Mohammad Hatta atau lebih akrab dikenal dengan Bung Hatta adalah teladan mengenai kejujuran, integritas, dan pembentukan karakter bagi rakyat Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, ia konsisten untuk tidak menggadaikan nilai-nilai dan prinsip hidup yang diyakininya sejak dini, bahkan meskipun hal itu juga berarti ia harus melepaskan kekuasaan yang diidamkan banyak orang.
Sosok yang lahir pada tahun 12 Agustus 1902 itu merupakan peletak dasar ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada kedaulatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat untuk mewujudkan perekonomian nasional yang maju dan mandiri. Tak hanya itu, Hatta juga teruji dalam menjaga demokrasi dalam pemikiran, sikap, dan tingkah laku yang diambil di setiap langkahnya.
Untuk membedah hal ini lebih jauh, saya menghubungi salah satu putri kandungnya, yang juga seorang ahli antropologi dari Universitas Indonesia, yakni Prof. Dr. Meutia Farida Swasono atau lebih sering disapa dengan Meutia Hatta tersebut.
“Dari uraian Bung Hatta mengenai pengalaman hidupnya dalam memoar beliau, Anda bisa menangkap dan menyimpulkan karakter beliau dalam menjalani kehidupan, dari mana nilai-nilai yg mendasari pembentukan karakter beliau itu berasal, sejak kecil hingga beliau dewasa dan berjuang untuk Indonesia,” ungkap perempuan yang juga Ketua Umum Yayasan Hatta.
Bung Hatta merupakan teladan bangsa yang cukup langka. Dalam banyak aspek, ia adalah cermin paling baik untuk belajar karakter. Integritas dan kejujuran merupakan dua kata yang selalu melekat di dirinya.
Meskipun dalam lintasan sejarah ia kemudian berkonflik dengan sahabat dekatnya, Soekarno, namun Hatta membuktikan bahwa apa yang dia lakukan bukan hanya tentang hari ini, tetapi masa depan bangsa. Hari-hari ini, bangsa berpenduduk lebih dari dua ratus juta ini memang sedang dilanda krisis karakter.
“Sejak sekolah, kuliah, menjadi pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, karakter beliau terbemtuk dan menunjukkan keteguhan prinsipnya. Dari Negeri Belanda, Bung Hatta membimbing Bung Sjahrir yang sudah lebih dulu pulang ke Indonesia dari studinya di Negeri Belanda (maksudnya cuti kuliah) untuk membantu Bung Karno (BK) membangun Partai Nasional Indonesia (PNI),” tambah mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009 tersebut.
Akan tetapi, karena Bung Karno ditangkap Belanda dan PNI dibubarkan oleh pemimpin-pemimpin PNI di bawah Bung Karno dan para anggota partai tersebut, maka Bung Sjahrir membentuk Pendidikan Nasional Indonesia yang inisialnya PNI, kemudian disebut dengan PNI Pendidikan.
Baca juga: Rejuvenasi Islam ala Soekarno
Inisial itu mengingatkan kepada PNI yang sudah dibubarkan, yang mana ia seharusnya menjadi wadah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka. Lalu Bung Hatta kembali ke Indonesia setelah lulus menjadi doktorandus (drs) bidang ekonomi, kemudian menjadi pemimpin PNI Pendidikan.
Maka Belanda mulai melirik PNI Pendidikan sebagai musuhnya yang baru, karena dianggap unsur yang berbahaya untuk mendorong perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Kemudian Hatta, Sjahrir dan pemimpin PNI Pendidikan lainnya di Jakarta, Surabaya, Semarang dan Makasar pun ditangkap. Mereka semua fibuang ke Boven Digoel.
PNI Pendidikan tetap eksis di Jawa dan Makassar, karena organisasi ini merupakan partai kader, bukan mengandalkan kekuatan pimpinan partai. Juga bukan aktivitas yang mayoritas diwujudkan dalam demo yang berisi protes-protes dan agitasi. Jika cuma demo-demo dan agitasi, orang ramai sesaat, pulang, dan cepat lupa.
“Sebaliknya, jika formatnya partai kader, ada tujuan yang dipegang untuk dicapai, ada prinsip dalam mencapainya, seperti prinsip non-cooperatie (tidak kooperatif), artinya menolak kerja sama dengan Belanda. Kalau mau merdeka ya berjuang sendiri, tidak minta atau tunggu Belanda memberikannya,” tegas Meutia Hatta.
Sebagai contoh, saat Gubernur Jenderal Belanda, Graaf van Limburg Stirum, ingkar pada janjinya sendiri, waktu ditanya di Volksraad (DPR-nya Pemerintah Kolonial Belanda), maka Bung Hatti kemudian menagih janji kepada dia untuk segera memenuhi apa yang dijanjikan sebelumnya dalam memberikan fasilitas untuk persiapan kemerdekaan Hindia Belanda.
Jadi, dalam perjuangan tersebut yang diajarkan kepada kader-kadernya oleh Bung Hatta, ada prinsip merdeka. Ibaratnya kalau dalam bahasa kita sekarang, ada “harga mati” untuk merdeka. Juga ada tata cara, ada keteguhan hati, ada unsur pantang menyerah. Gagasan untuk merdeka harus berjalan terus.
“Tiga kali tokoh-tokoh pemimpin PNI Pendidikan ditangkap, mulai dari grup I yang dibuang ke Boven Digoel yaitu Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bondan, Lukman, Maskun, Burhanuddin, Haneng, dan lain sebagainya, tetapi partai tidak bubar seperti PNI-nya Bung Karno,” jelas Meutia.
Angkatan II kemudian dibuang, partai juga tetap jalan. Sampai dengan angkatan ketiga, partai pun masih tetap berjalan. Akhirnya karena gejolak politik pemerintah kolonial Belanda tidak lagi terletak pada menangkapi tokoh-tokoh partai, maka PNI Pendidikan tidak pernah dibubarkan.
Ini takkan bisa terjadi kalau karakter sebagai partai kader tidak ditanamkan kepada anggota-anggota organisasi (partai) tidak diajarkan dan ditanamkan kepada anggotanya, terutama tokoh-tokoh pemimpin organisasi, oleh Bung Hatta.
Mendidik itu penting, maka nama yang dipilih untuk organisasinya adalah Pendidikan Nasional Indonesia, sebagai pengganti dari PNI-nya Soekarno yang sudah bubar. Tak sampai di situ, pemilihan ini juga dipilih atas dasar integrasi, mulai dari nama organisasi, tujuan, kiprah, dan hasil yang diharapkan terbentuk pada diri anggotanya, terutama tokoh-tokoh pemimpinnya. Semua sudah dipikirkan oleh Bung Hatta saat membangun PNI Pendidikan tersebut.
“Sebagai catatan, Bung Hatta tidak suka menggunakan nama partai, melainkan organisasi. Saya tidak sempat bertanya kenapa beliau lebih suka sebut/gunakan kata organisasi daripada kata partai, karena dulu saya masih kecil, dan take for granted saja,” imbuhnya.
Meutia Hatta mengaku bahwa saat telah tumbuh dewasa ia baru memikirkan hal itu, sedangkan ayahnya telah tiada. Ia berpendapat bisa jadi karena pengalaman Bung Hatta melihat PNI-nya Bung Karno sebagai partai yang cepat bubar, sedangkan organisasi bisa bertahan lama jika dikelola dengan baik, dari asep nama, tujuan, hingga aktivitasnya.
Penulis: Ahmad Bagus Kazhimi