KORANPENELEH.ID – Kelompok masyarakat adat dari Suku Yei dan Malind di Merauke, Papua Selatan, mendatangi gedung Kementerian Pertahanan pada Rabu lalu untuk menyampaikan penolakannya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate di tanah mereka. Mereka berunjuk rasa dengan tuntutan untuk menghentikan proyek yang tidak berpihak ke rakyat sama sekali.
Pastor Pius Manu, salah seorang tokoh agama dan pemilik tanah adat setempat mengatakan: “Proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi mendapatkan kesepakatan persetujuan masyarakat adat,” ujarnya dalam konferensi pers usai unjuk rasa.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, food estate di Merauke masuk ke dalam daftar PSN yang diperbarui pada November 2023 lalu. PSN tersebut bernama Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan yang dipromosikan dan dicanangkan seluas lebih dari 2 juta hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) oleh pemerintah.
Faktanya, proyek food estate tersebut dibagi menjadi dua. Pertama, proyek cetak sawah baru dan tanaman lain yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, dan perusahaan swasta Jhonlin Group dengan lahan seluas total satu juta hektare. Kedua, pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol yang dikelola 10 perusahaan dengan lahan seluas lebih dari 500 ribu hektare.
Secara keseluruhan, kawasan food estate Merauke itu terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 wilayah distrik. Keseluruhan proyek itu berada pada wilayah masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. Setidaknya, ada lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung di dalam dan sekitar lokasi proyek food estate di Merauke tersebut.
Pastor Pius melanjutkan bahwa kendaraan berat masuk ke wilayah adat lalu menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun, serta rawa. Pergerakan mereka dikawal aparat keamanan dari polisi dan TNI. Tanda adat yang sempat dibuat sebagai larangan malah dirusak secara brutal.
“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa,” kata Yasinta Gebze, perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, dilansir oleh Tempo.
Adapun di Distrik Jagebob dan Senayu, lokasi bakal perkebunan tebu, konsorsium Global Papua Abadi (GPA) Group juga disebut tidak menunjukkan komitmen usaha berkelanjutan untuk tidak melakukan deforestasi. Perusahaan juga dituding tidak menghormati hak-hak masyarakat adat.
Vincent Kwipalo, warga Suku Yei, menyebutkan perusahaan itu juga menggunakan aparat keamanan dan kelompok tertentu untuk menekan masyarakat, merayu, dan menjanjikan kompensasi uang. Tujuannya, masyarakat bersedia menyerahkan tanah.“Kami tidak jual tanah adat. Hutan dan dusun milik marga tidak luas, kami mau kelola sendiri untuk mata pencarian dan sumber pangan hingga anak cucu.”
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang juga salah satu founder Satya Bumi, menyatakan kebijakan dan pelaksanaan PSN food estate Merauke tanpa sosialisasi yang jelas dan cenderung tertutup. PSN juga tidak menghormati otoritas dan norma adat karena tanpa ddahului kajian sosial dan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Franky menegaskan penggusuran, penghancuran dan penghilangan hutan, dusun,
rawa, dan lahan gambut dalam skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan, yang sedang menjadi sorotan masyarakat dunia.
“Areal cetak sawah baru sejuta hektare dan perkebunan tebu GPA Group, masing-masing, berlokasi pada kawasan hutan dan daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB),” tutur Franky.
Disebutkannya, lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektare areal GPA Group berada di PIPIB. “Karenanya proyek ini mempunyai risiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi.” Selain itu, Franky juga menambahkan, izin perusahaan GPA sebagian besar berada di wilayah adat Yeinan seluas 316.711 hektare dan berisiko memberi dampak sosial ekonomi dan budaya.
Juru bicara Solidaritas Merauke dan pegiat LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, menyampaikan bahwa gempuran proyek PSN Merauke dan bisnis ekstraksi sumber daya alam seluas lebih dua juta hektare dipastikan akan mendatangkan dan memobilisasi penduduk baru dari luar tanah Papua.
Hal ini mengancam terjadinya depopulasi dan marginalisasi, yang pada gilirannya menghilangkan identitas sosial budaya orang asli Papua dan tersingkir secara sosial ekonomi, yang disebut etnosida.
“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang
berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Teddy menguraikan. (ABK/Red)