
Dalam Kongres II Aktivis Peneleh yang diselenggarakan di Malang pertengahan Februari lalu, terdapat satu hal penting yang disampaikan oleh Aji Dedi Mulawarman. Ia menyampaikan bahwa selama ini ada kesalahpahaman terkait puncak pemikiran H.O.S Tjokroaminoto yang disebut sebagai islam dan sosialisme, padahal nyatanya itu kurang tepat.
Sosok yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari sang Raja Jawa Tanpa Mahkota itu justru puncak pemikiran H.O.S Tjokroaminoto terletak pada apa yang beliau tulis dalam bukunya yang berjudul Memeriksai Alam Kebenaran.
“Pemikiran Pak Tjokro sering disalahpahami bahwa puncaknya adalah Islam dan Sosialisme. Padahal, puncak pemikiran dan magnum opus beliau adalah apa yang tertulis di (buku) Memeriksai Alam Kebenaran yang mengajak manusia untuk bertauhid secara menyeluruh,” tegas Aji.
Atas dasar itu jugalah kemudian lahir Inisiasi Kiri Nusantara yang juga menjadi tajuk utama kegiatan kongres Aktivis Peneleh yang dilaksanakan tiap dua tahun sekali tersebut. Menurut Aji, inisiasi kiri Nusantara itu bertujuan mengembalikan kesucian Nusantara yang sedang kotor.
Analogi tangan kiri digunakan, karena dengan tangan itulah manusia terbiasa menyucikan najis. Tak hanya itu, jantung sebelah kiri juga merupakan tempat bersemayamnya para wali, mursyid, dan sebagainya yang juga kelak akan memanggil manusia saat di akhirat.
Aji Dedi Mulawarman juga menyatakan bahwa Aktivis Peneleh saat ini telah menggaungkan kembali ajaran-ajaran H.O.S Tjokroaminoto dalam bentuk rumusan yang disebut dengan Tjokroisme. Lebih jauh, menurut Dewan Pembina Yayasan Peneleh Jang Oetama tersebut Tjokroisme adalah ideologi dinamis yang berlandaskan tauhid dan berbasis realitas kehidupan masyarakat Nusantara.
Tjokroisme adalah bentuk politik kebudayaan yang bertujuan untuk melakukan dekolonisasi dan penyucian pengetahuan yang selama ini terjebak dalam copycat pengetahuan Barat yang muaranya akan berujung pada komitmen untuk melakukan bunuh diri (commit to suicide).
Hal ini tentu berbahaya, karena jika itu terjadi maka apa yang menjadi ajaran khas bangsa Nusantara akan perlahan hilang tak berbekas. Untuk menanggulangi itu, maka Peneleh kemudian menginisiasi beragam aksi di ranah pendidikan, kebudayaan, hingga ekonomi.
Bentuk-bentuk inisiatif tersebut antara lain tercermin dari lahirnya Paradigma Nusantara, Metodologi Paradigma Nusantara, “International Conference of Nusantara School of Thought,” pendirian Masjid Kampus Urup (MKPPG) di Sumbawa, pusat riset, jurnal, lini penerbitan, hingga Waroeng Jang Oetama (WJO) yang terus aktif hingga hari ini. (ABK/Red)