
Ilustrasi: Canva.com
Anik Meilinda (meilindanik@gmail.com)
-Guru ngaji jangan dianggap sepele-
Sebagai guru ngaji, mungkin Anda sering mendapatkan berbagai pertanyaan yang menjengahkan. Misalnya, jadi guru ngaji dapet apa, gajinya berapa, dan lain sebagainya. Selain pertanyaan-pertanyaan itu, masih banyak juga pikiran orang yang menganggap mengaji adalah hal yang tidak penting.
Alih-alih memberikan akses mengaji, mereka memilih mendorong anaknya dijejali kemajuan teknologi dan bahasa asing sedini mungkin. Seringnya juga, manusia selalu dihadapkan dengan angka-angka. Semua hal selalu dihitung untung dan ruginya, terutama dalam bentuk rupiah.
Salah satu pengaruh globalisasi adalah menghilangnya agama dari tataran kehidupan. Dalam Sosiologi, ada dua pandangan terkait pendidikan agama. Pertama, agama memberikan keseimbangan bagi segala sisi. Kedua, agama menghambat modernisasi dan perkembangan manusia. Kalau Anda condong yang mana?
Kembali ke persoalan peran guru ngaji di dunia ekonomi. Kebanyakan orang akan berpikir bahwa tidak ada perannya. Padahal, tentu saja ia memiliki andil besar. Meskipun pendidikan akhlak adalah tugas banyak lini, namun guru ngaji memiliki ruang tersediri di masyarakat.
Jika dunia ekonomi mengenal salah satu Economic Behavior Theory, yakni manusia cenderung memilih menghindari kerugian dibandingkan menggapai keuntungan. Begitu pula di agama Islam, ada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih)
Artinya:
“Menolak sesuatu yang lebih besar mafsadatnya (sesuatu yang bersifat negatif) lebih diutamakan daripada melaksanakan sesuatu yang bersifat masholih (sesuatu yang bersifat positif), tetapi kadarnya tidak lebih besar daripada mafsadat yang ditimbulkan.”
Kaidah fiqh tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apakah mengaji tidak sepenting itu? Lalu, apakah mengaji sebegitu tidak bergunanya untuk perekonomian negara ini?
Bayangkan saja, jika ekonomi Indonesia dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki adab dan moral. Pemuda yang seharusnya menjadi garda terdepan pembangunan negeri, malah sibuk mabuk dimana-mana, malas bekerja, melakukan tindak kriminal dan lain sebagainya. Naudzubillahimindzalik.
Nah, mengaji mengisi peran itu. Mengaji memberikan kita jalan pulang dan ketenangan atas pelbagai dinamika kehidupan. Kelas-kelas diniyah, dan Taman Pendidikan Alquran tidak sesederhana mengajarkan huruf arab saja. Namun, ia juga menanamkan nilai-nilai kehidupan, melatih kegigihan, keistiqomahan, dan optimis kepada hidup.
Belakangan, viral kisah seorang HRD yang menerima karyawan bukan berdasarkan CV namun dari kisah gigihnya. Diceritakan di twitter-nya, sang HRD tersentuh dengan seorang fresh graduate.
“Di lobby kantor, dia terduduk dengan tangan gemetar. CV-nya kusut. IPK-nya 2,9, kampus swasta, kemejanya kedodoran, ngga punya pengalaman.”
Singkat cerita, sang HRD menerima orang tersebut. Bukan karena kasihan, namun karena kegigihannya. Dia bercerita rutinitas hariannya yakni pagi kuliah, siang jualan gas, malam jaga ibunya. Ternyata keputusan sang HRD tidak salah, setelah 6 bulan kerja dia berhasil membuktinya jadi top performer di tim.
Kesimpulannya adalah etika, adab, atau norma sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama.
Dalam Islam, manusia sebagai khalifah fil ard diajarkan untuk sadar bahwa hidupnya tidak untuk diri sendiri, melainkan menebar kebermanfaatan untuk semesta. Nah, salah satu caranya adalah mengajar ngaji. Guru ngaji tidak harus di masjid dan majelis ta’lim. Mengaji bisa kita mulai dari lingkup yang paling dekat, yakni keluarga. Tempatnya pun bisa dimana saja, di rumah, di warung kopi, di alam, di tempat kerja, dan lain sebagainya.
Jadi, wahai Anda para guru ngaji, jangan berkecil hati. Anda harus bangga. Selamat menempuh jalan juang panjang menyuburkan tanah peradaban.
Baca Juga: