Mencegah Kemungkinan Kemenangan Paslon Melawan Kotak Kosong dalam Pilkada 2024

Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung tak lama lagi. Pemungutan suara untuk pemilihan kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati, serta walikota itu akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Artinya, ia hanya berjarak kurang lebih tiga bulan dari sekarang. Mendekati masa pemilihan, dinamika politik yang mewarnai berbagai daerah pun menarik untuk ditelisik.

Tren yang kini cukup ramai menjadi perbincangan di masyarakat melalui internet dan media sosial di antaranya ialah adanya kemungkinan pasangan calon (paslon) melawan kotak kosong di beberapa daerah. Fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru, namun tentu akan sangat memalukan jika hal itu terus menerus terjadi tanpa ada solusi untuk keluar dari kondisi yang tidak sehat tersebut.

Sejauh ini, terhitung sejak tahun 2015, pelaksanaan pilkada dengan pasangan calon tunggal ditemukan di 25 daerah tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi, dari sekian banyak itu hanya terdapat satu daerah di mana kotak kosong menang atas calon kepala daerah.

Manifestasi dari kemungkinan hal ini pun mulai mengemuka di beberapa daerah. Meskipun semuanya baru akan terang benderan ketika tenggat pendaftaran pasangan calon ditutup, terpantau hingga hari ini ada kemungkinan cukup kuat munculnya paslon tunggal di beberap daerah. Sebut saja misalnya Jawa Timur dan Jakarta.

Sampai detik ini, Khofifah Indar Parawansa masih menjadi unggulan teratas dalam survei elektabilitas yang dilakukan oleh banyak lembaga survei. Wacana untuk mengusung paslon tandingan dari PDIP pun belum terlihat secara nyata. Berbeda halnya dengan sikap partai yang dinahkodai oleh Megawati Soekarnoputri di wilayah Sumatera Utara untuk mencegah kemungkinan paslon tunggal melawan kotak kosong.

Kabar terbaru hari ini telah menunjukkan bahwa PDIP telah resmi mencalonkan Edy Rahmayadi, mantan Ketua PSSI yang juga calon petahana, untuk melawan menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang telah diusung oleh partai dari Koalisi Indonesia Maju.

Sementara itu, di Jakarta sendiri dinamika politik yang mengalir menunjukkan adanya tanda-tanda penjegalan terhadap pencalonan Anies Baswedan. Hal ini diungkap dalam siniar Bocor Alus Politik yang dirilis hari ini.

Dari liputan dan investigasi yang dilakukan oleh tim Tempo, mereka menemukan ada manuver politik yang dilakukan oleh istana serta koalisi partai pendukung Prabowo Subianto (Koalisi Indonesia Maju) untuk mengajak bergabung para partai yang sebelumnya tidak berada dalam satu barisan dengan mereka di pemilihan presiden lalu.

Baca juga: Memahami Badai PHK sebagai Masalah Sosial Kemanusiaan

Sebagai contoh, Partai Nasdem yang awalnya siap mendukung Anies untuk berlaga dalam kontestasi pemilihan gubernur Jakarta pun kini berada di ambang keraguan setelah Surya Paloh bertemu dengan Joko Widodo di Istana Negara. Kabar yang beredar akan ada konsekuensi hukum yang menimpa partai beraliran nasionalis dan sekuler itu.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya juga bahkan sudah mendeklarasikan dukungan secara resmi terhadap Anies Baswedan dan dipasangkan dengan kadernya, M. Sohibul Iman, kini mulai berpikir untuk merapat ke Koalisi Indonesia Maju karena merasa tidak adanya kejelasan apakah “kapal” pencalonan Anies benar-benar bisa berlayar di Jakarta.

Di samping dua daerah di atas, tentu ada masih ada kemungkinan munculnya paslon tunggal di daerah pemilihan gubernur, bupati, serta walikota yang ada di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, tugas kita sebagai rakyat yang kritis seharusnya memastikan tidak ada paslon tunggal. Atau jika memang hal itu harus terjadi, setidaknya kotak kosong bisa menjadi simbol perlawanan atas praktik oligarki elit tersebut.

Jeffrey A. Winters menyebut praktik oligarki elite ini sebagai hal yang bisa merusak demokrasi. Terlebih, akhir-akhir ini para elite partai politik sudah tidak malu menunjukkan perilaku yang jelas-jelas jauh dari kata politik yang santun dan beradab. Jargon demokrasi pancasila pun diterabas mengikuti hasrat berkuasa dan nafsu politik yang tak terkendali.

Melihat fenomena di atas, Adi Prayitno, pakar komunikasi politik dari UIN Jakarta, juga mengemukakan pentingnya bagi rakyat untuk tidak mudah terpolarisasi atau bersikap emosional atas setiap alur politik yang sedang berlangsung. Bukankah politisi hari ini terkenal dengan pepatah isuk tempe sore dele. Sebuah simbolisme tentang pendirian yang tidak tetap, karena ideologi hanya menjadi aksesori yang digunakan untuk menarik perhatian masyarakat.

Maka dari itu, jika ada satu hal yang masih bisa diandalkan, kekuatan masyarakat sipil bisa menjadi opsi tandingan sebagaimana apa yang telah ditunjukkan pada detik-detik menjelang kejatuhan Orde Baru. Tentu, prasyarat utama yang diperlukan ialah adanya kesediaan dan kesolidan untuk berkolaborasi dalam menjaga kewarasan dan akal sehat anak bangsa dalam mencegah kemungkinan paslon menang melawan kotak kosong sebagai praktik oligarki elit yang telah melilit sendi-sendi perpolitikan tanah air ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *