Indonesia Dorong Kolaborasi Ekonomi di Tengah Ancaman Krisis Iklim, Kritik Mengemuka atas Deforestasi dan Komitmen Hijau

Pada KTT CEO APEC 2024 di Lima, Peru, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang menekankan komitmen Indonesia untuk memimpin transisi energi hijau di kawasan Asia-Pasifik. Ia mendorong kolaborasi di tengah ancaman krisis iklim yang nyata terjadi di depan mata.

Dalam forum bergengsi yang dihadiri oleh para pemimpin bisnis dan ekonomi global, Prabowo menyoroti potensi besar Indonesia dalam energi terbarukan, seperti panas bumi, bahan bakar nabati, dan energi surya. Ia juga menekankan perlunya kolaborasi internasional untuk mengatasi tantangan global, termasuk ketegangan geopolitik dan perubahan iklim. 

Kami berkomitmen untuk mencapai 100% energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Prabowo. Ia menyebutkan bahwa Indonesia, bersama negara seperti Brasil dan Kongo, memiliki potensi besar dalam bioenergi, terutama dari bahan bakar nabati.

Lebih lanjut, Prabowo mengundang investor asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan kawasan ekonomi khusus yang dirancang untuk mendorong industrialisasi hijau dan pengolahan sumber daya berbasis teknologi canggih. 

Namun, di balik pidato optimistis ini, kritik keras muncul dari berbagai pihak yang mempertanyakan keseriusan Indonesia dalam menangani krisis iklim. Salah satu suara kritis datang dari Koordinator Nasional Aktivis Peneleh, Muh Fadhir A.I. Lamase, yang menyebut bahwa pidato tersebut tidak mencerminkan realitas krisis yang terjadi di dalam negeri. 

Deforestasi Tetap Menjadi Ancaman Serius

Fadhir menyoroti masalah deforestasi sebagai salah satu ancaman terbesar terhadap lingkungan Indonesia. Meski pemerintah sering mengklaim akan melakukan transisi energi hijau, faktanya laju deforestasi di Indonesia masih sangat tinggi. Ekspansi industri sawit dan tambang terus menghancurkan hutan kita,” ujarnya dengan kritis.

Menurut laporan Greenpeace, Indonesia kehilangan lebih dari 480.000 hektar hutan setiap tahun, yang berdampak langsung pada meningkatnya emisi karbon dan kerusakan keanekaragaman hayati. Ia menilai bahwa komitmen energi hijau Indonesia tidak akan berarti jika tidak dibarengi dengan upaya konkret untuk melindungi hutan dan ekosistem dari krisis iklim.

Dalam konteks global, deforestasi ini juga menjadi sorotan karena kontribusinya terhadap pemanasan global, terutama karena Indonesia adalah salah satu penghasil emisi terbesar dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. 

Ketimpangan Adaptasi Iklim dan Implementasi Kebijakan yang Lambat

Selain itu, Fadhir mengkritik kebijakan hijau yang dianggap kurang inklusif dan sering kali mengesampingkan masyarakat adat serta komunitas pesisir. Masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga hutan justru sering kali terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan. Mereka kehilangan akses terhadap lahan dan sumber daya yang menjadi hak mereka, tegasnya.

Hal ini menjadi ironi, mengingat masyarakat adat memegang peran penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan secara konkret di titik-titik penting wilayah Indonesia.

Ia juga menyoroti dampak krisis iklim terhadap komunitas pesisir, yang menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut. Pulau-pulau kecil seperti Pulau Pari di Kepulauan Seribu mulai kehilangan daratan akibat erosi dan intrusi air laut. Kebijakan yang hanya fokus pada investasi besar tanpa mempertimbangkan komunitas rentan tidak akan menyelesaikan akar masalah,” tambahnya. 

Fadhir juga mengkritik lambatnya implementasi kebijakan energi terbarukan di Indonesia. Hingga 2022, hanya 10,4% energi yang berasal dari sumber terbarukan, jauh dari target 34% pada 2030. “Apa yang disampaikan di forum internasional seperti APEC harus diikuti dengan tindakan nyata di dalam negeri. Jika tidak, ini hanya akan menjadi sekadar janji politik ujarnya. 

Lebih lanjut Fadhir mengungkapkan: “Menyoroti arah kebijakan hijau pemerintahan Prabowo bisa kita lihat langkah-langkahnya. Misalnya, baru-baru saja konglomerat tambang Hashim Djojohadikusumo sekaligus adik kandung Presiden Prabowo menjadi Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29 (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa). Semuanya tampak akan mengakibatkan konflik kepentingan. Tampak jelas, sejak masa awal pemerintahan Presiden Prabowo hanya akan melanjutkan kebijakan hijau yang pro investor bukan rakyatnya sendiri.”

Solusi Integratif untuk Krisis Iklim

Fadhir menjelaskan, ada tiga solusi untuk krisis iklim di Indonesia. Pertama harus dimulai dari paradigma pembentukan kebijakan yang berbasis pada kearifan lokal, bukan berbasis pada kapitalisme industri. Jika tidak, maka bentuk deforestasi, penggusuran lahan, dan investasi besar-besaran untuk kepentingan asing akan tetap berlanjut di negeri kita tercinta.

Kedua, hapuskan seluruh kebijakan hijau yang tidak pro pada kearifan lokal. Ketiga, sebagai bangsa besar dan bergerak maju, tentu kita tidak hanya membutuhkan teknologi maju, tetapi juga pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai religius dan budaya lokal.

Baca juga: Masyarakat Adat Yei dan Malind Datangi Kementerian Pertahanan, Tolak PSN Food Estate di Tanah Mereka

Nilai-nilai kenusantaraan mengajarkan tanggung jawab terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Prinsip ini harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan lingkungan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa dominasi ekonomi berbasis materialisme sering kali mengabaikan aspek moral dan keberlanjutan, yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Fadhir mempertegas: “Kami di Peneleh sudah menyerukan sejak lama tentang langkah-langkah yang harusnya pemerintah dan masyarakat lakukan penjagaan lingkungan hidup dalam bentuk agenda JANUR (Jalan untuk Nusantara).  Sebuah agenda yang penyadaran atas pentingnya melestarikan lingkungan hidup berdasarkan nilai-nilai kenusantaraan.”

Penulis: Hendra Jaya

Editor: Ahmad Bagus Kazhimi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *