
Oleh: Dzulkarnain Jamil, M.Sos (Badko HMI Jawa Timur)
Sudah menjadi tradisi bagi orang Indonesia, saat lebaran momentum lebaran akan tiba, berbondong para perantau pulang untuk bertemu sanak famili di kampung atau rumah. Budaya ini lebih akrab disebut sebagai mudik.
Mudik tidak hanya menjadi momentum temu sanak famili, tetapi sekaligus juga menjadi ajang silaturahmi tahunan masyarakat. Karena itu, sejak jauh hari, masyarakat di seluruh Indonesia, bahkan yang di luar negeri juga berbondong-bondong membeli tiket untuk mudik.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mulai memfasilitasi tradisi ini dengan program mudik gratis. Layanan ini mencakup berbagai moda transportasi, mulai dari bus, kereta, hingga kapal laut, yang disediakan oleh pemerintah pusat hingga tingkat kabupaten.
Bagi masyarakat kecil dan mahasiswa, program ini tentu menjadi angin segar di tengah meningkatnya biaya transportasi menjelang lebaran. Namun, di balik kabar baik ini, muncul ironi yang mencederai semangat kebersamaan dan keadilan, yakni keberadaan mafia tiket yang dengan licik memanfaatkan program ini untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Tidak jarang, oknum-oknum tersebut ‘mengambil’ secara halus hak rakyat. Hal ini misalnya tercermin dalam program mudik gratis hasil kerja sama antara Express Bahari dan Kementerian Perhubungan RI (Kemenhub) dengan kuota 5.000 orang yang menuai kontroversi akibat kendala teknis dalam proses pendaftaran.
Pendaftaran yang dibuka sejak 10 hingga 13 Maret 2025 melalui aplikasi Express Bahari Mobile mengalami gangguan, di mana banyak calon pemudik kesulitan mengakses aplikasi tersebut.
Ketika berhasil masuk, mereka mendapati bahwa kuota tiket telah habis dalam waktu yang sangat singkat, hanya sekitar dua jam setelah pendaftaran dibuka. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan dan keluhan dari masyarakat, terutama warga kepulauan yang berharap bisa memanfaatkan program ini.
Masalah semakin memanas setelah muncul dugaan ketidaktransparanan dalam distribusi tiket. Sejumlah warga mencurigai adanya indikasi permainan internal yang menyebabkan tiket ludes dalam waktu singkat.
Kecurigaan ini muncul karena banyak warga yang merasa telah mencoba mendaftar sejak awal, tetapi tetap gagal mendapatkan tiket. Salah satu calon pemudik menyatakan bahwa aplikasi baru bisa diakses setelah pukul 12.00, namun tiket sudah dalam keadaan habis, yang dianggap sebagai situasi yang mencurigakan dan tidak adil.
Di tengah polemik ini, masyarakat mendesak Express Bahari dan Kemenhub untuk memberikan klarifikasi dan transparansi terkait proses distribusi tiket. Warga menuntut agar program mudik gratis di masa mendatang bisa dikelola dengan lebih adil dan merata, sejalan dengan tagline Bupati Sumenep “Bismillah Melayani.”
Hingga saat ini, pihak Express Bahari dan Kepala Disperkimhub Sumenep belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan ketidakberesan dalam pelaksanaan program tersebut.
Tentu saja Bupati Sumenep, Kapolres Sumenep, dan seluruh pihak berwenang harus, atau bahkan wajib mengambil tindakan tegas dalam mengusut dugaan kejahatan mafia tiket ini. Jika benar terbukti adanya praktik kecurangan, maka pihak-pihak yang terlibat harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
Jangan biarkan kepentingan segelintir kelompok merusak hak masyarakat untuk mendapatkan layanan publik yang adil dan transparan. Bupati Sumenep harus menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi kepentingan warganya dengan memastikan program mudik gratis ini bisa berjalan dengan sistem yang bersih, transparan, dan akuntabel di masa mendatang.
Penindakan tegas terhadap mafia tiket ini adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan menjamin hak publik atas akses mudik gratis yang merata dan berkeadilan. Jika pusat bersih-bersih, apakah didaerah akan menjadi sarang tikus? Harusnya dibersihkan juga.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi