
Doc. Istimewa
Malang – Sekretariat Yayasan Peneleh Jang Oetama, Malang, menjadi saksi terselenggaranya kegiatan Ngaji Tjokroisme yang diisi oleh Assoc. Prof. Dr. Aji Dedi Mulawarman. Kegiatan ini mengusung tema “Jalan Suci Nusantara”, yang menyoroti makna perjuangan menegakkan kebenaran dan dekolonisasi Nusantara dari pengaruh peradaban Barat.
Dalam pemaparannya, Aji Dedi Mulawarman menekankan bahwa jalan untuk mewujudkan kesucian di Nusantara bukanlah jalan yang mudah. “Jalan ini adalah jalan thariqah, jalan yang ditempuh oleh para salih, para auliya’, para nabi, dan para sahabat. Peristiwa pemboikotan Bani Hasyim oleh kaum Quraisy di masa Rasulullah SAW adalah salah satu contoh sejarah penting tentang bagaimana menegakkan jalan suci dalam keterbatasan,” tegas Aji Dedi.
Beliau juga menyoroti pentingnya kesungguhan dalam menegakkan Jalan Suci Nusantara. “Berjuang menegakkan kebenaran bukan sekadar mengikuti simbol-simbol dan meneriakkan yel-yel seperti Peneleh Zelfbestuur Aksi, tetapi benar-benar menyerahkan segalanya demi kebenaran itu sendiri. Termasuk dalam perjuangan menghadapi keterbatasan, seperti berupaya mencari jalan self-hosted dalam teknologi,” tambahnya.
Aji Dedi Mulawarman juga membahas konsep dekolonisasi sebagai langkah penting dalam membebaskan Nusantara dari jebakan poskolonialisme yang telah menciptakan pseudo Nusantara—Nusantara penuh kepalsuan. “Dekolonisasi ini bukan hanya pada level konsep, tetapi juga pada tataran mental dan spiritual. Ini adalah proses thaharah dan tazkiyah—membersihkan permukaan dan kedalaman manusia Nusantara dari pengaruh mentalitas pragmatis dan kolonialisme Barat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aji Dedi menyoroti pentingnya paradigma Nusantara sebagai pengganti paradigma modern dan posmodern yang berakar pada peradaban Barat. Menurutnya, krisis yang melanda dunia saat ini adalah akibat dominasi paradigma Barat yang antroposentris dan materialistik. “Paradigma Nusantara harus berlandaskan pada empat kaidah utama, yakni jati diri, integralitas, relasi religiositas-kebudayaan, dan tujuan ilmu Nusantara yang berorientasi pada nilai-nilai teosentris,” jelasnya.
Dalam sesi diskusi, Aji Dedi juga mengingatkan bahwa untuk membangun Nusantara yang sejati, dibutuhkan kesadaran untuk menolak mentalitas copycat, sikap Westphalian, serta kesadaran pragmatis yang berorientasi pada kepentingan material semata. “Jika kita tidak menyelesaikan masalah dalam diri kita sendiri, maka kita akan terus mengulang kesalahan yang sama dalam penyelenggaraan negeri ini,” tutupnya.
Kegiatan Ngaji Tjokroisme ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif, di mana para peserta aktif bertanya dan berbagi pandangan terkait konsep dekolonisasi, jalan thariqah, dan pembangunan paradigma Nusantara yang berbasis pada nilai-nilai spiritual dan kebudayaan lokal.
Dengan semangat Jalan Suci Nusantara, acara ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan kesadaran kolektif untuk membangun Nusantara yang mandiri, berlandaskan pada nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal.(JH/Red)