
Gelaran kongres kedua Aktivis Peneleh menjadi momentum yang terasa sangat pas untuk meneguhkan kembali jati diri kebudayaan Nusantara sebagai sebuah bangsa. Aspek inilah yang menjadi sorotan utama dari Ari Kamayanti, Ketua Yayasan Peneleh Jang Oetama.
Sebagai pemantik, ia menyampaikan kegelisahannya tentang bagaimana kultur dan budaya keluarga hari ini yang luntur dan bergeser atas nama modernitas. Sangat sulit menemui momen di mana seluruh anggota keluarga berkumpul untuk saling bercakap-cakap santai, karena hari ini ada gawai yang ada di genggaman setiap orang.
Ia pun kemudian mencontohkan bagaimana dulu ia ketika berkumpul dan bermain bersama teman dengan dendangan lagu cublak cublak suweng yang dinyanyikan secara lantang. Lagu cublak-cublak suweng sendiri merupakan karya Sunan Giri yang diciptakan pada 1442 M.
Lagu ini diciptakan untuk mengajarkan agar kita tidak mencari harta dengan menuruti hawa nafsu, tidak berbohong. Segalanya kembali ke hati nurani yang suci, dan orang yang berbohong pada akhirnya akan menertawakan kebohongannya sendiri.
Ari Kamayanti juga menyampaikan keresahannya tentang budaya yang semakin hari semakin kehilangan dari esensi awalnya. “Budaya jangan dianggap sebagai pengetahuan dan objek semata, tapi nilai dan maknanya pula,” tegas dosen di Politeknik Negeri Malang itu.
Sebagai contoh, hari ini kita melihat kapal pinisi sebagai objek budaya yang menghasilkan devisa dari program turisme, bukan secara khusus menempatkannya sebagai objek pengetahuan. Padahal, kapal pinisi ialah setiap bagiannya memiliki makna.
Hal ini tercermin dari dua tiang layar kapal pinisi yang bermakna dua kalimat syahadat. Kemudian tujuh tiang lainnya yang merupakan simbol dari surat Al-Fatihah. Penyatuan antara badan kapal pun cukup menggunakan pasak kayu, bukan dari paku, mur, atau baut. Tentu ini merupakan simbol dari kecerdasan pencipta kapal pinisi yang menyatukan budaya dalam ilmu perkapalan.
“Budaya yang merask ke dalam ilmu dan pengetahuanlah yang membuat manusia Nusantara cerdas. Akan tetapi, kita dibuat lupa akan kecerdasan itu dan selalu merasa harus mengejar ketertinggalan dari Barat,” ungkap Ari dengan meyakinkan.
Oleh karena itu, apa yang digaungkan di Peneleh hari ini merupakan sebentuk jalan suci Nusantara. Sebuah jalan kembali ke budaya Nusantara sebagai akar. Paradigma Nusantara harus menjadi jalan peradaban kita agar kembali ke jaya ratusan tahun ke depan. (ABK/Red)