
oleh: Hendra Jaya
Islam sebagai agama yang menegakkan tauhid dan mencintai keadilan telah beberapa kali menghadapi perlawanan dari penguasa yang zalim. Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam yang merepresentasikan perlawanan terhadap kezaliman adalah Perang Badar, yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijriah. Perang ini bukan sekadar konfrontasi militer, tetapi sebuah momentum penting dalam menegakkan prinsip keadilan.
Saat itu, kaum Quraisy Makkah yang merasa terancam oleh pesatnya perkembangan Islam melakukan berbagai cara untuk menghentikan dakwah Rasulullah. Mereka tidak hanya mengintimidasi kaum Muslimin, tetapi juga merancang pembunuhan terhadap Rasulullah sendiri. Kaum Quraisy melakukan penindasan kepada umat Muslim, seperti merampas barang dagangan pedagang dan berlaku tidak adil kepada kaum muslim di Makkah saat itu. Perang Badar pun terjadi dalam konteks ini—bukan sebagai upaya agresi, tetapi sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy.
“Karena ketidakadilan itulah ummat Islam melakukan perlawanan. Perang bagi ummat Islam bukan untuk membunuh dan mengalahkan musuh, tapi melampaui itu, untuk menegakkan keadilan.”
Meski dengan jumlah pasukan yang jauh lebih kecil dibandingkan Quraisy, umat Islam mampu memenangkan pertempuran. Kemenangan ini bukan hanya karena strategi perang yang cerdas, tetapi juga karena keyakinan yang teguh bahwa mereka sedang berjuang di jalan kebenaran untuk menegakkan keadilan. Islam tidak pernah memandang perang sebagai sarana utama dalam menyelesaikan konflik, tetapi ketika ketidakadilan telah mencapai puncaknya, maka perlawanan menjadi suatu keniscayaan.
Ketidakadilan di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kini
Jika kita refleksikan kondisi Indonesia hari ini, ketidakadilan tampak begitu nyata di berbagai sektor. Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan justru kerap dipermainkan untuk kepentingan elit politik dan pemodal besar. Rakyat kecil yang seharusnya dilindungi justru sering menjadi korban sistem yang tidak berpihak pada mereka.
Kita bisa melihat bagaimana ketidakadilan hukum terjadi secara terang-terangan. Kasus korupsi para pejabat sering kali berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas tanpa hukuman berarti, sementara rakyat kecil yang mencuri karena kelaparan dihukum berat. Peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan malah menjadi alat legitimasi bagi penguasa.
Di sektor ekonomi, ketimpangan semakin melebar. Kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih banyak menguntungkan korporasi besar ketimbang masyarakat kecil. Ribuan buruh mengalami PHK akibat ketidakpastian hukum dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada pekerja. Sementara itu, pengusaha besar terus mendapatkan fasilitas dan kemudahan regulasi untuk memperluas bisnis mereka.
Begitu pula dalam dunia pendidikan. Sistem pendidikan nasional semakin komersial dan jauh dari nilai-nilai keadilan sosial. Pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang, sementara anak-anak dari keluarga miskin harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ketidakadilan juga terjadi dalam kehidupan sosial. Konflik agraria, penggusuran paksa, dan perampasan tanah masyarakat adat sering kali dilakukan atas nama “pembangunan.” Suara rakyat kecil yang menuntut hak mereka kerap dibungkam dengan kekerasan, intimidasi, atau kriminalisasi.
Dalam kondisi seperti ini, umat Islam tidak boleh tinggal diam. Seperti yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat dalam Perang Badar, kita harus melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Strategi Perlawanan Umat Islam terhadap Ketidakadilan
Perlawanan terhadap ketidakadilan dewasa ini harus dilakukan dalam berbagai aspek, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dalam bidang politik, ummat Islam harus melakukan upaya Hijrah Syuro dari politik demokrasi liberal menuju politik Religius berbasis gerakan Musyawarah Mufakat atau kami menyebutnya sebagai gerakan Syuro.
Gerakan Syuro merupakan suatu inisiatif yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengembalikan kedaulatan rakyat berdasarkan nilai-nilai Islam dan ke-Nusantaraan. Gerakan ini berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta sejalan dengan nilai-nilai demokratis yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Secara historis, musyawarah (syuro) merupakan konsep yang telah lama menjadi bagian dari tradisi Islam dan budaya Nusantara. Dalam Islam, syuro adalah metode pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi masyarakat berdasarkan prinsip keadilan, kebijaksanaan, dan kemaslahatan bersama. Sementara dalam konteks Nusantara, sistem permusyawaratan telah lama digunakan dalam berbagai struktur sosial dan politik, baik dalam bentuk musyawarah adat, dewan rakyat, maupun tradisi deliberatif lainnya.
Gerakan Syuro bertujuan untuk memperkuat kembali peran rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara dengan cara membangun kesadaran politik, sosial, dan ekonomi berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Dalam implementasinya, gerakan ini mengusung strategi konsolidasi keummatan, yaitu dengan menyatukan berbagai elemen umat Islam dan masyarakat luas dalam satu kesadaran kolektif untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat. Konsolidasi ini dilakukan melalui berbagai forum diskusi, pendidikan politik, serta aksi-aksi nyata dalam ranah sosial dan ekonomi untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.
Dengan kata lain, Gerakan Syuro bukan sekadar gerakan politik dalam arti sempit, tetapi sebuah upaya besar untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih adil, partisipatif, dan berbasis nilai-nilai religius serta budaya bangsa. Gerakan ini menegaskan bahwa demokrasi sejati bukan hanya sekadar prosedural melalui pemilu, tetapi harus berakar pada prinsip musyawarah yang melibatkan semua elemen masyarakat secara aktif. Dalam konteks Indonesia, Gerakan Syuro berupaya menghadirkan kembali sistem kepemimpinan yang tidak hanya demokratis secara formal, tetapi juga mencerminkan kebijaksanaan kolektif yang bersumber dari nilai-nilai Islam dan ke-Nusantaraan.
Di sektor ekonomi, kemandirian harus menjadi fokus utama. Sistem kapitalisme yang eksploitatif telah menciptakan ketimpangan yang semakin melebar, dan umat Islam harus memiliki strategi untuk keluar dari ketergantungan terhadap sistem tersebut. Salah satu langkah penting adalah memperkuat ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi syariah dan usaha berbasis wakaf produktif. Selain itu, gerakan konsumsi produk halal dan mendukung usaha kecil milik umat Islam perlu digalakkan sebagai bentuk perlawanan terhadap monopoli ekonomi oleh korporasi besar. Teknologi juga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk memperkuat ekonomi umat, seperti pengembangan e-commerce berbasis syariah dan platform crowdfunding untuk mendukung usaha kecil dan menengah.
Dalam praktiknya, gerakan ekonomi Islam mengusung konsep bisnis yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bisnis berbasis persaudaraan berarti bahwa sistem ekonomi yang dibangun berlandaskan kerja sama dan saling mendukung, bukan eksploitasi. Sementara itu, prinsip kedermawanan memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit, melainkan juga didistribusikan untuk kepentingan sosial yang lebih luas, seperti penguatan ekonomi umat, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat miskin.
Salah satu fokus utama gerakan ini adalah pemuliaan terhadap petani, nelayan, dan buruh—tiga kelompok masyarakat yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian tetapi sering kali mengalami ketidakadilan struktural. Gerakan ini mendorong kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka, termasuk sistem perdagangan yang adil (fair trade), akses terhadap modal tanpa riba, serta penguatan kapasitas melalui pendidikan dan teknologi. Dengan demikian, petani, nelayan, dan buruh tidak lagi menjadi objek eksploitasi, melainkan menjadi subjek yang memiliki kendali atas perekonomian mereka sendiri.
Di bidang pendidikan, perubahan mendasar diperlukan agar sistem pendidikan tidak hanya berorientasi pada kepentingan industri tetapi juga membangun kesadaran sosial dan spiritual. Kurikulum harus didesain agar dapat menciptakan generasi yang berilmu, berkarakter, dan memiliki kepedulian terhadap keadilan sosial. Pendidikan berbasis nilai-nilai Islam harus diperkuat, baik di sekolah formal maupun dalam bentuk pendidikan berbasis komunitas. Selain itu, akses pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat miskin harus diperjuangkan melalui beasiswa dan sekolah berbasis wakaf, sehingga pendidikan tidak lagi menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu secara finansial.
Di ranah sosial, umat Islam harus menghidupkan kembali semangat gotong royong dan ukhuwah Islamiyah sebagai bentuk perlawanan terhadap individualisme dan kapitalisme yang merusak nilai-nilai kemasyarakatan. Jaringan dakwah harus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran umat tentang pentingnya keadilan sosial dan kepedulian terhadap sesama. Aksi-aksi sosial seperti advokasi hak buruh, petani, dan nelayan harus didukung agar suara mereka lebih didengar dalam kebijakan publik. Selain itu, gerakan filantropi Islam, seperti zakat, infaq, dan sedekah, harus lebih dioptimalkan untuk membantu kelompok masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan.
Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak harus dilakukan dengan kekerasan, tetapi dengan strategi yang sistematis dan berkelanjutan. Semangat Perang Badar harus menjadi inspirasi dalam perjuangan umat Islam hari ini—bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu, ekonomi, pendidikan, dan solidaritas sosial. Dengan strategi yang matang dan terencana, umat Islam dapat membangun perlawanan yang kuat dan efektif dalam menegakkan keadilan di berbagai aspek kehidupan.
Mewarisi Semangat Badar di Zaman Modern
Perang Badar mengajarkan kita bahwa ketidakadilan tidak boleh dibiarkan. Rasulullah dan para sahabat tidak berdiam diri ketika Islam dan nilai-nilai kebenaran dihambat dan ditindas. Mereka melakukan perlawanan demi menegakkan keadilan.
Hari ini, tantangan yang dihadapi umat Islam memang berbeda, tetapi esensinya tetap sama: melawan ketidakadilan dalam berbagai bentuknya. Oleh karena itu, kita harus menghidupkan kembali semangat Badar dalam perjuangan kita—bukan dengan pedang dan tombak, tetapi dengan ilmu, ekonomi, politik, dan solidaritas sosial.
Umat Islam di Indonesia harus sadar bahwa ketidakadilan yang terjadi saat ini bukan sekadar masalah individu, tetapi sistemik. Maka, solusi yang dibutuhkan juga harus sistemik—melalui perubahan di tingkat kebijakan, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam.