
Pemangkasan anggaran di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia berpotensi menggagalkan pendidikan bagi ribuan mahasiswa penerima bantuan biaya kuliah. Efisiensi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) sebesar Rp14,3 triliun mempengaruhi tiga program utama: Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK).
Dampak terbesar dirasakan oleh penerima KIP-K, di mana 663.821 hingga 844.174 mahasiswa yang saat ini sedang berkuliah tidak dapat dijamin kelangsungan pendidikannya pada 2025. Pemangkasan ini juga berdampak pada 21.131 calon mahasiswa baru yang telah mendaftar program KIP-K 2025 namun terancam tidak diterima.
Kondisi ini mengancam akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari keluarga miskin. Selain meningkatkan potensi angka putus kuliah, keputusan ini juga dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.
Pemangkasan juga menyasar Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), dengan total anggaran awal Rp194,7 miliar yang dipangkas Rp19,4 miliar atau 10 persen. Akibatnya, 12 penerima BPI luar negeri untuk program S3 di perguruan tinggi akademik dari total 33 mahasiswa terancam tidak dapat didanai. Ini menambah risiko keterlambatan studi atau bahkan kegagalan menyelesaikan pendidikan mereka.
Baca juga: Dana Pembangunan Diblokir, Apakah Proyek IKN Ikut Berakhir?
Beasiswa ADIK yang menyasar mahasiswa dari daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta Orang Asli Papua (OAP) juga mengalami pemotongan sebesar Rp21,3 miliar dari pagu awal Rp213,7 miliar. Ini berdampak pada akses pendidikan tinggi bagi 27.522 mahasiswa dari wilayah-wilayah tersebut.
Jika pemotongan terus berlanjut, kemungkinan besar angka partisipasi pendidikan tinggi di wilayah timur Indonesia akan menurun, memperparah ketimpangan pembangunan sumber daya manusia.
Pendidikan sebagai Prioritas atau Korban Kebijakan Fiskal?
Keputusan efisiensi anggaran ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pendidikan masih menjadi prioritas pemerintah? Dengan potensi meningkatnya angka putus kuliah dan terganggunya akses bagi kelompok rentan, kebijakan ini berisiko merusak upaya pembangunan SDM unggul.
Terlebih, pemangkasan anggaran di sektor pendidikan ini berbanding terbalik dengan angaran-anggaran lain, semisal di bagian pertahanan dan keamanan. Tak heran jika muncul selentingan bahwa pemerintah seakan takut jika rakyatnya cerdas dan pintar.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pemangkasan anggaran pendidikan, terutama bagi mahasiswa kurang mampu dan dari daerah terpencil. Jika tidak ada intervensi atau solusi alternatif, masa depan ribuan mahasiswa Indonesia bisa berada di ujung tanduk.
Jika sumber daya manusia Indonesia tidak dibekali dengan baik, maka Indonesia Emas 2045 hanyalah mimpi belaka. Karena apalah arti kemajuan sebuah bangsa jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. (JH/Red)
Standard kebijakan Prabowo yg penting bisa makan , gak sarjana GPP