
antroposentrisme dan akar permasalahan krisis iklim
Oleh: T. Baihaqi
Fenomena kerusakan lingkungan hidup menjadi isu global saat ini. Tidak hanya dialami beberapa negara, krisis ekologi melanda seluruh dunia, salah satunya adalah permasalahan iklim. Krisis iklim mengakibatkan kenaikan air laut, gelombang panas, bencana kekeringan, dan cuaca ekstrem. Bencana yang terjadi tidak semata karena faktor alam, tetapi ada campur tangan manusia.
Sebelum beranjak lebih jauh terkait campur tangan manusia, baiknya lebih dulu mengelaborasi kenapa krisis iklim terjadi dan menjadi fenomena global. Perubahan iklim dapat terjadi secara alami, tetapi setelah revolusi industri perubahan ini terjadi begitu cepat dan tidak terbendung. Perubahan iklim yang terjadi disebabkan penyalahgunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca.
Pengolahan bahan bakar fosil yang dimanfaatkan menjadi listrik dan penggerak alat transportasi menghasilkan karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. Emisi gas rumah kaca dapat mengakibatkan kenaikan suhu secara global, karena gas rumah kaca memerangkap panas di atmosfer. Gambarannya, panas yang datang dari bumi tertahan dan terperangkap di bumi.
Efek gas rumah kaca inilah yang menimbulkan krisis iklim serta berbagai bencana dialami oleh banyak negara. Tahun 2022 India mengalami serangan gelombang panas ekstrim selama 205 hari dengan rata-rata suhu mencapai 40 derajat Celcius. Akibat bencana tersebut setidaknya 7 orang dilaporkan meninggal dunia dan 40 orang dirawat karena penyakit yang berhubungan dengan panas.
Tahun 2024 Filipina juga mengalami cuaca panas ekstrim, suhu rata-rata mencapai angka 50 derajat Celcius, bencana tersebut salah satunya disebabkan oleh fenomena El Nino. Cuaca panas ekstrim ini mengakibatkan kekeringan yang merugikan sektor pertanian.
Sementara itu, bencana banjir bandang yang menerjang Spanyol tahun 2024 menelan ratusan korban jiwa. Para ilmuwan sepakat, penyebab dari bencana besar tersebut dikarenakan anomali cuaca, tidak lain adalah krisis iklim.
Bencana yang terjadi tidak lain karena eksploitasi alam untuk kebutuhan manusia yang terus meningkat. Penggunaan energi fosil yang berlebih memicu kenaikan panas bumi, mengakibatkan bencana terjadi hampir di seluruh dunia.
Kata kunci ‘eksploitasi alam’ menjadi pemicu utama krisis iklim yang sedang terjadi saat ini. Kenapa eksploitasi alam masih terjadi sampai saat ini?, jawabannya adalah masih tertanamnya paradigma antroposentrisme.
Antroposentrisme merupakan pandangan di mana manusia sebagai pusat dari dunia, ide ini muncul pada pencerahan Barat atau masyhur dikenal zaman Renaissance. Salah satu tokoh yang mengilhami antroposentrisme adalah Rene Descartes dengan ungkapannya yang terkenal, aku berpikir maka aku ada.
Tesis ontologis inilah yang menjadi awal mula antroposentrisme mengakar di Barat dan menyebar ke seluruh belahan dunia. Ide tentang manusia sebagai pusat alam semesta mengantarkan kemajuan peradaban dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semakin banyaknya penemuan ilmiah yang diperoleh melalui sains dan teknologi, dapat membantu manusia untuk mempermudah kehidupan sehari-hari. Penemuan-penemuan tersebut menjadi perpanjangan diri manusia, seperti artificial intelligence yang banyak membantu dan mempraktiskan kehidupan.
Pandangan ini tidak selalu menghadirkan hal-hal indah dan positif, eksploitasi alam yang mengakibatkan krisis iklim datang dari pandangan antroposentrisme. Alam dipandang sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga pemanfaatannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan dan diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya pertambangan, khususnya di Indonesia, bahkan yan terbaru ormas dan universitas diizinkan untuk mengelola tambang.
Baca juga: Meneropong Kebijakan Ekologi Indonesia Tahun 2025
Antroposentrisme yang menjadi landasan untuk mengeksploitasi alam yang mengakibatkan krisis iklim dan bencana besar di berbagai belahan dunia mendapat kritik dari Seyyed Hossein Nasr.
Menurut Nasr dalam karyanya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern, kerusakan lingkungan yang terjadi karena pandangan antroposentrisme tidak diimbangi dengan spiritualitas. Manusia modern secara ontologis memandang alam sebagai bagian yang terpisah dan berdiri sendiri.
Bagi Nasr, krisis iklim yang terjadi saat ini menjadi imbas dari gaya hidup saintisme modern yang kering dan hampa. Ilmu modern menjadi salah satu cara untuk mendekatkan manusia dengan alam, yang terjadi justru sebaliknya, alam dieksploitasi secara berlebihan dan sewenang-wenang. Hal ini dapat menjadi renungan tentang sikap yang tepat dalam hidup berdampingan dengan alam.
Dalam menyikapi alam, manusia tidak boleh sewenang-wenang serta menganggap dirinya makhluk superior di muka bumi. Perlu dipertimbangkan, tanpa adanya alam dan lingkungan hidup yang layak, manusia tidak akan bisa berpijak di atas bumi.
Bukan hanya hubungan manusia dengan sesamanya yang menjadi perhatian, tetapi hubungan manusia dengan alam juga perlu direnungkan secara mendalam, mengingat kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Manusia, alam dan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan menjadi kelindan yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri, ketiganya menjadi kesatuan spiritual, maksudnya untuk menemukan makna, tujuan hidup dan keharmonisan di dunia modern yang eksploitatif.
Hubungan antara manusia, alam dan Tuhan dapat menjadi pengingat bahwa manusia bukan satu-satunya yang superior, yang bisa bersikap sewenang-wenang pada alam.
Sulit rasanya untuk menumbangkan pandangan antroposentrisme, akan tetapi mengimbanginnya dengan spiritualitas dapat menjadi alternatif untuk menjaga alam dan lingkungan hidup dari kerusakan yang lebih parah. Spiritualitas bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga cara hidup dalam menyikapi realitas; menyikapi alam dan lingkungan hidup khususnya.
Krisis iklim dan bencana besar yang terjadi bermuara dari tangan manusia, eksploitasi dan kesewenang-wenangan terhadap alam dikarenakan mengakarnya antroposentrisme. Perlu direnungkan, bahwa pandangan superior manusia akan membawa bencana yang lebih besar.
Menyikapi alam bukan sebagai objek yang berhadap-hadapan, lingkungan hidup perlu dilihat sebagai aspek yang berhubungan dan berkelindan erat dengan manusia sebagai kesatuan. Alam bukan hanya perlu dijaga dan dirawat, paradigma juga perlu diubah bahwa alam bukan semata objek tetapi hubungan alam dan manusia adalah satu kesatuan.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi