Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) sedang terjadi di Indonesia. Hingga akhir tahun 2023, sudah ada setidaknya 2 juta pekerja yang mengalami PHK dari tempat kerjanya. Terbaru, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan telah terjadi PHK bagi 101.536 karyawan pada Januari hingga Juni. Jumlah pekerja yang terdampak PHK diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir 2024.
Di tengah gejolak ekonomi global yang semakin tidak menentu, Indonesia kini menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengkhawatirkan. Badai PHK ini bukan hanya soal angka atau statistik, tetapi juga sebuah fenomena sosial yang mengungkap kerentanan dan ketidakpastian dalam masyarakat kita.
Dari sudut pandang sosial dan humaniora, PHK massal ini lebih dari sekadar persoalan ekonomi; ia mencerminkan dinamika kekuatan, ketidakadilan sosial, dan dampak psikologis yang mendalam pada individu serta komunitas.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi UI pada tahun 2023 menemukan bahwa lebih dari 60% pekerja yang terkena PHK mengalami gangguan kesehatan mental, termasuk stres, kecemasan, dan depresi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dampak psikologis lebih parah pada mereka yang kehilangan pekerjaan dalam waktu yang lama, terutama di kalangan pekerja berusia 40 tahun ke atas.
PHK sering kali dilihat sebagai langkah rasional perusahaan untuk bertahan dalam situasi ekonomi yang sulit. Namun, dari perspektif sosial, PHK juga memperlihatkan ketidakadilan struktural yang ada di masyarakat. Karyawan, terutama mereka yang berada di posisi bawah atau menengah, sering kali menjadi korban pertama ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan efisiensi.
Mereka yang kehilangan pekerjaan sering kali adalah orang-orang yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya untuk bertahan hidup, seperti pendidikan, pelatihan ulang, atau modal untuk berwirausaha.
Lebih lanjut, badai PHK juga mempertegas jurang ketidakadilan gender dan generasi. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan dan pekerja muda lebih rentan terhadap PHK, terutama di sektor-sektor yang didominasi oleh pekerjaan informal dan tidak stabil.
Ketidaksetaraan ini memperkuat marginalisasi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, menjauhkan mereka dari peluang dan menghambat mobilitas sosial.
PHK bukan hanya kehilangan pekerjaan; ini adalah kehilangan identitas sosial. Banyak orang mendefinisikan diri mereka melalui pekerjaan mereka, dan ketika pekerjaan itu hilang, mereka kehilangan bagian penting dari identitas mereka. Ini dapat menyebabkan stres, depresi, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya.
Trauma ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh komunitas secara keseluruhan. Ketika banyak orang dalam suatu komunitas kehilangan pekerjaan, itu dapat menyebabkan rasa putus asa kolektif, mengganggu kohesi sosial, dan meningkatkan ketegangan sosial.
Baca juga: Mempertanyakan Ulang Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land
Selain itu, dampak psikologis dari PHK dapat memperparah ketidakpastian dan ketakutan dalam masyarakat. Ketika seseorang melihat tetangga, teman, atau anggota keluarga kehilangan pekerjaan, rasa aman mereka sendiri menjadi terguncang.
Ini menciptakan atmosfer ketidakpastian yang dapat mempengaruhi produktivitas dan inovasi di tempat kerja, serta kepercayaan terhadap institusi ekonomi dan politik. Pertanyaan besar yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah bagaimana kita merespons badai PHK ini. Dari perspektif sosial dan humaniora, ada dua kemungkinan respons: solidaritas atau fragmentasi.
Solidaritas, sebagai respons yang ideal, melibatkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan ini. Ini bisa diwujudkan melalui dukungan sosial yang lebih kuat, baik dari komunitas, LSM, maupun pemerintah, untuk membantu mereka yang terkena dampak. Ini juga mencakup advokasi untuk kebijakan yang lebih adil dan inklusif, seperti program pelatihan ulang, perlindungan sosial yang lebih baik, dan inisiatif kewirausahaan yang didukung oleh pemerintah dan sektor swasta.
Di sisi lain, ada risiko fragmentasi sosial, di mana masyarakat terpecah karena ketegangan yang meningkat. Ketidakadilan yang dirasakan oleh mereka yang kehilangan pekerjaan dapat memicu konflik sosial, baik dalam skala kecil maupun besar. Jika tidak ditangani dengan baik, badai PHK ini bisa merusak tatanan sosial yang ada dan memicu ketidakstabilan jangka panjang.
Badai PHK di Indonesia bukan hanya krisis ekonomi; ini adalah krisis sosial dan kemanusiaan. Pendekatan untuk mengatasi masalah ini harus melampaui angka dan kebijakan ekonomi semata. Kita harus melihatnya sebagai tantangan untuk keadilan sosial, kesejahteraan psikologis, dan solidaritas masyarakat. Dalam menghadapi badai ini, kita perlu membangun masyarakat yang lebih inklusif dan tangguh, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang, bahkan di tengah ketidakpastian ekonomi.