
Pada akhir Februari lalu, Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi 9 peserta pemililihan kepala daerah 2024 dan memerintahkan pilkada ulang secara total atau keseluruhan di 14 daerah, termasuk Provinsi Papua. Pada Pilkada serentak kal ini, MK menangani 40 gugatan, namun hanya 24 yang dikabulkan.
Penyebab PSU (pemungutan suara ulang) total atau pemilihan diulang di seluruh TPS bermacam-macam, mulai dari peserta Pilkada tidak jujur mengungkap dirinya pernah dipenjara, tidak punya ijazah, telah dua periode menjabat, sampai karena ada cawe-cawe menteri dalam mempengaruhi aparat.
Empat belas daerah yang melakukan pemilihan suara ulang total tersebut ialah Kabupaten Pasaman, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Empat Lawanag, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Palopo, Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Papua, Kabupaten Serang, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Boven Digoel, Kota Banjarbaru, Kabupaten Pesawaran, dan Kabupaten Bengkulu Selatan.
Berdasarkan sidang MK yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu, salah satu keputusan yang muncul adalah memerintahkan Pilkada ulang di seluruh TPS di Kabupaten Serang karena terbukti Menteri Desa Yandri Susanto mempengaruhi kepala desa untuk mendukung salah satu calon yang juga merupakan istrinya, yakni Ratu Rachmatuzakiyah.
Dari seluruh perkara yang dikabulkan, 24 perkara di antaranya dengan amar putusan memerintahkan KPU setempat menggelar pemungutan suara ulang, baik di semua maupun sebagian tempat pemungutan suara (TPS).
PSU maupun diskualifikasi calon dilakukan atas berbagai dasar, termasuk karena pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, persoalan teknis pemilihan, serta tidak terpenuhinya syarat pencalonan. Dengan cara itu, Mahkamah ingin memastikan legitimasi pilkada demi terciptanya pemilihan yang bermakna.
MK memerintahkan PSU di semua TPS di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, karena dalil pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif terbukti. MK pun mendiskualifikasi pasangan calon peraih suara terbanyak, Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pasangan Owena-Stanislaus terbukti melanggar secara terstruktur, sistematis, dan masif karena membuat kontrak politik dengan ketua rukun tetangga (RT). Kontrak politik itu ditandatangani oleh 28 Ketua RT dari 18 desa di lima kecamatan.
Pada kontrak politik itu, Owena-Stanislaus berjanji akan mengalokasikan anggaran dalam bentuk program alokasi dana kampung, ketahanan keluarga, hingga dana RT. Terdapat pula klausul Ketua RT menyosialisasikan kontrak politik dimaksud kepada warga.
Mahkamah Konstitusi menyebut kontrak politik itu bukan janji politik biasa, melainkan bentuk perekrutan tim pemenangan secara sistematis. MK juga menilai kontrak politik tersebut sebagai praktik pembelian suara (voting buying).
Baca juga: Dana Pembangunan Diblokir, Apakah Proyek IKN Ikut Berakhir?
Dalam perkara lainnya, MK menemukan kebenaran dalil politik uang pada pemilihan di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. MK memerintahkan PSU di seluruh TPS di Kecamatan Essang. MK menyatakan, terdapat bukti yang kuat adanya pembagian uang sebesar Rp50 ribu kepada peserta kampanye di lapangan Desa Bulude, Kecamatan Essang. MK menilai tindakan pembagian uang telah mencederai kemurnian hasil perolehan suara.
Kecurangan politik uang juga terbukti di Pilkada Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. MK menyatakan pembagian uang kepada pemilih senilai Rp100 ribu terjadi di empat TPS di Desa Sinar Manik, Kecamatan Jebus. Atas dasar itu, Mahkamah memerintahkan PSU di keempat TPS tersebut.
Sementara itu, polemik Pilkada Kota Banjarbaru 2024 bermula dari pendiskualifikasian terhadap satu dari dua pasangan calon, kurang dari sebulan menjelang hari pencoblosan. Kendati tinggal satu pasangan calon, pemungutan suara tidak digelar dengan metode kotak kosong.
Nama dan gambar pasangan calon yang didiskualifikasi tetap ada di dalam surat suara, yang sudah terlanjur jadi. Namun begitu, pemilih yang mencoblos kolom pasangan calon yang telah didiskualifikasi dihitung sebagai suara tidak sah.
Menurut Mahkamah, alasan KPU Kota Banjarbaru tidak mencetak ulang surat suara ketika itu karena mengingat waktu dan biaya tidak dapat dibenarkan. Sebab, keputusan tersebut dinilai membingungkan pemilih. MK pun menyatakan Pilkada Kota Banjarbaru tidak dilaksanakan secara demokratis dan melanggar asas pemilu, khususnya adil dan bebas, karena tidak adanya keadilan bagi para pemilih.
Tak hanya itu, melalui amar putusannya, MK juga mendiskulifikasi calon kepala daerah yang sejak awal tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini, Mahkamah mendiskualifikasi calon yang tidak jujur perihal status terpidana, tidak memiliki ijazah, hingga tidak jujur dalam penerbitan surat keterangan (suket).
Calon wakil bupati Pasaman, Sumatera Barat, peraih suara tertinggi, Anggit Kurniawan Nasution, diskualifikasi karena terbukti tidak jujur mengenai statusnya sebagai mantan terpidana. Anggit ternyata pernah divonis pidana 2 bulan 24 hari dalam kasus tindak pidana penipuan.
Berdasarkan putusan MK terdahulu, mantan terpidana yang melakukan tindak pidana yang ancamannya di bawah lima tahun tidak perlu menunggu masa jeda untuk dapat mendaftarkan dalam pilkada. Namun, yang bersangkutan tetap wajib terbuka dan jujur mengumumkan latar belakangnya.
Sementara itu, calon wakil gubernur Papua peraih suara tertinggi, Yermias Bisai, didiskualifikasi akibat ketidakjujuran mengenai alamat domisili dalam penerbitan surat keterangan tidak pernah terpidana dan tidak sedang dicabut hak pilihnya.
Surat keterangan tidak sedang dicabut hak pilih dan tidak pernah sebagai terpidana atas nama Yermias Bisai diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jayapura. Namun, di persidangan sebelumnya, Yermias mengaku tidak mengetahui dan tidak tinggal di Kota Jayapura.
Berbagai temuan mengenai hal ini tentu berujung pada pertanyaan mendasar, yakni bagaimana sebenarnya kompetensi dan integritas penyelenggara pemilihan kepala daerah, yang dalam hal ini tentu diemban oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tiap wilayah.
Problem ini bukan hanya berdampak pada perlunya penganggaran kembali biaya yang tentu tidak sedikit, tetapi juga otomatis menjadi preseden buruk atas kinerja dan rekam jejak KPU di masyarakat. Jika hal ini tidak diselesaikan, bukan tidak mungkin KPU akan mendapat gelombang protes yang berujung pada desakan reformasi dalam tubuh KPU itu sendiri.