
Doc. Pinterest
Koordinator Nasional Aktivis Peneleh, Ahmad Tsiqqif Asyiqullah, menyampaikan kritik tajam terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang membuka ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di hingga 15-16 kementerian. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi memperburuk tata kelola pemerintahan dan mengancam prinsip efisiensi serta meritokrasi dalam pengisian jabatan publik.
“Kementerian sudah gemuk, lalu digemukkan lagi, ya obesitas. Saya sebut obesitas pemerintahan kalau seperti ini terus. Pertambahan menjadi 15 atau 16 kementerian yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif ini tidak efisien,” tegas Tsiqqif dalam pernyataan resminya, Minggu (16/3).
Tsiqqif menyoroti dua persoalan utama yang muncul dari kebijakan tersebut. Pertama, soal dwifungsi yang dinilainya tidak fungsional dan hanya akan memperpanjang pola bagi-bagi kekuasaan di lingkaran elite pemerintahan. “Lagi-lagi soal bagi-bagi kue yang sudah basi,” ujarnya.
Kedua, ia menekankan bahwa pengisian jabatan kementerian oleh prajurit TNI aktif bertentangan dengan prinsip meritokrasi, karena tidak menjamin kapabilitas dan kecakapan dalam posisi-posisi strategis di kementerian sipil. “Seharusnya kementerian diisi oleh orang-orang yang sesuai dengan bidangnya, bukan sekadar untuk memenuhi kepentingan politik atau kekuasaan,” tambahnya.
Sebagai resolusi, Tsiqqif menyerukan pentingnya efisiensi jabatan dalam struktur pemerintahan, sejalan dengan dorongan untuk efisiensi anggaran yang kerap digaungkan oleh pemerintah.
“Sebagaimana sering disuarakan soal efisiensi anggaran, maka efisiensi jabatan juga perlu diterapkan. Apalah arti efisiensi anggaran kalau jabatan digemukkan. Jangan sampai prajurit-prajurit ini sembarang menjabat, tapi soal kebijakan malah tidak bermartabat. Jangan sembarang menggadai amanah rakyat!” tandasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya refleksi terhadap konsep Prawireng Djoerit, sebagaimana diajarkan oleh HOS Tjokroaminoto. Menurut Tsiqqif, negeri ini membutuhkan para prajurit yang memiliki kapasitas dan mendengar suara rakyat, bukan prajurit yang hanya menjadi simbol kekuasaan.
“Negeri ini perlu para Prawireng Djoerit yang sesuai dengan nasihat HOS Tjokroaminoto. Bukan butuh prajurit-prajurit yang tidak sesuai kapasitasnya. Apalah guna prajurit, tapi tidak mendengar suara-suara rakyat yang menjerit?” pungkasnya.
Pernyataan Tsiqqif ini menegaskan posisi Aktivis Peneleh yang konsisten mengawal prinsip meritokrasi, efisiensi, dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia. (JH/Red)