Oleh: Hendra Jaya (PKC PMII Jawa Timur)
Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) digelar sejak tanggal 9-15 Agustus 2024. Musyawarah tertinggi PMII ini menjadi ajang pemilihan ketua Umum Pengurus Besar (PB) PMII. Saya meyakini, bahwa bagi para calon ini merupakan ajang terbaik untuk membangun karir politik.
Bukan tanpa alasan, beberapa calon dari Ketum PB PMII merupakan temen nongkrong dan berbincang sambil ngopi. Jadi, sedikit banyak, tentu saya mengerti cara berpikir mereka. Saya tidak ingin membenarkan pemikiran semacam ini, karena pemikiran-pemikiran semacam inilah yang akan merusak organisasi ke depan.
Bagi saya, harusnya para calon tidak hanya disibukkan untuk membangun citra diri dan karir politik, tetapi benar-benar membangun PMII dan cita-cita kebangsaan, sebagaimana para pendiri PMII dan ketua umum pertama yang meletakkan ego dan kepentingan di lapisan terbawah hidupnya.
Tetapi wajar saja, jika mekanisme pencalonan di PB PMII sejak awal sudah berbasis uang, maka para calon akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan uang 35 juta untuk daftar. Ya, minimal balik modal atau bila perlu harus dapat untung. Hasilnya, organisasi dijual. Para calon ketua umum dan jajaran tim pemenangannya akan sibuk jilat sana-sini untuk “dapat untung” berlipat ganda.
Baca juga: Syubbanul Wathon dan Zelfbestuur: Semangat Kemerdekaan 1916 hingga 1945
Boro-boro mengengembangkan cita-cita organisasi dan kebangsaan sebagaimana orientasi para pendiri PMII, yang ada para ketua umum akan disibukkan dengan bagaimana mengumpulkan pundi-pundi uang sebanyak-banyaknya mumpung berkuasa.
Atau, mereka sibuk mengurusi kepentingan para bohir, minimal setelah itu masih bisa menggantungkan hasrat politik untuk berkuasa. Ya minimal sebagaimana Ketua Umum PB PMII sekarang, Gus Abe, yang menjadi calon bupati.
Pertanyaan dasarnya sederhana, apakah Aswaja memang seperti itu? Benarkah menjadikan Aswaja sebagai manhaj? Atau Aswaja itu cuma penting saat MAPABA ya? Belum lagi, dalam kongres tidak ada gagasan organisasi atau peradaban yang dibangun secara sistematis, semua mental instan.
Kongres hanya menjadi ajang calon dan peserta kongres untuk memperkuat ego, atau bila perlu adu jotos antar peserta. Serumit itu ya bahasa organisasi? Eeh bahas kepentingan ding! Emang rumit si sahabat. Jadi, bagi saya pribadi,kongres itu substansinya hilang, justru lebih bagus Rapat Tahunan Komisariat (RTK). Lalu masihkan relevan kongres digelar dengan gegap gempita, sedangkan substansi utamanya jauh panggang dari api.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi