Oleh: T. Baihaqi
Krisis ekologi menjadi problem yang dapat merusak lingkungan hidup dan ekosistem yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan hidup manusia, karena alam memberikan hubungan timbal balik bagi makhluk hidup, khususnya manusia.
Satu tahun terakhir ada sejumlah permasalahan terkait lingkungan hidup, seperti kualitas udara Jakarta yang buruk, banjir besar di Kalimantan dan Demak, kenaikan air laut sepanjang Pesisir Utara Jawa, serta satwa hutan yang merusak ternak dan pertanian warga.
Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan hidup masih belum harmonis. Dalam relasi ini, lingkungan hidup dilihat sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan sesuka hati.
Hal ini bisa dilihat dalam beberapa faktor permasalahan lingkungan hidup, misalnya limbah pabrik dalam bentuk asap dan penggunaan kendaraan bermotor yang mengakibatkan polusi udara tercemar atau lahan pertanian dan peternakan yang masuk dalam wilayah hutan.
Manusia dan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dan berdiri sendiri, selayaknya hubungan kausalitas, keduanya saling berkelindan. Selain dari individu, hubungan tersebut juga dipertegas melalui kebijakan pemerintah yang tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode tahun 2025-2045. Melalui kebijakan ini, pemerintah mencoba merumuskan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Visi yang tercantum adalah negara kesatuan republik Indonesia yang bersatu, berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Poin berkelanjutan dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan pembangunan dari aspek ekonomi, sosial, tata kelola, serta lingkungan hidup. Kualitas hidup menjadi yang baik menjadi tujuan dengan tersedianya lingkungan layak huni, bebas polusi, dan kondisi alam yang terjaga.
Kaitannya untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, kebijakan tersebut juga memuat delapan misi yang salah satunya terkait dengan ekologi. Misi tersebut tercantum dalam RPJPN yang berbunyi ketahanan sosial budaya dan ekologi.
Dengan menyelaraskan antara manusia dan alam bukan tidak mungkin lingkungan hidup yang berkelanjutan akan terjaga. Kebijakan ini tentu membawa angin segar bagi permasalahan ekologi yang ada di Indonesia.
Baca juga: MK Kabulkan Gugatan Presidential Threshold, Kontestasi Pilpres 2029 Terbuka Lebar Bagi Setiap Orang
Akan tetapi, kebijakan jangka panjang ini berlainan dengan pidato yang disampaikan Presiden Prabowo baru-baru ini. Dalam pidatonya, Presiden beranggapan bahwa penambahan lahan untuk perkebunan sawit bukan bagian dari deforestasi.
Argumen tersebut didasarkan pada pohon sawit juga merupakan tumbuhan yang menyerap karbondioksida. Pidato Presiden berlainan dengan RPJPN karena pidato tersebut berfokus pada kepentingan ekonomi, bukan keberlanjutan ekologi.
Di era modern yang konsumeris dan materialistik, tentunya fokus pada kepentingan ekonomi tidak bisa dielakkan untuk tetap bertahan dan dapat bersaing dalam pasar bebas. Seperti pidato Presiden Prabowo yang memfokuskan pada pembukaan lahan sawit, hal ini mencerminkan arah kebijakan praktis dari pemerintah yang berbeda dengan RPJPN. Orientasi ekonomi akan memegang peran penting dalam arah kebijakan ekologi di Indonesia.
Modernisme yang berkelindan erat dengan kapitalisme akan mengakibatkan kerusakan ekologi yang luar biasa. Paradigma ini mempengaruhi bukan hanya pola pikir, tetapi juga pola hidup dan cara berperilaku dalam kehidupan nyata yang terwujud dalam kebijakan yang dilahirkan oleh penyelenggara negara.
Hal ini juga tercermin dalam kebijakan pemerintah tahun lalu, dengan menjadikan hutan Papua sebagai proyek Food Estate. Lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dengan dalih ketahanan pangan dibanding keberlanjutan ekologi dengan mengesampingkan masyarakat adat, lingkungan hidup dan hutan Papua.
Cara berpikir yang menjadikan kepentingan ekonomi sebagai basis harus diubah dan dijungkir balikkan. Paradigma seperti itu dapat menjadikan individu maupun kelompok dan kebijakan pemerintah menghalalkan segala cara termasuk mengesampingkan keberlanjutan lingkungan hidup. Pada akhirnya, bila paradigma seperti itu masih dipertahankan, maka kebijakan ekologi hanya menjadi angin lalu.
Kebijakan jangka panjang yang disusun hanya menjadi ‘sikap moralis’ terhadap serangkaian permasalahan lingkungan hidup. Tahun 2025, kebijakan ekologi Indonesia tidak akan berbeda jauh dari tahun sebelumnya.
Fokus kebijakan ekologi akan tetap sama, dilandaskan pada kepentingan ekonomi. Orientasi ini akan berbahaya, karena dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup jangka panjang. Kebijakan ekologi di Indonesia hanya menjadi angin segar, slogan dan kabar baik, tidak lebih dari itu.
Satu tahun ke depan akan menjadi pijakan awal bagi bergulirnya RPJPN, pijakan ini akan menentukan arah menuju tahun 2045. Bila kebijakan ekologi hanya sebatas slogan moralis dari pemerintah, maka target di tahun 2045 akan sama kaburnya.
Pemerintah harus lebih berpihak pada keberlanjutan ekologi, karena ini bukan tentang kebutuhan esok hari, tetapi kebutuhan untuk generasi selanjutnya mendapatkan lingkungan hidup yang berkualitas di Indonesia pada masa depan.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi