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, APBN telah defisit sebanyak 3,2 triliun. Tak hanya itu, belanja pemerintah pun turun sebesar 7 persen, yang mana hal ini secara tidak langsung juga meningkatkan rasio utang yang berada pada angka 44,77 persen.
Sejak Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024, IHSG dalam catatan telah mengalami penurunan signifikan sebanyak 1.549,21 poin. Sepanjang periode itu, IHSG harian tercatat turun sebanyak dua puluh satu kali dengan rasio penurunan lebih dari 1 persen.
Jika menilik faktor global, apa yang terjadi di pasar saham Indonesia merupakan anomali. Hal ini dikarenakan saat indeks saham pasar luar negeri mengalami rasio positif, justru hanya Indonesia yang tercatat negatif.
Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, menyatakan bahwa anjloknya IHSG tersebut disebabkan oleh realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 yang memburuk. Padahal, outlook fiskal di tahun 2025 cukup berat.
Selain itu, akibat kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi yang jelas juga menjadi penyebab IHSG memburuk. Isu mega korupsi yang terus mencuat setiap waktu juga telah merusak kepercayaan investor terhadap pasar dan keberlangsungan ekonomi Indonesia.
Di sisi lain, isu baru yang juga membuat investor takut terhadap pasar Indonesia ialah adanya revisi terhadap Undang-Undang (UU) TNI yang dinilai dibahas secara diam-diam hingga perubahan pasal-pasal yang dianggap melegitimasi kembali dwifungsi militer juga menjadi pemicu anjlokya pasar saham RI.
Lalu, kekhawatiran terhadap credit rating Indonesia yang akan turun. Dimana Fitch dan Moodys akan mengumumkan credit rating-nya di Maret-April, dan S&P Global Ratings akan dirilis pada Juni-Juli 2025 mendatang