Melihat Lebih Dekat Fenomena Bisnis Joki dalam Dunia Pendidikan Indonesia

Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi

Belum lama ini, pembahasan jagat media sosial digemparkan oleh pembahasan mengenai joki skripsi serta tugas-tugas perkuliahan yang ternyata ramai diminati oleh mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

Menjamurnya bisnis joki dalam dunia pendidikan Indonesia ini bahkan bukan hanya terjadi kepada segmen mahasiswa, melainkan menyasar para dosen dan jajaran pendidik di tingkat universitas. Maraknya plagiasi dan fenomena jurnal predator juga menjadi isu yang hangat di kalangan akademisi.

Pembahasan ini semakin ramai diperbincangkan saat Abigail Limuria, Co-Founder What Is Up Indonesia, mengunggah konten video berdurasi sekitar tiga menit di platform media sosial Instagram. Fenomena joki yang telah menjadi bisnis ini seakan-akan telah dinormalisasi oleh masyarakat luas.

Tentu dari sisi etika dan moral, joki dalam bentuk tugas apa pun (dari tugas makalah hingga skripsi dan sejenisnya) jelas bermasalah. Sayangnya, permintaan pasar yang begitu deras membuat hal itu telah menjadi gurita bisnis yang cukup menggiurkan untuk dilakukan sekelompok orang.

Merespons hal ini, penulis mencoba mengulik bagaimana praktik perjokian skripsi di salah satu universitas negeri yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Seorang mahasiswa semester akhir berinisial AL menjelaskan betapa joki menjadi pilihan alternatif yang diminati oleh teman-teman di kampusnya.

“Sejauh pengamatan saya, praktik joki skripsi ini banyak digunakan oleh teman-teman di kampus saya. Mereka yang menggunakan ini biasanya adalah yang cukup sibuk bekerja atau memiliki aktivitas lain di luar kampus. Untuk itu, mereka memilih jalan praktis dengan menyerahkan pengerjaan skripsinya kepada para joki yang telah terlatih,” ujar AL.

Sementara itu, mengenai rentang biaya yang diperlukan, hal ini cukup bervariasi dan terkadang juga menjadi pasar persaingan yang cukup alot di kalangan pebisnis joki skripsi di lingkungan kampus. Ada yang memasang harga tinggi dengan jaminan kualitas, namun di sisi lain tak sedikit yang mematok harga murah dengan iming-iming pengerjaan yang relatif singkat.

“Saya sendiri beberapa kali menjadi penghubung antara teman yang ingin melakukan joki dengan penyedia jasa joki skripsi. Seringkali, ada tawar-menawar antara penjual dan pembeli hingga tercapai kesepakatan. Paling murah ada yang berada di kisaran angka 1,5 juta untuk keseluruhan bab, sedangkan harga yang mahal bisa berkisar di antara 5-7 juta,” lanjut AL dengan serius.

Praktik joki skripsi serta tugas-tugas lain merupakan fakta yang perlu disikapi dengan tepat. Baru-baru ini bahkan salah seorang pendiri perusahaan yang berfokus pada jasa joki dunia pendidikan kedapatan diundang sebagai salah satu narasumber dalam seminar nasional yang diselenggarakan di salah satu kampus ternama di Yogyakarta.

Baca juga: Ketika Pekerja Migran Indonesia Terdampar di Arab Saudi

Sebuah penelitian berjudul Understanding Contract Cheating Behavior Among Indonesian Students yang dipublikasikan di Universitas Airlangga menemukan tiga situasi yang membuat mahasiswa memilih joki skripsi sebagai alat untuk menyelesaikan kewajiban dari kampus.

Pertama, mereka yakin bahwa praktik joki bukanlah hal yang salah. Sebaliknya, hal ini justru memberikan manfaat bagi penyedia jasa tersebut. Kedua, karena efek teman yang banyak menggunakan, tak jarang seseorang tergiur untuk mencoba hal serupa. Ketiga, faktor kemampuan, baik dari segi material dan lain sebagainya, juga menjadi alasan mengapa mahasiswa berani menggunakan jasa joki.

Suka atau tidak, praktik joki kini telah menjelma menjadi salah satu bisnis yang marak di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Penolakan akan hal ini bukanlah solusi yang tepat. Sebaliknya, menyadari fenomena di atas sambil mencari jalan keluar dari sisi gelap dunia pendidikan tersebut merupakan fokus yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait.

Apalah arti slogan Indonesia Emas 2045 jika para generasi muda penerus bangsa ini tidak diajarkan untuk jujur dan adil sejak dalam pikiran? Bukankah cerminan masa depan sebuah negara bisa dilihat bagaimana kualitas pendidikan dan sumber daya manusia yang ada di dalamnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *