Oleh: Hendra Jaya
Masyarakat Sumbawa mayoritas merupakan petani dan peternak. Hampir seluruh masyarakat Sumbawa memiliki sawah atau ladang sebagai tempat bercocok tanam. Umumnya di Sawah masyarakat Sumbawa hanya menanam padi dan sedikit sayur-sayuran, lantaran rerata petani akan menginap di Sawah selama musim tanam hingga musim panen. Kurang lebih 6-7 bulan untuk dua kali panen.
Berbeda dengan di ladang, petani menanam padi, jagung dan banyak sayur-sayuran. Kacang panjang, komak, terong, plisa, sayur hijau, bayam dan lain sebagainya banyak ditanam petani. Sama halnya dengan di sawah, petani yang memiliki ladang juga berdiam diri di ladang untuk merawat seluruh tanamannya hingga musim panen, namun di ladang biasanya hanya 4-5 bulan saja. Setelah itu petani meninggal lahan tersebut dengan segala sisa-sisa tanaman yang ada. Lahan yang telah selesai dipanen san telah ditinggal oleh para petani disebut sebagai omal oleh masyarakat Sumbawa.
Omal biasanya masih memili kekayaan berupa sayur-sayuran yang melimpah. Umumnya sayur-sayuran ini masih menjadi hak penuh sang petani atau pemilik lahan. Akan tetapi berbeda dengan budaya yang ada di Sumbawa. Isi omal di Sumbawa boleh digunakan atau diambil oleh masyarakat umum, tidak hanya bagi keluarga atau pemilik omal. Ini berlaku tidak hanya di satu atau dua omal, tapi seluruh omal yang ada.
Baca Juga: Harga Jagung Tak Sesuai Harapan, Petani di Sumbawa Menjerit
Walaupun di saat musim tanam para petani juga kerap membagikan hasil buminya terutama sayur-sayuran kepada masyakat umum. Setelah musim panen biasanya masyakarat Sumbawa secara berkelompok ke omal mencari sayur-sayuran yang masih berbuah untuk dijadikan bahan masakan ini disebut sebagai tradisi Ngajak. Dan omal sebagai dijelaskan di awal tadi, sudah menjadi hukum adat bisa digunakan ata dipetik hasilnya oleh masyakarat.
Khazana semacam ini, mengajarkan betapa masyarakat Sumbawa memiliki kekayaan budaya dan tradisi kedermawanan yang tinggi. Omal mengajarkan kepada kita bahwa semua harus dibagi, tidak boleh dikuasai oleh hanya pemilik tanah. Sebagaimana praktik sistem kapitalisme di negara kita saat ini. Ekonomi dikuasai hanya oleh pemodal, politik dikuasai segelintir orang, dan belum lagi kebudayaan serta pendidikan kita di liberalisasi.
Dari petani pula, kita belajar konsep sedekah dan keikhlasan sejati. Dia menanam tetapi tidak selamanya dia menguasai dan menikmati hasil panen, hasil panen diberikan kepada masyarakat, bahkan yang hasil yang berlebihan diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau berusaha (ngajak). Negara demokrasi berasaskan Pancasila harusnya seperti omal, dipimpin oleh satu orang, tapi buahnya berupa keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan bisa dinikmati oleh banyak orang bahkan okeh semua orang!
Masyarakat Sumbawa melalui tradisi ngajak juga menyiratkan satu pesan keadilan sosial. Secara sederhana, masyarakat yang dipandangnya tidak sempat mejanya terong bisa menikmati gerong dengan usaha ngajaknya tanpa mencuri. Lebih jauh lagi, masyarakat Sumbawa yang sedang kesusahan, tidak punya uang tetap bisa makan dengan usahanya tanpa harus mencuri atau mengemis. Sebagaimana kehidupannya di negeri tercinta, banyak yang harus mengemis untuk mendapatkan haknya, berupa akses politik, ekonomi, pendidikan atau keadilan.
Kita harus belajar tentang kedermawanan, keikhlasan berbagi, persaudaraan dan cinta kepada masyarakat petani Sumbawa. Kekuasaabn apapun bentuknya tidak boleh hanya digunakan oleh segelintir orang atau hanya dinikmati oleh keluarga tertetu, lebih-lebih kekuasaan politik dan ekonomi. Atau, mungkin para anggota dewan mulai mikir, kunker tidak harus ke luar ngeri untuk menghabiskan dana bermiliar-miliar cukup di dalam negeri untuk belajar sekaligus melihat apa yang harus diberikan kepada petani desa yang telah dengan gigih ikut membantu meringankan beban negar.
Bisa jadi seperti itu? Dan bisa jadi harus seperti itu!
Allahu ‘alam bisshowab