Belum genap sebulan sejak dilantik, gerakan bernama Lapor Mas Wapres muncul di media sosial mendorong masyarakat untuk menyampaikan berbagai keluhan, kritik, dan aspirasi langsung kepada Gibran di istana wakil presiden.
Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang baru saja dilantik sebagai Wakil Presiden, kini menjadi sorotan publik dan media internasional. Pelantikannya telah memicu berbagai tanggapan dari khalayak umum.
Salah satunya adalah kritik terhadap keterlibatannya dalam politik yang dianggap sebagai bagian dari dinasti politik. Reaksi kritis datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari beberapa media internasional yang mempertanyakan implikasi pelantikan Gibran terhadap praktik demokrasi di Indonesia.
Gerakan ini menjadi viral di berbagai platform, diikuti dengan tagar seperti #LaporMasWapres dan #DinastiPolitik. Gerakan ini bertujuan mendorong keterbukaan Wakil Presiden baru dalam menerima aspirasi rakyat.
Media Internasional Menyoroti Dinasti Politik
Sorotan media internasional lebih fokus pada bagaimana pelantikan Gibran dianggap sebagai tanda penguatan dinasti politik di Indonesia. The New York Times misalnya dalam laporannya menyatakan bahwa keterlibatan Gibran dalam politik di usia muda mencerminkan kecenderungan “dinasti keluarga” yang muncul dalam politik Indonesia, di mana kekuasaan tampak diwariskan secara turun-temurun.
Situasi ini kemudian dikritik sebagai potensi penghalang bagi munculnya tokoh-tokoh baru di panggung politik nasional yang menempuh karir politik secara organik tanpa dikarbit layaknya apa yang terjadi pada Gibran di kontestasi politik tanah air hari ini.
Hal serupa disorot oleh The Guardian yang menuliskan bahwa dengan dilantiknya Gibran, ada kekhawatiran bahwa politik Indonesia semakin terjebak dalam narasi keluarga yang berpatron pada Joko Widodo sebagai induknya.
Mereka juga menyoroti bahwa hal ini bisa memengaruhi persepsi masyarakat terhadap keberpihakan pemerintah dalam menjunjung asas demokrasi yang seharusnya memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa pengaruh nama besar atau koneksi keluarga tertentu.
Lapor Mas Wapres: Gerakan Partisipasi atau Kritik Terselubung?
Gerakan Lapor Mas Wapres yang muncul di media sosial dianggap sebagai respons masyarakat terhadap pelantikan Gibran. Meskipun secara formal gerakan ini mengajak masyarakat untuk berpartisipasi menyampaikan aspirasi, banyak yang menilai bahwa di balik gerakan ini ada kritik tersirat terhadap legitimasi Gibran sebagai Wakil Presiden.
Kritik yang dilontarkan oleh warganet beragam, mulai dari isu lingkungan, ketimpangan sosial, hingga masalah ekonomi.Beberapa masyarakat, terutama dari kalangan akademisi dan aktivis, memandang gerakan ini sebagai sindiran halus kepada Gibran, mengingat usianya yang relatif muda serta minimnya pengalaman di panggung nasional.
“Gerakan ini menunjukkan bahwa rakyat ingin mengingatkan Gibran akan tanggung jawabnya yang besar sebagai Wakil Presiden,” ujar Dr. Budi Santoso, pengamat politik dari Universitas Indonesia. Menurutnya, gerakan ini juga mencerminkan harapan bahwa Gibran benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat dan bukan sekadar menjadi simbol politik.
Gibran, yang dikenal aktif di media sosial, merespons gerakan ini dengan sikap terbuka. Ia mengajak masyarakat untuk memberikan masukan yang konstruktif dan memastikan bahwa dirinya akan bekerja keras untuk rakyat. Dalam sebuah postingan di media sosialnya, Gibran menulis, “Ayo sampaikan aspirasi teman-teman untuk Indonesia yang lebih baik. Kritik itu penting bagi saya dan saya siap mendengarkan.”
Namun, respons ini tetap belum cukup bagi sebagian pihak yang merasa bahwa kehadiran Gibran di posisi strategis pemerintahan adalah tanda bahaya bagi demokrasi Indonesia.
“Tidak cukup hanya respons di media sosial; yang kita butuhkan adalah bukti nyata bahwa Gibran mampu melepaskan diri dari bayang-bayang dinasti politik,” kata Eva Yuliana, seorang aktivis politik dari Koalisi Rakyat untuk Demokrasi.
Sebagai Wakil Presiden, Gibran tentu menghadapi tantangan besar di tengah perhatian publik yang intens. Ia diharapkan tidak hanya mampu membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang kompeten, tetapi juga harus menghadapi stigma dinasti politik yang mengikutinya.
Tantangan ini semakin berat mengingat masih ada protes publik terhadap praktik politik dinasti yang dinilai menggerus nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, pengamat politik menilai bahwa gerakan “Lapor Mas Wapres” dapat menjadi kesempatan bagi Gibran untuk membuktikan komitmennya sebagai wakil rakyat. “Jika Gibran mampu merangkul gerakan ini dan memberikan tanggapan serta solusi yang nyata, ia bisa meraih kepercayaan publik yang saat ini masih skeptis,” tambah Dr. Budi.
Bagaimanapun juga, gerakan Lapor Mas Wapres menjadi bukti bahwa masyarakat semakin aktif menyuarakan pendapat dan berperan dalam pemerintahan, meskipun dalam bentuk kritik.
Bagi Gibran, ini adalah awal dari perjalanan panjang di dunia politik nasional yang penuh dengan ekspektasi sekaligus tantangan. Dengan sorotan yang kuat dari publik dan media internasional, langkah yang diambil Gibran ke depan akan menjadi sorotan besar bagi masa depan demokrasi Indonesia. (JH/Red)