
Oleh: Hendra Jaya
Ramadhan bukanlah sekadar bulan ibadah yang diisi dengan puasa, tarawih, dan tadarus. Lebih dari itu, Ramadhan adalah bulan perlawanan. Perlawanan terhadap hawa nafsu, perlawanan terhadap sistem yang menindas, dan perlawanan terhadap segala bentuk kedzaliman serta kekufuran yang dilegitimasi oleh kekuasaan.
Jika kita telusuri sejarah Islam, Ramadhan selalu menjadi momentum perlawanan. Perang Badar terjadi di bulan ini—sebuah peristiwa monumental yang menunjukkan bahwa Islam tidak sekadar mengajarkan kesalehan individual, tetapi juga perjuangan kolektif melawan kezaliman. Rasulullah dan para sahabat tidak hanya berpuasa, tetapi juga berjuang melawan sistem yang menindas rakyat Makkah.
Tak hanya itu, dalam momentum Ramadhan ini pula terjadi penaklukan Kota Makkah yang terjadi pada bulan Ramadan tahun kedelapan sesudah Hijrah. Peristiwa ini disebut juga dengan Fathu Makkah, yang mana hal ini mengubah Kota Makkah yang awalnya penih kesyirikan dan kezaliman menjadi kota bernafaskan Islam.
Contoh lain bagaimana perlawanan digalakkan ialah penaklukkan Andalusia yang terjadi pada 28 Ramadhan tahun 92 H di Lembah Barbate. Pasukan muslim di bawah komando Dinasti Umayyah saat itu berhasil menguasai Andalusia (saat ini Spanyol), sehingga tak heran jika nafas Islam masih terasa di beberapa bagian Spanyol hari ini.
Negara yang Zalim dan Sistem yang Kufur
Di zaman ini, kedzaliman tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga dilembagakan oleh negara dan sistem yang mengatur kehidupan kita. Negara yang dzalim adalah negara yang membiarkan rakyatnya menderita, membiarkan hukum dipermainkan oleh oligarki, dan terus menciptakan kebijakan yang menindas kaum lemah.
Negara yang kufur adalah negara yang dengan sengaja menjauhkan rakyatnya dari nilai-nilai Islam, mengikis keimanan dengan sekularisme, dan menggiring masyarakat untuk hidup tanpa orientasi spiritual yang benar.
Ketika negara secara sistematis menanamkan nilai-nilai kufur—dengan mengabaikan hukum Allah, memisahkan agama dari kehidupan, dan membiarkan kebijakan ekonomi yang kapitalistik merajalela—maka itu bukan sekadar kebijakan, tetapi bentuk nyata dari kekufuran struktural. Lantas, apakah kita hanya akan diam? Apakah kita hanya akan pasrah dalam kondisi ini?
Ramadhan mengajarkan kita untuk tidak tunduk pada sistem yang menindas. Berpuasa bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya perlawanan terhadap segala bentuk kebobrokan. Seperti halnya kita melawan nafsu dalam diri, kita juga harus melawan sistem yang menindas.
Baca juga: Antroposentrisme dan Akar Permasalahan Krisis Iklim
Perlawanan ini harus bersifat total—baik secara intelektual, politik, maupun sosial. Kita tidak bisa hanya sibuk dengan ibadah ritual sementara ketidakadilan dibiarkan tumbuh subur di sekitar kita. Jika negara menindas rakyat, kita harus berani melawan. Jika kebijakan menggiring rakyat kepada kekufuran, kita harus tegas menolaknya.
Ramadhan bukan bulan pasif. Ia adalah bulan perjuangan. Maka, kita harus menjadikan momentum ini sebagai titik balik untuk merebut kembali nilai-nilai Islam dalam kehidupan, bukan sekadar puas dengan ibadah yang individualistik tanpa dampak sosial. Karena hakikat Islam adalah perlawanan, dan Ramadhan adalah energi untuk membakar semangat juang itu.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi