
Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi
Pramoedya Ananta Toer atau lebih akrab dikenal dengan Pram genap berusia seratus tahun jika ia hidup hari ini. Tak heran jika kemudian tahun ini masyarakat gegap gempita merayakan Seabad Pram di berbagai daerah. Mulai dari tanah kelahirannya di Blora hingga pelosok-pelosok negeri.
Di Jawa Timur sendiri, Soesilo Toer, adik dari Pramoedya, mengadakan tur keliling ke 15 kota untuk mengadakan sesi diskusi dan pembahasan mengenai karya tulis dan pemikiran Pramoedya dalam belantara sastra tanah air.
Kota-kota yang disinggahi tersebut ialah Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kediri, Pare, Malang, Pasuruan, Blitar, hingga dipungkasi di Tulungagung.
Blora pun tak ingin diam dalam momentum langka ini. Festival Seabad Pram diselenggarakan dengan rangkaian acara yang beragam, mulai dari seminar ilmiah, peresmian pameran dan nama jalan, dialog kebudayaan, festival film pendek dan dokumenter, pentas teater, talkshow memorabilia, hingga konser musik yang mengundang banyak seniman, budayawan, dan tentu saja pembaca karya-karya Pram.
Di kota-kota lain, inisiatif dari komunitas literasi, taman baca, perpustakaan, dan pegiat sosial juga bermunculan untuk kembali menengok dan membicarakan ulang Pram dalam konteks kekinian. Ada banyak perpsektif dan pembacaan yang muncul mengenai Seabad Pram.
Bahwa tulisan-tulisan Pram, baik yang sempat diterbitkan secara umum atau pun yang sampai hari ini belum bisa diakses masyarakat, memiliki kualitas dan mutu yang bagus merupakan sebuah fakta yang melewati zamannya. Zaman berganti, namun pembicaraan tentang buku-bukunya seakan terus mengalir seiring pergantian generasi yang mewarani republik ini.
Satu hal yang juga menarik dari perayaan Seabad Pram ini adalah keputusan keluarga besar dan pewaris untuk bersedia mencetak ulang karya-karya Pram, mulai dari Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) hingga karya-karya lainnya secara bertahap.
Sebagai awal, karya yang dipilih untuk dicetak ulang dan dirilis bertepatan dengan Seabad Pram ialah Tetralogi Buru. Pihak keluarga pun memilih Gramedia Pustaka Utama sebagai mitra dalam proses pencetakan hingga distribusi buku.
Dalam prosesnya, sempat muncul kisruh gelombang protes di linimasa, terutama platform X, terkait skema penjualan buku yang terkesan membuat para reseller serta toko buku independen menjerit dan tidak bisa bersaing secara layak dengan sang raja (baca: Gramedia) dalam proses penjualannya.
Keributan itu pun pada akhirnya reda setelah pihak Gramedia bersedia mengubah format penjualan dan rantai distribusinya, sehingga hal itu kemudian setidaknya bisa membuat toko buku indpenden dan para reseller bernafas lega.
Baca juga: Siti Rahmani Rauf: Kisah di Balik Legenda “Ini Budi”
Fenomena yang terjadi di atas sebenarnya menarik untuk dikaitkan dengan bagaimana semangat Pram berkaitan dengan karya tulisnya. Selepas dibebaskan dari tahanan Pulau Buru, ia bersama dua temannya, Joesoef Isak dan Hasjim Rachman, memutuskan untuk membuat penerbitan ddengan nama Hasta Mitra.
Harapannya, rumah penerbitan itu bisa menjadi sarana untuk terus menggaungkan suara perlawanan terhadap kekuasaan, sambil tentunya sebagai sebuah wadah untuk berkarya bersama para kolega dan teman-temannya yang menekuni dunia kepenulisan.
Tak hanya itu, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram juga mengungkapkan bagaimana Hasta Mitra bisa menjadi tempat penghidupan bagi orang-orang yang telah banyak berkorban sehingga ia bisa menulis dengan baik secara kontinyu.
Pada perayaan Seabad Pram di Blora minggu lalu, Remco Raben (peneliti pasca kolonial Belanda) dalam sambutannya menyatakan bahwa Nyanyi Sunyi Seorang Bisa adalah karya Pram yang paling monumental dan bahkan puncak sastra dunia.
Tidak ada karya Pram yang lebih berbicara pada kita sebagai manusia selain Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang dalam bentuk fragmen atau surat yang menceritakan prinsip dan cita-cita Pram. Buku itu bis disebut merupakan salah satu memoar terbaik yang pernah terbit di negeri.
Kembali ke Hasta Mitra sebagai sebuah penerbitan, pada tahun pertamanya (tepatnya tahun 1980) mereka menerbitkan Bumi Manusia yang kemudian mendapat respon positif dari masyarakat. Puluhan ribu eksemplar buku itu terjual dalam beberapa bulan.
Pada tahun 1981, Hasta Mitra kemudian menerbitkan Anak Semua Bangsa yang kelak menjadi buku kedua dari Tetralogi Buru. Sambutan masyarakat pun kembali membuncah. Tak ayal, di tahun itu pula kedua novel Pram dibredel secara tegas oleh pemerintah.
Sejak masa itulah perjalanan Hasta Mitra sebagai rumah penerbitan mulai goyah, dan trennya semakin menurun dari waktu ke waktu. Berhadapan dengan penguasa tentu bukanlah hal yang mudah. Namun, dari itu kita bisa belajar bahwa kanal penerbitan juga merupakan corong perlawanan yang bisa digunakan terhadap kekuasaan yang terlalu beringas dan lupa dengan nasib rakyatnya.
Momentum perayaan Seabad Pram kali ini hendaknya menjadi refleksi bagi siapa pun yang bergelut di dunia penerbitan (khususnya) dan untuk masyarakat umum bahwa kekuatan dan konsolidasi diperlukan untuk melawan ekosistem perbukuan atau penerbitan yang tidak sehat. Ia harus menjadi spirit dan energi tersendiri untuk berdaulat dan berdikari dalam setiap langkah kaki yang dipilih.