Syubbanul Wathon dan Zelfbestuur: Semangat Kemerdekaan 1916 hingga 1945

Oleh: Hendra Jaya (Aktivis Peneleh, PKC PMII Jatim)

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Hubbul Wathon minal Iman

Wala Takun minal Hirman Inhadlu Alal Wathon

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Hubbul Wathon minal Iman

Wala Takun minal Hirman Inhadlu Alal Wathon

Indonesia Biladi Anta ‘Unwanul Fakhoma

Kullu May Ya’tika Yauma Thomihay Yalqo Himama

Kullu May Ya’tika Yauma Thomihay Yalqo Himama

Pusaka hati wahai tanah airku / Cintamu dalam imanku

Jangan halangkan nasibmu / Bangkitlah hai bangsaku

Pusaka hati wahai tanah airku / Cintamu dalam imanku

Jangan halangkan nasibmu / Bangkitlah hai bangsaku

Indonesia negeriku / Engkau panji martabatku

Siapa datang mengancammu / Kan binasa di bawah durimu

Siapa datang mengancammu / Kan binasa di bawah durimu

Lagu “Yalal Wathon” atau “Syubbanul Wathon” adalah salah satu lagu yang sangat dikenal di kalangan Nahdliyin, Nahdlatul Ulama (NU). Lagu ini sering dikumandangkan dalam berbagai acara, baik yang bersifat keagamaan maupun nasionalis, sebagai bentuk ungkapan cinta tanah air dan semangat kebangsaan.

Lagu ini diciptakan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1916. KH. Wahab Chasbullah adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam perjuangan kemerdekaan dan penguatan identitas nasional melalui jalur keagamaan. Tak hanya itu, lagu Syubbanol Wathon sendiri mengandung pesan-pesan nasionalisme yang kuat, memotivasi masyarakat, terutama para pemuda, untuk mencintai dan membela tanah air.

Pada tahun yang sama, 1916, HOS Tjokroaminoto, seorang pemimpin pergerakan nasional yang sangat berpengaruh, bersama para peserta Kongres Central Sarekat Islam (CSI) di alun-alun Kota Bandung, menyuarakan “Zelfbestuur” atau pemerintahan sendiri. Zelfbestuur ini merupakan tuntutan untuk otonomi dari pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi langkah awal menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Dengan demikian, lagu “Yalal Wathon” tidak hanya menjadi simbol semangat kebangsaan bagi komunitas Nahdliyin, tetapi juga bagian dari sejarah panjang pergerakan nasional Indonesia, yang berjuang untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan. Lagu ini hingga kini tetap relevan dan sering dinyanyikan sebagai bentuk pengingat akan pentingnya cinta tanah air dan semangat juang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Jika kita menelusuri lebih jauh, KH. Wahab Chasbullah dan HOS Tjokroaminoto adalah dua tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya melalui Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam adalah organisasi pergerakan yang sangat penting dalam sejarah nasional Indonesia, menjadi wadah bagi umat Islam untuk berkumpul dan memperjuangkan hak-hak mereka di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

KH. Wahab Chasbullah, ketika berada di Makkah, pernah menjabat sebagai Ketua SI cabang Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam diaspora, para tokoh pergerakan Indonesia tetap aktif berjuang dan menyebarkan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam di luar negeri.

Setelah kembali ke Indonesia, KH. Wahab Chasbullah melanjutkan perjuangannya melalui Sarekat Islam. Dalam SI, ia berperan aktif dalam melawan penjajahan Belanda dan membangkitkan kesadaran umat Islam tentang pentingnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri.

Meskipun kemudian KH. Wahab Chasbullah berinisiatif mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi yang mewadahi para ulama tradisionalis, perjuangannya dalam Sarekat Islam tetap menjadi bagian penting dari sejarah hidupnya.

Nahdlatul Ulama sendiri didirikan sebagai respon terhadap kebutuhan untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi keagamaan Islam yang khas Indonesia, di tengah dinamika sosial dan politik yang terjadi pada masa itu.

Duet antara HOS Tjokroaminoto dan KH. Wahab Chasbullah membawa dampak besar, terutama dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya cinta tanah air dan mewujudkan pemerintahan sendiri.

Keduanya berperan dalam menyebarkan gagasan nasionalisme yang tidak hanya berbasis pada identitas kebangsaan, tetapi juga diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman. Kolaborasi ini memperkuat basis gerakan kemerdekaan Indonesia dengan dukungan kuat dari umat Islam, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.

Peran kedua tokoh ini dalam Sarekat Islam tidak hanya berkontribusi pada gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga dalam membentuk kesadaran nasional yang religius dan menyatu dengan cita-cita kemerdekaan. Hal ini menjadi fondasi penting bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia yang akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945.

Ada sebuah teori menarik yang menyatakan bahwa lagu “Syubbanul Wathon” atau “Yalal Wathon” mungkin diciptakan sebagai lagu yang ditujukan untuk dinyanyikan oleh anggota Sarekat Islam (SI) dan masyarakat pribumi dalam momen proklamasi kemerdekaan Indonesia pertama kali pada tahun 1916.

Meskipun proklamasi kemerdekaan yang secara resmi diakui terjadi pada tahun 1945, tahun 1916 dianggap sebagai tonggak penting karena pada tahun inilah semangat untuk “Zelfbestuur” atau pemerintahan sendiri mulai dikumandangkan oleh HOS Tjokroaminoto bersama Sarekat Islam di Bandung.

Argumen ini diperkuat oleh hubungan erat antara KH. Wahab Chasbullah, pencipta lagu tersebut, dengan HOS Tjokroaminoto, yang dikenal sebagai pemimpin Sarekat Islam dan tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Hubungan ini tidak hanya bersifat personal tetapi juga ideologis, di mana keduanya berbagi visi yang sama tentang pentingnya perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, yang disinergikan dengan nilai-nilai keislaman.

Selain itu, hubungan dekat antara tokoh-tokoh lain seperti KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, dan HOS Tjokroaminoto juga memperkuat gagasan bahwa pada masa itu, Sarekat Islam dan Nahdlatul Ulama, meskipun secara formal berbeda, memiliki kesamaan tujuan dan sering kali bekerja bersama dalam berbagai aspek perjuangan.

Baca juga: Meneropong Arketip Generasi Khas Indonesia: Upaya Dekonstruksi Muhammad Faisal terhadap Dominasi Konsep Pembagian Generasi ala Amerika Serikat

Dalam biografi Gus Dur, diceritakan bahwa KH. Hasyim Asy’ari setiap hari Kamis selalu berkunjung ke Gang Peneleh di Surabaya untuk berdiskusi bersama Jang Oetama, HOS Tjokroaminoto. Ini menunjukkan adanya komunikasi intensif dan kolaborasi antara tokoh-tokoh ini, yang menandakan bahwa NU dan SI pada masa itu berjalan seiring dalam membela umat dan agama.

Kesamaan ruang dan waktu juga mendukung teori ini. Lagu “Syubbanul Wathon” dan seruan “Zelfbestuur” muncul pada tahun yang sama, 1916. Ini bisa menjadi indikasi bahwa lagu tersebut memang diciptakan untuk menyuarakan semangat kebangsaan dan perjuangan yang mulai memuncak pada saat itu.

Secara keseluruhan, teori ini menunjukkan bahwa lagu “Syubbanul Wathon” tidak hanya sekadar lagu nasionalis, tetapi juga sebuah manifestasi dari semangat kebersamaan antara Sarekat Islam dan Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Lagu ini mencerminkan kolaborasi strategis antara berbagai elemen pergerakan nasional yang memiliki akar dalam keislaman, yang bersama-sama membangkitkan kesadaran nasional dan religius untuk melawan penjajahan dan mewujudkan pemerintahan sendiri.

Gambaran tersebut sangat menggugah, membayangkan ribuan anggota Kongres Sarekat Islam (CSI) menggemakan lagu “Syubbanul Wathon” di alun-alun Bandung, menciptakan suasana yang penuh semangat dan harapan.

Suara ribuan orang menyanyikan lagu itu, dengan syairnya yang memancarkan cinta tanah air dan semangat juang, pastilah memberikan dampak yang luar biasa bagi para peserta kongres dan masyarakat yang menyaksikan.

Ketika lagu tersebut selesai dinyanyikan, HOS Tjokroaminoto, dengan kharismanya sebagai pemimpin, mengomandangkan seruan “Zelfbestuur” atau pemerintahan sendiri. Seruan ini bukan hanya sebuah tuntutan politik, tetapi juga panggilan untuk bangkit dari penjajahan dan mengambil kendali atas nasib bangsa sendiri.

Kekuatan dari momen ini tidak bisa diremehkan, karena ia berhasil membangkitkan semangat kebangsaan yang menyebar seperti api ke seluruh pelosok negeri. Tidak heran jika setelah Kongres CSI di Bandung, kesadaran akan pentingnya perlawanan terhadap penjajahan semakin menguat di kalangan pribumi. Lagu dan seruan “Zelfbestuur” menjadi simbol perlawanan yang menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang, baik melalui jalur politik, pendidikan, maupun pergerakan massa.

Momen bersejarah ini menjadi salah satu titik awal dari perjuangan panjang yang pada akhirnya membawa Indonesia kepada kemerdekaan penuh pada tahun 1945. Perlawanan yang dimulai dari semangat nasionalisme yang tumbuh pada tahun 1916 terus berkembang dan menguat selama hampir tiga dekade, melalui berbagai fase perjuangan, hingga akhirnya mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945, saat Indonesia merdeka secara utuh.

Momen ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya, seni, dan agama dalam membentuk kesadaran kolektif bangsa. Lagu “Syubbanul Wathon” dan seruan “Zelfbestuur” menjadi bukti bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan senjata dan diplomasi, tetapi juga dengan menggerakkan hati dan pikiran rakyat melalui suara-suara kebangsaan yang mengakar dalam tradisi dan keyakinan mereka.

Editor: Ahmad Bagus Kazhimi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *