Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi (Redaktur Pelaksana Koran Peneleh)
Di tengah maraknya konsep pembagian generasi ala Amerika Serikat yang berkembang secara luas, Muhammad Faisal hadir untuk menjelaskan arketip generasi khas Indonesia.
Sebuah buku dengan judul Generasi Kembali ke Akar: Upaya Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia menandai optimisme akan kejayaan masa depan bangsa yang dibangun oleh generasi muda tangguh, berkarakter, dan berbudaya.
Disusun berdasarkan penelitian etnografis selama hampir 10 tahun di 13 kota yang tersebar di seluruh Indonesia, buku ini bisa dibilang karya penting dalam diskursus kepemudaan Indonesia. Terlebih dengan adanya bonus demografi yang sedang dan akan terus berlangsung hingga tahun 2036. Ia mengajak masyarakat untuk memahami arketip generasi khas Indonesia.
Meskipun disandarkan pada penelitian yang ilmiah, cara penyajian yang digunakan oleh Faisal terasa sangat mengalir dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Melalui buku tersebut, ia menjelaskan klasifikasi generasi sesuai konteks kelahiran dan zaman beserta karakter utama yang melekat padanya.
Meskipun pembahasan soal teori generasi telah ramai diperbincangkan dengan mengacu pada buku-buku yang ditulis oleh peneliti dari Amerika Serikat dan Eropa, Faisal menegaskan bahwa pembagian tersebut sejatinya berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan perbedaan momen, peristiwa, dan respon atas fenomena tersebut oleh pendahulu yang menghuni negeri ini.
Baca juga: Membedah Tafsir Syirkah Jawa (Bagian 1)
Merespons fenomena itu, Faisal kemudian merumuskan pembagian arketip generasi yang sesuai dengan konteks Indonesia ke dalam empat jenis, yakni generasi alpha, beta, theta, dan phi. Generasi alpha merupakan mereka yang lahir 1900-1930-an.
Pada rentang waktu tersebut, di belahan dunia secara global sedang terjadi pertarungan ideologi dunia. Mulai dari kapitalisme, komunisme, fasisme, sosialisme, dan banyak lainnya.
Di era ini lahir pemuda-pemuda revolusioner dengan karakteristik utama suka berpindah dari satu kota ke kota lain atau pusat intelektual untuk belajar. Gaya hidup yang mereka praktekkan pun seimbang antara modernis di satu sisi, serta tradisionalis pada sisi lainnya. Salah satu misi mereka ialah berjuang melawan cara berpikir orang tuanya yang kolot.
Pada masa ini, pemuda juga banyak mendirikan organisasi-organisasi sebagai basis gerakan untuk memperjuangkan sebuah hal. Sebut saja Sarekat Dagang Islam, Boedi Oetomo, Indsiche Partij, Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lain. Sebagai bekalnya, generasi yang hidup pada masa ini kebanyakan memiliki tiga kecakapan utama, yakni menulis, berorganisasi, dan keterampilan berbicara di depan umum.
Beberapa nama yang bisa disebut dalam era ini di antaranya H.O.S Tjokroaminoto, H. Samanhudi, Tirto Adhi Soerjo, Dr. Soetomo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangoenkoesomo. Ki Hajar Dewantara misalnya baru berusia 22 tahun ketika beliau menggagas Indische Partij pada tahun 1912 bersama dua rekannya, yakni Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesomo.
Selanjutnya, generasi beta ialah mereka yang lahir pada tahun 1940-an hingga 1966, di mana ciri utama yang melekat ialah adanya pergulatan moral dan emosional seperti yang dialami oleh Silent Generation di Amerika Serikat. Tokoh-tokoh kritis dan idealis seperti Bung Tomo dan Soe Hok Gie menjadi bagian dari gerbong generasi ini.
Di sisi lain, pada periode ini mulai lahir teknokrat-teknokrat baru semacam B.J. Habibie, Adam Malik, Fuad Hassan, Sarwono Kusumaatmadja, dan Widjojo Nitisastro yang bergabung dengan pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan nasional.
Ketiga, ialah mereka yang lahir pada tahun 1970-an hingga 1998. Faisal menyebutnya dengan generasi theta. Di era ini, ekspresi identitas, kultur, dan idealisme pemuda mendapat pembatasan dan pengekangan cukup kuat dari pemerintah.
Tak cukup di situ, upaya westernisasi pun berlangsung dengan cepat, di mana hal itu ditandai oleh pembukaan akses terhadap budaya barat secara bebas dan lebar oleh pemerintah saat itu. Bisa disebut mulai rentang waktu inilah pengaruh Barat mulai masuk secara dominan ke Indonesia.
Program indoktrinasi pun ditanamkan begitu kuat oleh pusat kekuasaan. Mulai dari slogan empat sehat lima sempurna, anti-komunis, hingga penyeragaman identitas nasional melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dipimpin oleh Ruslan Abdul Gani. Tak heran jika kemudian sebagian besar generasi ini bersikap defensif dan protektif terhadap anak-anaknya ketika mereka kemudian tumbuh dewasa.
Keempat, generasi phi yang lahir antara tahun 1998 hingga 2004-an. Mereka yang lahir dalam rentang waktu ini mengalami pertumbuhan pada masa transisi kekuasaan (B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono), sistem politik, kebebasan pers, desentralisasi pemerintahan, penghapusan dwifungsi ABRI, serta pembaharuan paradigma ekonomi dan pemerintahan.
Hal positif dari generasi ini ialah karena mereka tidak mendapat indoktrinasi tertentu sebagaimana generasi theta. Akan tetapi, terdapat kekosongan narasi mengenai pemuda, terutama akibat derasnya laju perkembangan teknologi yang membuat segalanya seakan terkesan mudah.
Meskipun demikian, hasil riset Faisal menemukan bahwa geliat penggunaan sosial media oleh kelompok ini berbanding lurus dengan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk saling membantu dalam upaya meraih kejayaan bangsa, bukan malah bersifat individualistis.
Oleh karena itu, ia menyebut bahwa generasi muda pada masa ini merupakan generasi yang akan kembali kepada akarnya, yakni mereka yang mampu mengawinkan kompetensi global (world class competence) dan pemahaman akar rumput (grasroot understanding) sebagai modal dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.