
Oleh: Hendra Jaya
Hadis yang populer di kalangan santri tentang perang yang lebih besar pasca Perang Badar bukan sekadar nasihat moral, melainkan sebuah doktrin perjuangan. Rasulullah menegaskan bahwa setelah perang fisik yang dahsyat, masih ada perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu.
Ini bukan hanya tentang menahan diri dari syahwat duniawi dalam arti pribadi, tetapi juga menaklukkan nafsu kekuasaan yang telah merusak tatanan sosial dan politik.
Ramadhan adalah medan latihan dalam peperangan ini. Puasa bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan perlawanan spiritual dan sosial terhadap segala bentuk ketundukan pada ego, materi, dan sistem yang menindas.
Dalam konteks individu, ini adalah perjuangan membentuk insan paripurna, manusia yang tak hanya saleh secara pribadi, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan politik yang tajam. Namun, jika kita perluasan perspektif ini, maka perjuangan spiritual di bulan Ramadhan juga harus melahirkan kesadaran akan peperangan yang lebih besar: melawan ilusi kekuasaan yang menjerat negeri ini.
Demokrasi yang digembar-gemborkan sebagai sistem terbaik ternyata tak lebih dari tirai untuk menutupi oligarki yang semakin menggurita. Kedaulatan rakyat hanya menjadi jargon di setiap pemilu, sementara keputusan-keputusan penting tetap berada di tangan segelintir elite politik dan pemilik modal.
Partai politik tak lagi menjadi alat perjuangan rakyat, melainkan korporasi yang melayani kepentingan dinasti tertentu. Negara, yang seharusnya menjadi alat kesejahteraan rakyat, justru menjadi instrumen eksploitasi yang dikuasai oleh mereka yang memiliki akses terhadap modal dan kekuasaan.
Baca juga: Ramadhan dan Substansi Perlawanan: Melawan Kedzaliman dan Kekufuran
Kita menyaksikan bagaimana hampir seluruh kementerian negara tercemar oleh korupsi. Kasus demi kasus terungkap, dari pengelolaan dana sosial yang dikorupsi, hingga mafia proyek infrastruktur yang hanya menguntungkan para oligark. Korupsi bukan lagi perilaku individu, tetapi telah menjadi sistematis, mengakar dalam birokrasi, dari tingkat pusat hingga daerah.
Sementara itu, nepotisme semakin terang-terangan dipertontonkan. Anak, menantu, saudara, hingga kolega dekat elite penguasa ditempatkan di posisi strategis, seolah-olah negara ini adalah perusahaan keluarga yang diwariskan turun-temurun.
Ketimpangan ekonomi terus melebar, dengan segelintir orang menguasai tanah, sumber daya alam, dan kebijakan negara. Rakyat kecil terus ditekan dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka: petani kehilangan lahan akibat proyek pembangunan, buruh diupah rendah tanpa kepastian kerja, mahasiswa dihadapkan pada biaya pendidikan yang semakin mahal, dan masyarakat umum harus berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik.
Sementara itu, pemegang kuasa justru hidup dalam kemewahan, membangun dinasti politik, dan memanipulasi hukum demi kepentingan mereka. Di tengah kondisi ini, apakah Ramadhan hanya akan menjadi seremonial tanpa makna? Apakah kita akan tetap berpuasa secara fisik, tetapi membiarkan nafsu kekuasaan dan ketidakadilan terus merajalela?
Perlawanan sejati bukan hanya di medan perang, tetapi di dalam diri sendiri dan di tengah masyarakat. Ramadhan bukan alasan untuk melemahkan semangat perjuangan, tetapi justru harus menjadi bahan bakar untuk membangun kesadaran dan keberanian melawan sistem yang menindas.
Diam adalah bentuk kekalahan. Jika kita membiarkan ilusi kekuasaan terus menguasai negeri ini, maka kita telah kalah dalam jihad yang lebih besar. Api perlawanan harus terus menyala, baik dalam diri sendiri maupun dalam perjuangan sosial.
Ramadhan bukan sekadar menahan lapar, tetapi momentum untuk menyalakan kembali kesadaran bahwa perlawanan terhadap hawa nafsu dan perlawanan terhadap sistem yang zalim adalah satu tarikan nafas yang tak boleh terhenti.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi