Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, dan Pemimpin Hamas, Mohammed Deif. Pengadilan mengklaim kedua belah pihak telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober dan seterusnya.
Meskipun surat perintah telah dikeluarkan untuk Deif, Israel mengatakan bahwa ia tewas dalam serangan udara pada bulan Juli. Akan tetapi, Hamas tidak membenarkan atau membantah klaim ini. Jika mereka diadili di ICC, vonis dapat diterima.
Dakwaan pengadilan terhadap Netanyahu sangat berat. Panel tiga hakim dengan suara bulat mengatakan bahwa ia dan Gallant adalah pelaku bersama karena melakukan kejahatan perang berupa kelaparan sebagai metode peperangan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Para hakim juga menemukan alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa mereka memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan perang dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil. Tuduhan tersebut juga didukung oleh hasil kerja Mahkamah Internasional yang telah menemukan bahwa masuk akal bahwa Israel telah melakukan tindakan di Gaza yang melanggar Konvensi Genosida.
Jika ditangkap, Netanyahu akan diadili, dan kemudian ia dapat dibebaskan, atau dihukum. Dalam kasus terakhir, Netanyahu akan bergabung dengan jajaran pemimpin yang dianggap sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.
Nama-nama tersebut antara lain Charles Taylor dari Liberia, Hissène Habré dari Chad, Saddam Hussein dari Irak, Augusto Pinochet dari Chili, Slobodan Milosevic dari Serbia, Radovan Karadžić dari Serbia, Idi Amin dari Uganda, Pol Pot dari Kamboja, Joseph Stalin dari bekas Uni Soviet, Mao Zedong dari Tiongkok, dan Adolf Hitler dari Jerman.
Baca juga: Badai Kelima dalam Waktu Kurang dari Sebulan Menerjang Filipina
Surat perintah penangkapan bergantung pada negara-negara anggota ICC yang melaksanakannya, dan ini sama sekali bukan kesimpulan yang sudah pasti. Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah dicari oleh pengadilan sejak 2023 atas perannya dalam mengarahkan serangan terhadap warga sipil di Ukraina dan deportasi ilegal anak-anak Ukraina.
Meskipun begitu, Putin tidak ditangkap dalam kunjungan baru-baru ini ke Mongolia, negara yang menjadi anggota ICC, setelah otoritas Mongolia meyakinkannya bahwa ia akan aman. Meski demikian, ia tidak dapat melakukan perjalanan ke Afrika Selatan ketika para pemimpin dari blok ekonomi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan bertemu di Johannesburg pada tahun 2023.
Hal ini disebabkan oleh pengalaman mantan presiden Sudan, Omar Al-Bashir, di Afrika Selatan. Bashir, yang atas namanya ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan pada tahun 2009 dan 2010 karena diduga mengarahkan kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penjarahan terhadap warga sipil di Darfur, melakukan perjalanan ke Afrika Selatan pada tahun 2015 untuk menghadiri pertemuan puncak Uni Afrika. Namun, ia harus pergi tiba-tiba karena takut ditangkap.
Mahkamah Agung Afrika Selatan memutuskan pada tahun 2016 bahwa kegagalan pemerintah untuk menangkapnya adalah tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena itu, ICC memutuskan melawan Afrika Selatan atas kegagalan yang memalukan untuk menangkap Bashir pada tahun berikutnya. Ia juga dapat bepergian dengan bebas ke negara anggota ICC lainnya, termasuk Chad, Kenya, dan Yordania.
Bashir digulingkan dalam kudeta militer pada tahun 2019 dan ditahan. Ia sekarang menjadi persona non grata di Sudan di mana ia dihukum karena korupsi, dijatuhi hukuman dua tahun penjara, dan sedang diselidiki atas perannya dalam kudeta yang membawanya ke tampuk kekuasaan.
Tidak menangkap penjahat akan merugikan ICC, yang sudah memiliki catatan penuntutan yang lemah dalam riwayat sejarahnya. Misalnya, setelah mantan presiden Pantai Gading, Laurent Gbagb, didakwa kemudian dibebaskan. Namun, hal itu juga menghilangkan peluang besar untuk mencapai keadilan bagi para korban kejahatan serius.
Implikasi Politik yang Dramatis dari Surat Perintah Penangkapan Netanyahu
Peluang bagi Netanyahu, yang telah menjadi pemimpin pertama negara barat yang didakwa oleh ICC, muncul di Den Haag terbilang rendah. Namun, implikasi politik dari surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, bagaimana pun juga, bisa dibilang akan dramatis.
Netanyahu tahu ICC akan dapat meminta pertanggungjawabannya atas keputusan politiknya, dan inilah tepatnya mengapa ia tidak setuju Palestina bergabung dengan ICC pada tahun 2015.
Dalam praktiknya, Netanyahu mungkin kehilangan lebih banyak legitimasi di negaranya sendiri daripada yang telah terjadi padanya dengan beberapa kelompok lainnya. Kelompok masyarakat sipil di Israel mengikuti pekerjaan ICC dengan sangat cermat.
B’Tselem, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Yerusalem yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki telah mengatakan bahwa intervensi ICC dan putusan ICJ adalah kesempatan bagi orang Israel,untuk menyadari bahwa menegakkan rezim supremasi, kekerasan, dan penindasan tentu saja melibatkan kejahatan dan pelanggaran berat hak asasi manusia.
Netanyahu juga akan dibatasi dalam perjalanannya, dan dipandang sebagai buron di banyak dari 124 negara yang menjadi anggota ICC. Ini adalah pandangan yang akan dianut oleh sebagian besar pemimpin negara-negara Eropa, termasuk Jerman. Pada bulan Mei, seorang juru bicara pemerintah Jerman mengisyaratkan bahwa Jerman akan menangkap Netanyahu jika surat perintah dikeluarkan.
Uni Eropa, untuk saat ini, tidak mungkin dapat menggunakan rezim sanksi hak asasi manusia globalnya terhadap Netanyahu, yang memungkinkan tindakan yang ditargetkan terhadap warga negara asing yang dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia.
Ini karena suara bulat di seluruh blok diperlukan, dan beberapa negara seperti Austria, Ceko, Hungaria, dan Jerman mungkin enggan menyetujui hal ini. Bahkan juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis mengatakan: “Ini adalah poin yang rumit secara hukum.” Namun, Uni Eropa adalah pendukung kuat ICC, jadi akan ada tekanan di pemerintahan semua negara Uni Eropa untuk bertindak melawan Netanyahu.
Implikasi politik dari keputusan ini tidak hanya terjadi pada Netanyahu. Aksi protes pro-Palestina telah berlangsung di lebih dari 500 perguruan tinggi AS sejak 7 Oktober. Saat ini Inggris juga telah bergabung dengan sebagian besar negara Uni Eropa dalam mendukung penangkapan Netanyahu.
AS kini sangat terisolasi di antara negara-negara barat karena kurangnya dukungannya terhadap hukum internasional. Di sisi lain, ICC semakin terlihat dalam upayanya untuk menegakkan keadilan internasional bagi para korban. (ABK/Red)